Follow Us @agnes_bemoe

Saturday 19 September 2020

Pelajaran Besar Buat Saya: Jangan Mau Bekerja Sama Tanpa Kontrak

 




Kasus kontrak kerja sama kepenulisan kemarin membuat saya teringat akan peristiwa yang saya alami sendiri. Bukan kurang teliti membaca kontrak tapi saya terlalu percaya sehingga mau saja bekerja sama tanpa kontrak. Ketika kerja samanya bermasalah, saya tak bisa berbuat apa-apa.

 

Waktu itu saya baru mulai menulis (sudah ada buku terbit tapi belum banyak). Seorang penulis kenamaan mengajak saya kerja sama menulis buku. Tentu saja saya senang dong. Tak hanya dapat kesempatan belajar tapi juga belajar pada orang yang tepat, pikir saya waktu itu.

Waktu itu si penulis terkenal ini (kita sebut saja Penulis A ya) sudah mengatakan kalau kontrak hanya ada antara penerbit dengan Penulis A (catatan: konsep besar naskah ini sudah disetujui penerbit dan naskah ini berupa serial). Jadi tidak ada kontrak untuk saya. Untuk royalti juga antara penerbit dengan Penulis A. Saya menerima dari Penulis A. Jujur, waktu itu saya tak merasa keberatan. Saya pikir, ini masalah teknis saja. Kemudian baru saya menyadari betapa tidak tepatnya tindakan saya ini.

 

Proses penulisan berjalan lancar. Ide dari Penulis A. Penulis A juga mengajari saya cara menyusun bahan mentah menjadi naskah pada buku. Saya mencari bahan, menyusun, lalu menuliskannya. Terakhir Penulis A memoles lagi di sana-sini sebelum dikirim ke penerbit.  Saya diberi kesempatan menulis dua judul, berarti dua buku.


Permasalahan timbul ketika salah satu dari kedua buku ini terbit. Yang tertulis di buku itu bukan nama saya. Dan lagi-lagi, saya yang super naïf. Saat itu saya tenang saja karena percaya. Saya percaya karena merasa berurusan dengan orang-orang yang saya anggap punya integritas. Saya yakin akan ada penyelesaian yang bermartabat, yang tidak merugikan saya sebagai yang menulis materi di buku itu.


Saya salah besar.


Ada permohonan maaf dari editor pelaksana melalui inbox dilanjutkan dengan penjelasan dari editor kepala. Saya memahami, ada kesalahan manusiawi (tidak disengaja) karena di dummy yang dikirimkan ke saya sebelumnya tidak ada kesalahan sedikitpun. Namun, saya mengharapkan tindak lanjut untuk naskah karya saya. Saya mengharapkan ada koreksi secara umum dari penerbit bahwa nama penulis “Penulis B” (Penulis A dan B) di buku XXX itu keliru. Yang benar adalah “Penulis A dan Agnes Bemoe”. Secara umum di sini bukan juga di surat kabar. Di media sosial pun sudah memadai. Yang penting saya punya pegangan bila bermaksud mempromosikan buku itu (atau mengklaim untuk portofolio, misalnya). Kan lucu kalau saya menyatakan buku itu karya saya sementara nama yang tertera di buku itu bukan nama saya dan dari penerbit tidak ada satu penjelasan pun tentang itu.  


Pihak penerbit hanya bisa mengupayakan dua hal. Pertama, membuat semacam stiker kecil bertuliskan nama saya lalu dikirim ke toko-toko buku (karena katanya buku sudah terlanjur dikirim ke toko-toko buku). Stiker itu akan ditempelkan di buku XXX tersebut. Tapi penerbit tidak bisa menjanjikan bahwa toko akan benar-benar menempelkan nama saya itu. Saya menganggap ini tetap merugikan saya karena tidak ada jaminan nama di buku itu diganti dengan stiker nama saya (dan tentu saja bukan tugas toko ‘kan, untuk mengganti nama di buku tersebut).


Kedua, penerbit menjanjikan akan mengubah kesalahan tersebut pada cetak ulang. Waduh, pikir saya, yang ini saja belum beres, bagaimana saya mengharapkan cetak ulang? Iya kalau cetak ulang. Iya kalau pada saat cetak ulang tidak terjadi kesalahan tulis lagi. Kan sangat tidak jelas.


Selagi berbicara inilah barulah saya menyadari lemahnya kedudukan saya. Saya tidak punya kontrak apapun dengan penerbit. Secara hukum penerbit bebas menerakan atau tidak menerakan nama saya di naskah itu. Keterikatan saya dan penerbit hanya secara moral. Dan moral bukan hukum positif. Dan yang bukan hukum tidak punya daya paksa pada seseorang untuk berbuat benar dan baik, kecuali ada niatan yang benar-benar kuat dari seseorang itu untuk berbuat baik.


Dalam konteks ini saya yang salah. Saya keliru telah mengerjakan sesuatu tanpa kontrak. Jangankan menandatangani, melihat dan membacanya pun tidak! Mau saya teriak-teriak sampai leher putus pun penerbit akan tenang-tenang saja.

 


Lalu bagaimana dengan Penulis A? Yang mengajak ‘kan Penulis A?


Saya juga berharap Penulis A mau berada di pihak saya. Paling tidak, ikut berbicara buat saya. Penulis A memang tidak dirugikan apa-apa pada saat itu. Namun, saya sungguh berharap solidaritasnya buat saya. Taruhlah saya bukan temannya, lihatlah saya sebagai sesama penulis. Sebagai seorang penulis juga tentu beliau bisa membayangkan bagaimana kalau naskah terbit dengan nama orang lain.


Mungkin Penulis A sudah bicara juga dengan penerbit untuk membantu saya, saya tidak tahu. Kalau memang sudah, melalui tulisan ini saya mengucapkan terima kasih. Ketika bicara dengan Penulis A saya malah mendapati beliau merasa lebih mencemaskan posisi beliau ketimbang bagaimana bisa melakukan sesuatu buat memperkecil kerugian saya.


Saya cuma bisa terdiam. Berbagai hal berkecamuk di kepala saya tapi akhirnya lagi-lagi saya hanya bisa menyalahkan diri saya sendiri. Saya yang terlalu percaya. Super duper naïf.


Penulis B (yang namanya tertulis sebagai ganti nama saya) juga menghubungi saya. Dengan polosnya menyatakan kalau dia ingin membantu (ikut bicara) tapi dicegah.


Oke deh, berarti memang saya dibiarkan sendirian menghadapi permasalahan ini. Tapi, bagaimana mau menghadapi? Saya tidak punya secuil kontrak pun dengan penerbit yang telah keliru menerakan nama pada naskah tulisan saya.

 

Saya kecewa sekali.


Teringat lagi ketika menuliskan naskah itu saya sudah kena HNP (Herniated Nucleus Pulposus = syaraf terjepit) biarpun belum tahu kalau itu HNP. Jadi saya menulis sambil meringis-meringis, menahan ngilu. Lembur pun dilakonin, berharap bisa memberikan yang terbaik. Sungguh pelajaran yang sangat menyakitkan secara fisik dan mental.

 

Tahu hanya akan menghantam angin, saya pun menarik diri. Tak mau lagi mengurusi hal itu. Biarlah mereka menikmati hasil kerja saya. Saya tak peduli.

Saat itu juga kesehatan saya sedang buruk-buruknya. Otak saya tak punya tempat lagi buat memikirkan hal ini karena sedang memikirkan kesehatan badan, pengobatan, dan pembiayaannya (saya masuk RS 2 kali).

 

Buku itu sendiri kemudian saya lihat terpajang di toko, tanpa nama saya. Menyakitkan lho, melihat sesuatu yang kita tulis terpajang dengan nama orang lain. Saya menerima sejumlah uang dari Penulis A sebagai royalti buku itu. Saya percaya, jumlah yang diberikan kepada saya pasti sesuai dengan seberapa besar hak saya.

 

Saya memutuskan untuk tidak mau lagi berhubungan dengan Penulis A. Terlalu traumatis. Saya berterima kasih atas bantuan beliau pada saya ketika saya mulai menulis. Penulis A membantu memuluskan jalan saya ke penerbit. Itu saya akui dan tidak saya hilangkan dalam catatan saya. Namun, sama sekali tak menyangka, saya harus membayar sangat mahal untuk bantuan itu.

 

Saya juga memutuskan tidak mau lagi mengirimkan naskah pada penerbit itu. Saya yakin mereka juga tidak akan mau menerima naskah saya sih. Syukurlah, buku-buku saya kemudian terbit di penerbit-penerbit lain. Ternyata, saya bisa kok menembus penerbitan mayor besar dengan karya saya biarpun tentu saja proses belajar menulis tidak akan pernah berhenti buat saya.

 

Kapok menulis duet?

Tidak juga. Tidak kapok tapi lebih hati-hati. Hati-hati dengan kontrak dan hati-hati dengan siapa kita bekerja sama.

Beberapa tahun setelahnya sebuah penerbit meminta saya menulis buku dengan tema tertentu. Di tengah jalan, ketika baru menyelesaikan separuh naskah, saya harus masuk rumah sakit. Saya sudah mau mundur ketika penerbit menyarankan untuk duet. Saya pun mencari teman penulis untuk duet. Sudah terpikir oleh saya untuk meminta kontrak tersendiri bagi teman duet saya. Ternyata, penerbit sudah duluan menyiapkan. Syukurlah. Buku duet kami jadi. Kami masing-masing punya kontrak dan royalti dikirimkan ke masing-masing penulis.

 

Seorang teman penulis dan editor menambahkan tips berikut untuk menulis duet:

1.      Bisa saja 1 kontrak untuk dua orang penulis tapi tanda tangan tetap dua orang penulis itu dan penerbit langsung transfer royalti ke masing-masing penulis.

2.      Bila lebih dari dua orang penulis, semua penulis memberikan kuasa pada satu orang penulis untuk tanda tangan kontrak namun transfer royalti tetap ke masing-masing penulis.

Saya rasa cara di atas cukup fair ya, ada jaminan keamanan buat semua pihak.

 

Baiklah, itu yang mau saya bagikan terkait kontrak. Pelajaran besar buat saya mudah-mudahan bisa jadi pengingat buat yang lain. Sukses buat kita semua ya.

 

*** 

Pebatuan, 20 September 2020

@agnes_bemoe

 

 

No comments:

Post a Comment