Tulisan sebelumnya di sini.
Sesi lain yang saya suka? Pada dasarnya semua sesi di hari pertama saya suka! Melihat kembali persoalan perbukuan dan menulis dari sudut pandang akademisi sangat membuka mata saya. Selain Ibu Murti, saya suka juga pemaparan oleh Ibu Surya Sili dari Universitas Mulawarman. Beliau menyampaikan tentang peran buku dalam penguatan aspek kognitif dan afektif anak. Tulisan Ibu Surya ini membuat saya tersadar bahwa sebagai penulis saya harus menulis dengan berhati-hati dan penuh pertimbangan alias tidak asal menulis. Ada tanggung jawab atas pembaca buku yang harus saya pikirkan.
Sesi lain yang saya suka? Pada dasarnya semua sesi di hari pertama saya suka! Melihat kembali persoalan perbukuan dan menulis dari sudut pandang akademisi sangat membuka mata saya. Selain Ibu Murti, saya suka juga pemaparan oleh Ibu Surya Sili dari Universitas Mulawarman. Beliau menyampaikan tentang peran buku dalam penguatan aspek kognitif dan afektif anak. Tulisan Ibu Surya ini membuat saya tersadar bahwa sebagai penulis saya harus menulis dengan berhati-hati dan penuh pertimbangan alias tidak asal menulis. Ada tanggung jawab atas pembaca buku yang harus saya pikirkan.
Terkait membaca, membaca seharusnya tidak lagi
‘hanya’ sebagai hobi. Membaca seharusnya sudah menjadi kebiasaan wajib, baik
bagi anak-anak maupun orang dewasa. Saya kutipkan pendapat Ibu Surya di
makalahnya: “Mengingat pentingnya manfaat yang diperoleh dari aktivitas
membaca, maka program gemar membaca seharusnya menjadi program prioritas di
sekolah-sekolah, agar kita semua bisa menjadi individu yang tidak saja cerdas
berpikir tetapi juga cerdas nurani karena wawasan kita yang luas yang
diantaranya kita peroleh dari hasil membaca.”
Masih di hari pertama, yang juga menarik perhatian
saya adalah pemaparan dari Ibu Dina Dyah Kusumastuti dari Universitas Jember,
Jawa Timur. Ibu Dina Dyah menampilkan makalah berjudul “Kekerasan Simbolik
dalam Sastra Anak Karya Penulis Anak Indonesia”. Makalah ini mengingatkan saya
juga akan keprihatinan saya sendiri akan beberapa buku anak yang ditulis anak.
Tidak bermaksud mematikan semangat menulis orang lain, tidak juga bermaksud iri
pada sesama penulis apalagi penulis tersebut seorang anak. Namun entah
bagaimana, sudah lama saya merasakan kekawatiran seperti yang dituangkan oleh
Ibu Dina Dyah dalam makalahnya. Bedanya, saya tidak punya akses dan kemampuan
untuk membuat sebuah penelitian seperti yang dibuat oleh Ibu Dina Dyah. Saya
mengerti, makalah Ibu Dina Dyah tidak begitu saja dapat diterima dan dipahami.
Ada hal-hal yang sebenarnya masih dapat diterima, penggunaan nama asing,
misalnya. Di kampung sudah banyak kok kita temukan nama-nama seperti Jefri,
Celsi, Farel, dll. Yang saya tangkap dari makalah Ibu Dyah adalah penyerapan
secara masif budaya-budaya dari luar yang pada kenyataannya jauh dari kehidupan
anak-anak Indonesia. Saya berharap, suatu saat ada pembicaraan yang lebih
mendalam tentang hal ini.
Pada sesi Ibu Dina Dyah ini saya sebenarnya ingin
menanyakan kasus yang pernah saya alami sehubungan dengan pemakaian nama
sebagai bentuk hasil budaya (sayangnya, saking banyaknya penanya pada bu Dina
Dyah, saya tidak kebagian kesempatan). Cerita saya pernah dikoreksi nama
pelakunya oleh editor sebuah penerbit. Nama awal yang saya gunakan adalah
“David”. Nama ini ditolak dengan alasan tidak mau ada unsur keagamaan dalam
cerita tersebut. Ya, saya juga heran kenapa nama “David” langsung menjadi tanda
bahwa cerita itu adalah cerita keagamaan tertentu. Kenapa tidak dibaca
keseluruhan isi cerita? Berikutnya, tokoh saya dalam cerita binatang juga
pernah ditolak oleh editor. Editor meminta saya mengganti dengan hewan lain
yang tidak sensitif untuk kelompok tertentu. Tokoh yang pertama adalah seekor
babi yang hidup di sebuah peternakan empat musim (jelas bukan di Indonesia).
Tokoh kedua adalah seekor anjing.
Bila dalam makalahnya Ibu Dina Dyah mengambil sudut
pandang penulis menampilkan budaya-budaya yang asing sebagai bentuk ‘kekerasan
budaya’, dalam kasus saya, sebagai penulis saya dipaksa untuk mengikuti budaya
mayoritas yang sebenarnya tidak sesuai dengan keberagaman yang aslinya ada di
bumi Indonesia. Sungguh saya ingin bertanya, apakah yang semacam ini bisa
disebut dengan ‘kekerasan budaya’? Dan, sungguh, dengan semangat hendak
memberikan yang terbaik bagi anak Indonesia saya sangat berharap tidak ada lagi
keputusan penerbit yang mengarah pada ‘kekerasan budaya’ semacam itu.
Masih di hari pertama, Ibu Tati D. Wardi memaparkan
tentang hubungan kata dan gambar dalam buku berilustrasi. Ini paparan yang
menarik buat saya sebagai penulis. Biarpun pernah mendapatkan materi ini dari
Ibu Ary Nilandari waktu saya ikut pelatihan menulis bersama beliau, saya tetap
merasa excited mengikutinya. Saya rasa, materi tidak hanya berguna buat penulis
tapi terlebih buat teman-teman illustrator.
Bersambung ke sini. Tulisan 3. Habis.
No comments:
Post a Comment