Saya tuh suka iri berat dengan kegiatan kepenulisan
di luar negeri, -diAmerika, Australia, Singapura- yang saya intip dari
grup-grup kepenulisan buku anak di facebook.
Hampir sepanjang tahun ada saja kegiatannya, entah seminar, pameran, workshop,
atau penganugerahan penghargaan. Rasanya, kehidupan kepenulisannya sangat
menggairahkan. Saya iri karena di Indonesia belum ada kegiatan serupa (kecuali
kalau saya memang benar-benar kudet). Ada sih sebuah workshop tapi menurut saya
pribadi proses seleksinya tidak begitu jelas kriterianya biarpun outputnya pasti berkualitas.
Karenanya, saya super excited waktu KPBA (Kelompok
Pencinta Bacaan Anak) dan INNABY (Perwakilan IBBY untuk Indonesia. IBBY sendiri kependekan dari International Board on Book for Young People) menyelenggarakan Seminar Sastra Anak Nasional di Jakarta. Saya
tertarik ikut karena pada dasarnya saya suka belajar. Kedua, sebagai penulis,
saya menyadari bahwa saya ini tidak punya dasar akademik. Saya bukan lulusan
fakultas sastra. Keterampilan menulis saya dapatkan dari pelajaran Bahasa
Indonesia di SD – SMA lalu saya lanjutkan secara otodidak.
Nah, singkat kata, saya pun mengikuti kegiatan
seminar ini. Bagaimana hasilnya? Inilah yang akan saya uraikan. Catatan: saya
hanya menuliskan kesimpulan saya dan tidak menuliskan ulang isi makalah. Jadi,
ada kemungkinan pembaca kesulitan memahami konteks kesimpulannya. Namun
demikian mudah-mudahan dapat dipahami dan bisa jadi inspirasi juga untuk anda.
PALING
INSPIRATIF
Ada sembilan
pembicara dalam seminar dua hari di gedung Perpustakaan Nasional tersebut.
Kesemuanya perempuan dan kesemuanya akademisi. Dari sembilan presentasi
tersebut yang bagi saya paling inspiratif adalah yang ditampilkan oleh Ibu
Emilia Nazir dan Ibu Larasati. Beliau berdua menampilkan (dalam bentuk film
pendek) proyek mereka yaitu mendongeng cerita rakyat berjudul “Ratu Lemut” di
Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagaimana Ibu Larasati
mendongengkan cerita kepada anak-anak lalu bagaimana anak-anak diajak untuk
menampilkan kembali cerita tersebut dalam bentuk drama di hadapan warga dusun,
itu luar biasa sekali. Pasti tidak mudah mengolah dan mengelola kegiatan ini.
Namun, Ibu Emilia Nazir dan Ibu Larasati mampu menampilkan hasil yang maksimal.
Tanda kesuksesannya tidak lain terpatri di air muka anak-anak yang ikut serta.
Mereka kelihatan bersemangat dan riang. Seperti yang terlihat di film dokumenter
yang ditampilkan, bola mata anak-anak itu memancarkan kecerdasan dan harapan. Dan
itu adalah prestasi tertinggi yang sulit diabaikan.
Topik kedua yang saya suka adalah yang disampaikan
oleh Ibu Murti Bunanta. Ibu Murti yang juga ketua KPBA dan INNABY memaparkan
tentang buku yang baik dilihat dari isi, penyajian, bahasa, ilustasi, dan
penggunaan serta kegunaannya. Mungkin karena topik ini langsung terkait dengan
apa yang saya kerjakan sebagai penulis buku anak, saya langsung merasa
terhubung dengannya. Saya mendapat banyak ilmu. Selain itu saya juga memperoleh
penegasan akan apa yang selama ini saya yakini (tanpa tahu dasar keilmuannya).
Salah satu yang baru buat saya adalah penomoran
halaman. Karena buku anak pada umumnya bergambar (picture book ataupun
illustrated book), perlu diperhatikan agar nomor halaman tidak sampai menimpa
gambar. Saya rasa, ini ada benarnya. Ilustrasi tidak ‘rusak’ oleh penomoran.
Sedangkan salah satu yang menggarisbawahi apa yang
selama ini saya yakini adalah tentang tema pada judul. Ibu Murti menyampaikan
bahwa tema yang tersembunyi justru sangat mengasyikkan dan memberi peluang bagi
pembacanya untuk berkembang menjadi lebih baik sesuai dengan maksud cerita bila
dibandingkan dengan tema-tema yang sangat tersurat pada judul. Dengan tema yang
tersirat, pengarang tidak menggurui. Judul seperti “Lomba di Hutan Bambu” (Tiga
Ananda, 2016) akan lebih mengasyikkan, menantang anak untuk berpikir: lomba
apa? Hutan bambu? Siapa yang berlomba? dll., dan karenanya baik sekali untuk
merangsang anak menjadi lebih cerdas. Bandingkan misalnya, bila ada judul “Aku
Anak Pintar” (bukan judul sungguhan dan bukan diambil dari makalah Ibu Murti).
Seolah-olah jawaban untuk keseluruhan cerita sudah tergambar di judul itu. Karena
sudah tergambar, tidak ada proses pikir/menerka/mengamati pada pembaca. Karenanya,
pada hemat saya, orang tua yang ingin anak-anaknya mendapat manfaat maksimal
dari membaca seharusnya memilihkan judul-judul yang tersirat dan menantang dan
menghindari judul-judul yang sangat bermisi dan bertendensi.
Ibu Murti Bunanta dalam makalahnya juga menyampaikan
judul-judul yang menjadi buku pilihan. Saya tuangkan dalam tulisan lain saja
ya, supaya tidak terlalu panjang di tulisan ini. Yang jelas, ada "Ring of Fire" dan "Seri Titi" lho!
No comments:
Post a Comment