Kasus
kontrak kerja sama kepenulisan kemarin membuat saya teringat akan peristiwa
yang saya alami sendiri. Bukan kurang teliti membaca kontrak tapi saya terlalu
percaya sehingga mau saja bekerja sama tanpa
kontrak. Ketika kerja samanya bermasalah, saya tak bisa berbuat
apa-apa.
Waktu
itu saya baru mulai menulis (sudah ada buku terbit tapi belum banyak). Seorang
penulis kenamaan mengajak saya kerja sama menulis buku. Tentu saja saya senang
dong. Tak hanya dapat kesempatan belajar tapi juga belajar pada orang yang
tepat, pikir saya waktu itu.
Waktu itu si penulis terkenal ini (kita
sebut saja Penulis A ya) sudah mengatakan kalau kontrak hanya ada antara
penerbit dengan Penulis A (catatan: konsep besar naskah ini sudah disetujui
penerbit dan naskah ini berupa serial). Jadi tidak ada kontrak untuk saya.
Untuk royalti juga antara penerbit dengan Penulis A. Saya menerima dari Penulis
A. Jujur, waktu itu saya tak merasa keberatan. Saya pikir, ini masalah teknis
saja. Kemudian baru saya menyadari betapa tidak tepatnya tindakan saya ini.
Proses
penulisan berjalan lancar. Ide dari Penulis A. Penulis A juga mengajari saya
cara menyusun bahan mentah menjadi naskah pada buku. Saya mencari bahan,
menyusun, lalu menuliskannya. Terakhir Penulis A memoles lagi di sana-sini
sebelum dikirim ke penerbit. Saya diberi
kesempatan menulis dua judul, berarti dua buku.
Permasalahan
timbul ketika salah satu dari kedua buku ini terbit. Yang tertulis di buku itu bukan nama saya. Dan lagi-lagi,
saya yang super naïf. Saat itu saya tenang saja karena percaya. Saya percaya
karena merasa berurusan dengan orang-orang yang saya anggap punya integritas. Saya
yakin akan ada penyelesaian yang bermartabat, yang tidak merugikan saya sebagai
yang menulis materi di buku itu.
Saya
salah besar.
Ada
permohonan maaf dari editor pelaksana melalui inbox dilanjutkan dengan
penjelasan dari editor kepala. Saya memahami, ada kesalahan manusiawi (tidak
disengaja) karena di dummy yang
dikirimkan ke saya sebelumnya tidak ada kesalahan sedikitpun. Namun, saya
mengharapkan tindak lanjut untuk naskah karya saya. Saya mengharapkan ada
koreksi secara umum dari penerbit bahwa nama penulis “Penulis B” (Penulis A dan
B) di buku XXX itu keliru. Yang benar adalah “Penulis A dan Agnes Bemoe”. Secara
umum di sini bukan juga di surat kabar. Di media sosial pun sudah memadai. Yang
penting saya punya pegangan bila bermaksud mempromosikan buku itu (atau
mengklaim untuk portofolio, misalnya). Kan lucu kalau saya menyatakan buku itu
karya saya sementara nama yang tertera di buku itu bukan nama saya dan dari
penerbit tidak ada satu penjelasan pun tentang itu.
Pihak
penerbit hanya bisa mengupayakan dua hal. Pertama, membuat semacam stiker kecil
bertuliskan nama saya lalu dikirim ke toko-toko buku (karena katanya buku sudah
terlanjur dikirim ke toko-toko buku). Stiker itu akan ditempelkan di buku XXX
tersebut. Tapi penerbit tidak bisa menjanjikan bahwa toko akan benar-benar
menempelkan nama saya itu. Saya menganggap ini tetap merugikan saya karena tidak
ada jaminan nama di buku itu diganti dengan stiker nama saya (dan tentu saja
bukan tugas toko ‘kan, untuk mengganti nama di buku tersebut).
Kedua,
penerbit menjanjikan akan mengubah kesalahan tersebut pada cetak ulang. Waduh,
pikir saya, yang ini saja belum beres, bagaimana saya mengharapkan cetak ulang?
Iya kalau cetak ulang. Iya kalau pada saat cetak ulang tidak terjadi kesalahan
tulis lagi. Kan sangat tidak jelas.
Selagi
berbicara inilah barulah saya menyadari lemahnya kedudukan saya. Saya tidak punya kontrak apapun dengan
penerbit. Secara hukum penerbit bebas menerakan atau tidak menerakan nama
saya di naskah itu. Keterikatan saya dan penerbit hanya secara moral. Dan moral
bukan hukum positif. Dan yang bukan hukum tidak punya daya paksa pada seseorang
untuk berbuat benar dan baik, kecuali ada niatan yang benar-benar kuat dari
seseorang itu untuk berbuat baik.
Dalam
konteks ini saya yang salah. Saya keliru telah mengerjakan sesuatu tanpa
kontrak. Jangankan menandatangani, melihat dan membacanya pun tidak! Mau saya
teriak-teriak sampai leher putus pun penerbit akan tenang-tenang saja.
Lalu
bagaimana dengan Penulis A? Yang mengajak ‘kan Penulis A?
Saya
juga berharap Penulis A mau berada di pihak saya. Paling tidak, ikut berbicara
buat saya. Penulis A memang tidak dirugikan apa-apa pada saat itu. Namun, saya
sungguh berharap solidaritasnya buat saya. Taruhlah saya bukan temannya,
lihatlah saya sebagai sesama penulis. Sebagai seorang penulis juga tentu beliau
bisa membayangkan bagaimana kalau naskah terbit dengan nama orang lain.
Mungkin
Penulis A sudah bicara juga dengan penerbit untuk membantu saya, saya tidak
tahu. Kalau memang sudah, melalui tulisan ini saya mengucapkan terima kasih.
Ketika bicara dengan Penulis A saya malah mendapati beliau merasa lebih
mencemaskan posisi beliau ketimbang bagaimana bisa melakukan sesuatu buat
memperkecil kerugian saya.
Saya
cuma bisa terdiam. Berbagai hal berkecamuk di kepala saya tapi akhirnya
lagi-lagi saya hanya bisa menyalahkan diri saya sendiri. Saya yang terlalu
percaya. Super duper naïf.
Penulis
B (yang namanya tertulis sebagai ganti nama saya) juga menghubungi saya. Dengan
polosnya menyatakan kalau dia ingin membantu (ikut bicara) tapi dicegah.
Oke
deh, berarti memang saya dibiarkan sendirian menghadapi permasalahan ini. Tapi,
bagaimana mau menghadapi? Saya tidak punya secuil kontrak pun dengan penerbit
yang telah keliru menerakan nama pada naskah tulisan saya.
Saya kecewa sekali.
Teringat
lagi ketika menuliskan naskah itu saya sudah kena HNP (Herniated Nucleus Pulposus
= syaraf terjepit) biarpun belum tahu kalau itu HNP. Jadi saya menulis sambil
meringis-meringis, menahan ngilu. Lembur pun dilakonin, berharap bisa
memberikan yang terbaik. Sungguh pelajaran yang sangat menyakitkan secara fisik
dan mental.
Tahu
hanya akan menghantam angin, saya pun menarik diri. Tak mau lagi mengurusi hal
itu. Biarlah mereka menikmati hasil kerja saya. Saya tak peduli.
Saat
itu juga kesehatan saya sedang buruk-buruknya. Otak saya tak punya tempat lagi
buat memikirkan hal ini karena sedang memikirkan kesehatan badan, pengobatan,
dan pembiayaannya (saya masuk RS 2 kali).
Buku
itu sendiri kemudian saya lihat terpajang di toko, tanpa nama saya. Menyakitkan
lho, melihat sesuatu yang kita tulis terpajang dengan nama orang lain. Saya
menerima sejumlah uang dari Penulis A sebagai royalti buku itu. Saya percaya,
jumlah yang diberikan kepada saya pasti sesuai dengan seberapa besar hak saya.
Saya
memutuskan untuk tidak mau lagi berhubungan dengan Penulis A. Terlalu
traumatis. Saya berterima kasih atas bantuan beliau pada saya ketika saya mulai
menulis. Penulis A membantu memuluskan jalan saya ke penerbit. Itu saya akui
dan tidak saya hilangkan dalam catatan saya. Namun, sama sekali tak menyangka,
saya harus membayar sangat mahal untuk bantuan itu.
Saya
juga memutuskan tidak mau lagi mengirimkan naskah pada penerbit itu. Saya yakin
mereka juga tidak akan mau menerima naskah saya sih. Syukurlah, buku-buku saya
kemudian terbit di penerbit-penerbit lain. Ternyata, saya bisa kok menembus
penerbitan mayor besar dengan karya saya biarpun tentu saja proses belajar
menulis tidak akan pernah berhenti buat saya.
Kapok
menulis duet?
Tidak
juga. Tidak kapok tapi lebih hati-hati. Hati-hati
dengan kontrak dan hati-hati dengan siapa kita bekerja sama.
Beberapa
tahun setelahnya sebuah penerbit meminta saya menulis buku dengan tema
tertentu. Di tengah jalan, ketika baru menyelesaikan separuh naskah, saya harus
masuk rumah sakit. Saya sudah mau mundur ketika penerbit menyarankan untuk
duet. Saya pun mencari teman penulis untuk duet. Sudah terpikir oleh saya untuk
meminta kontrak tersendiri bagi teman duet saya. Ternyata, penerbit sudah
duluan menyiapkan. Syukurlah. Buku duet kami jadi. Kami masing-masing punya
kontrak dan royalti dikirimkan ke masing-masing penulis.
Seorang
teman penulis dan editor menambahkan tips berikut untuk menulis duet:
1. Bisa
saja 1 kontrak untuk dua orang penulis tapi tanda tangan tetap dua orang
penulis itu dan penerbit langsung transfer royalti ke masing-masing penulis.
2. Bila
lebih dari dua orang penulis, semua penulis memberikan kuasa pada satu orang
penulis untuk tanda tangan kontrak namun transfer royalti tetap ke
masing-masing penulis.
Saya
rasa cara di atas cukup fair ya, ada jaminan keamanan buat semua pihak.
Baiklah,
itu yang mau saya bagikan terkait kontrak. Pelajaran besar buat saya
mudah-mudahan bisa jadi pengingat buat yang lain. Sukses buat kita semua ya.
Pebatuan, 20 September
2020
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment