Setahun yang lalu, ketika masih menjadi guru, saya mencoba menerapkan model belajar “Peer Teaching”. Dalam beberapa buku teks model belajar seperti ini disebut juga “Cooperatif Script”, yang langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Bentuk kelompok beranggotakan 5-6 siswa (kemampuan siswa heterogen)
2. Beri tugas/permasalahan dalam kelompok untuk dipecahkan secara bersama (siswa bekerja dalam kelompok, saling bantu membantu)
3. Beri tes/kuis
4. Beri penghargaan per kelompok
(Adi Wijaya)
Ketika itu saya mengajar di kelas 9 H, dengan jumlah siswa 40 orang. Catatan, siswa kelas 9 H adalah anak-anak yang baik, namun, seperti kebanyakan anak kelas 9 lainnya mereka sulit diam. Namun, saya berani mencoba menerapkan teknik ini karena saya melihat kemauan belajar mereka dari balik perilakunya yang “ribut” dan “tidak bisa diam” itu.
Berikut ini yang saya terapkan di kelas 9 H SMP Santa Maria Pekanbaru T.P. 2009/2010.
Langkah pertama: Saya membagi kelas menjadi 10 kelompok dengan anggota yang heterogen. Saya memilih ketua kelompok. Pertimbangan pertama dalam memilih ketua kelompok adalah anak yang menonjol dalam pelajaran Bahasa Inggris. Pertimbangan selanjutnya adalah anak tersebut cukup punya potensi memimpin.
Lucunya, di kelas 9 H sebetulnya banyak anak yang pandai dalam pelajaran Bahasa Inggris, namun, begitu ditunjuk menjadi ketua kelompok, mereka serta merta menolak. Alasannya macam-macam. Yang jelas, mereka (sama seperti saya pada waktu seusia mereka) merasakan beratnya tanggung jawab memimpin dan mengelola sekelompok orang. Mejadi ketua kelompok terkadang malah jadi korban; diabaikan oleh teman-temannya, dimarahi guru kalau kelompoknya tidak becus, dan lain sebagainya. Akhirnya, dengan berbagai cara (termasuk salah satunya dengan bertangan besi… hehehe…) saya meyakinkan para ketua kelompok itu untuk tetap pada tugasnya.
Di lain pihak, para anggota juga tidak kalah cerewetnya. Karena saya yang menyusun keanggotaan –berdasarkan rangking di kelas-, maka mereka tidak bisa suka-suka memilih teman (dan kemudian nanti mengabaikan belajarnya). Ada yang tidak mau bila mendapatkan ketua Si A, dengan alasan anaknya kejam, egois, blah blah blah… Ada yang tidak mau dengan Si B karena kebetulan sedang bermasalah. Lagi-lagi, saya menerapkan tangan besi saya (suer, istilah “tangan besi” ini lebih banyak kidding-nya dari pada seriusnya….).
Berikutnya, bagian dari langkah pertama yang saya rasa paling penting: aturan main. Saya menerapkan beberapa aturan main lengkap dengan konsekuensinya. Aturan main ini saya sesuaikan dengan kondisi kelas saat itu. Karena anak 9 H pada umumnya bermasalah pada kondusivitas belajar, maka itulah yang saya jadikan point utama. Saya membuat “rapor” di white board, isinya pantauan terhadap kelompok yang tidak kondusif dalam belajar. Namun, dalam prakteknya, saya mengalami bahwa anak-anak 9 H aktif dalam kondisi belajar seperti itu, sehingga “rapor” saya nyaris tidak digunakan. Saya menjelaskan bahwa mereka nanti akan belajar bersama teman-temannya, dan akan diuji. Saya memerincikan apa yang kira-kira akan dibuat dalam kegiatan tersebut.
Langkah kedua: saya memberi tutorial pada para ketua kelompok tentang materi “If-Clause”. Tentu saja dengan kondisi belajar mengajar di Indonesia yang super ketat dan super padat saya harus mencari waktu ekstra untuk itu. Saat itu saya menggunakan waktu saat teman-teman mereka harus mengikuti tes remedi.
Karena kelompok itu adalah kelompok yang cepat menguasai Bahasa Inggris maka tidak terlalu sulit untuk membuat mereka memahami materi. Yang saya tekankan adalah mereka harus membuat teman-teman mereka mampu memahami materi dasar tentang If- Clause itu. Saya sampaikan bahwa dari pemahaman teman-temannya itulah mereka akan dinilai. Hmm… memang berat ya, untuk anak SMP. Tapi, yang saya pahami dari teknik belajar peer teaching ini adalah falsafah berikut ini: dengan mengajar, kita belajar dua kali. Makanya, sebenarnya mendapat manfaat yang lebih daripada teman-temannya.
Langkah ketiga: Para ketua kelompok itu masuk ke dalam kelompok, dan mulai menjadi guru bagi teman-teman sekelompoknya (makanya namanya peer–teaching). Saya sendiri berkeliling untuk mengawasi (dan terus terang, mengambil foto-foto, hehehe….).
Saya ingat, saya sendiri takjub dengan apa yang saya lihat di kelompok-kelompok itu. “Guru-guru kecil” itu saya ingat serius sekali dalam mengajar, lengkap dengan teman-teman mereka yang tidak kalah seriusnya. Ada juga ketua kelompok yang “kejam”, teman-temannya ditanyainya satu per satu sampai hapal (tentang pattern If-Clause). Ada juga ketua kelompok yang telateeeeen sekali menjelaskan sampai hal yang sekecil-kecilnya.
“Para murid” juga tidak kalah menakjubkannya. Tidak ada lagi anak yang ngobrol sendiri. Sebaliknya, mereka memperhatikan dengan tekun, bahkan ada juga yang bertanya! Hhmm… kalau yang menerangkan gurunya, jangankan bertanya, mendengarkan saja pun belum tentu!
Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan mengenai cara belajar itu, tapi yang jelas saya malah merasa sangat surprised dengan apa yang ada di depan saya. Kelas memang buzzing, tapi, itu karena para “guru” dan “murid” yang saling berdiskusi.
Langkah ke empat: di langkah ke empat ini pada dasarnya saya melakukan evaluasi. Evaluasinya bukan tes tertulis, tetapi berupa Cerdas Cermat antar kelompok. Pembuat soal adalah saya. Soal saya sesuaikan dengan materi dasar yang saya tetapkan pada para ketua kelompok untuk mengajarkannya pada teman-temannya. Para ketua kelompok sekarang harus keluar dari kelompok. Mereka menjadi juri dan penentu nilai. Sementara itu, teman-temannya satu kelompoklah yang harus menjawab.
Oh ya, perlu saya jelaskan bahwa saya sudah membedakan tiap-tiap anggota kelompok menurut rangking; jadi, kelompok A ada anak 20 besar (sebut saja “nomor 1”), ada anak 30 besar (“nomor 2”), dan 40 besar (“nomor 3”). Jadi, prinsipnya kelompok itu adalah kelompok heterogen. Saya juga sudah menyiapkan soal dengan tingkat kesulitan yang bertahap; mudah – sedang – sukar.
Jadi, beginilah kira-kira pelaksanaannya: saya menyebutkan bahwa soal nomor 1 ini untuk anak nomor 3 (dari tiap-tiap kelompok). Saya menayangkan soal di proyektor, semua anak nomor 3 (hanya anak-anak nomor 3 saja) yang merasa bisa silahkan maju, menuliskan jawabannya di selembar kertas kecil, menyerahkannya pada para juri. Tentu saja ada batasan waktunya. Selanjutnya juri menilai apakah jawaban temannya benar atau salah, kemudian memberi sekor. Di monitor saya sendiri juga sudah menyiapkan jawabannya. Tapi saya lebih senang menyerahkan pada para juri untuk memutuskan.
Memang mungkin ada kekawatiran para juri tidak jujur. Di kelas 9 H, syukurlah para juri adalah anak-anak yang kompetitif namun punya integritas, sehingga saya tidak menemukan masalah itu. Mereka dengan sportif mengatakan bahwa teman mereka salah dan tidak mendapat nilai. Namun, bila dirasa perlu, mungkin bisa juga mengacak para juri, sehingga mereka tidak bisa menguntungkan kelompoknya atau merugikan kelompok tertentu.
Setelah selesai, tentu semua nilai dihitung, dan dicari juara I, II, dan III. Yang membuat saya terkejut adalah, pemegang juara I adalah kelompok yang ketuanya sejak awal protes karena dirinya ditunjuk sebagai ketua. Si cerewet ini merasa tidak pede menjadi ketua. Dan sebaliknya, teman-temannya juga sedari awal menolak dia dipilih menjadi ketua, karena sifatnya yang “kejam”. Ternyata simbiose yang aneh ini malah membawa kelompok ini menjadi Juara I! Saya tidak tahu persis proses kimiawi apa yang berlangsung selama mereka belajar bersama, yang jelas mereka sama-sama merasa bangga; baik ketua kelompok maupun anggota-anggotanya.
Seingat saya runner-up nya pun dipegang oleh kelompok yang ketuanya agak nyleneh. Paling suka ribut kalau belajar konvensional. Belajar dengan cara ini mungkin menumbuhkan rasa tanggung jawabnya.
Teknik Cerdas-Cermat yang saya pilih nampaknya membuat anak-anak lebih bersemangat. Tidak ada lagi anak yang itu-itu saja yang menjawab, sementara teman yang lainnya “bersembunyi”. Semua tertantang untuk menjawab. Dan, yang saya perhatikan adalah ada anak yang biasanya kurang menonjol, sekarang menjadi bersemangat untuk maju, menjawab pertanyaan, dan jawabannya benar!
Sebagai guru saya merasa sangat excited melihat hasil yang tidak terduga semacam ini! Dibandingkan dengan sekor nilai yang mereka dapat, saya malah jauh lebih bangga dan bahagia dengan hasil kualitatif seperti yang saya lihat di atas; anak bersemangat untuk belajar.
PENUTUP
Ketika itu yang saya rasakan sebagai guru dalam mengajar dengan teknik “Peer Teaching” ini adalah saya malah tidak lelah secara emosional. Saya memang “kelelahan” menyiapkan bahan, kemudian mempersiapkan kelompok inti, dan bahkan kemudian membuat pengajaran ulang, tapi itu malah membuat saya excited.
Saya terbantu dalam mengajarkan teknik ini terutama karena anak-anak yang saya ajar sebetulnya SUKA BELAJAR. Hanya saja selama ini mereka jenuh dengan suasana belajar. Teknik ini merupakan salah satu yang bisa mengusir kejenuhan anak dalam belajar.
Saya tidak sempat menjaring pendapat para siswa tentang kegiatan belajar mengajar yang mereka jalani, namun, saya merasakan atmosfer yang lain pada saat saya menerapkan teknik ini. Saya merasakan adanya semangat, saya merasakan adanya keinginan untuk berkompetisi, saya merasakan kepuasan dan kebanggaan. Hal-hal seperti ini agak jarang saya dapati (secara lebih klasikal) kalau saya mengajar dengan cara konvensional.
Model belajar seperti ini jelas membutuhkan waktu yang banyak. Kondisi belajar mengajar di sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya adalah materi yang membludak dengan waktu yang sedikit (apalagi di kelas 9). Namun waktu itu saya mengambil resiko itu. Saya pikir, tanpa ini juga toh waktu sudah kurang, jadi apa bedanya. Dan ternyata, hasilnya sepadan. Model belajar seperti ini juga membantu membuka paradigma anak, bahwa belajar tidak harus melulu membuka buku dan membaca dengan diam. Belajar juga tidak harus mendengar ceramah dari guru. Dengan model belajar yang sepertinya “rame” ini tanpa disadari mereka menyerap suatu ilmu, dan itu berarti mereka telah belajar sesuatu.
Bagi saya sebagai guru (waktu itu) teknik mengajar seperti ini membuat setiap detik dalam waktu saya di dalam kelas menjadi lebih berharga.(db)
Pekanbaru. 19 Oktober 2010
Agnes Bemoe
No comments:
Post a Comment