Follow Us @agnes_bemoe

Sunday 29 April 2018

Dari Seminar Sastra Anak Nasional 1 Jakarta 21-22 April 2018. Tulisan 1


Saya tuh suka iri berat dengan kegiatan kepenulisan di luar negeri, -diAmerika, Australia, Singapura- yang saya intip dari grup-grup kepenulisan buku anak di facebook. Hampir sepanjang tahun ada saja kegiatannya, entah seminar, pameran, workshop, atau penganugerahan penghargaan. Rasanya, kehidupan kepenulisannya sangat menggairahkan. Saya iri karena di Indonesia belum ada kegiatan serupa (kecuali kalau saya memang benar-benar kudet). Ada sih sebuah workshop tapi menurut saya pribadi proses seleksinya tidak begitu jelas kriterianya biarpun outputnya pasti berkualitas.

Karenanya, saya super excited waktu KPBA (Kelompok Pencinta Bacaan Anak) dan INNABY (Perwakilan IBBY untuk Indonesia. IBBY sendiri kependekan dari International Board on Book for Young People) menyelenggarakan Seminar Sastra Anak Nasional di Jakarta. Saya tertarik ikut karena pada dasarnya saya suka belajar. Kedua, sebagai penulis, saya menyadari bahwa saya ini tidak punya dasar akademik. Saya bukan lulusan fakultas sastra. Keterampilan menulis saya dapatkan dari pelajaran Bahasa Indonesia di SD – SMA lalu saya lanjutkan secara otodidak.

Nah, singkat kata, saya pun mengikuti kegiatan seminar ini. Bagaimana hasilnya? Inilah yang akan saya uraikan. Catatan: saya hanya menuliskan kesimpulan saya dan tidak menuliskan ulang isi makalah. Jadi, ada kemungkinan pembaca kesulitan memahami konteks kesimpulannya. Namun demikian mudah-mudahan dapat dipahami dan bisa jadi inspirasi juga untuk anda.

PALING INSPIRATIF
 Ada sembilan pembicara dalam seminar dua hari di gedung Perpustakaan Nasional tersebut. Kesemuanya perempuan dan kesemuanya akademisi. Dari sembilan presentasi tersebut yang bagi saya paling inspiratif adalah yang ditampilkan oleh Ibu Emilia Nazir dan Ibu Larasati. Beliau berdua menampilkan (dalam bentuk film pendek) proyek mereka yaitu mendongeng cerita rakyat berjudul “Ratu Lemut” di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagaimana Ibu Larasati mendongengkan cerita kepada anak-anak lalu bagaimana anak-anak diajak untuk menampilkan kembali cerita tersebut dalam bentuk drama di hadapan warga dusun, itu luar biasa sekali. Pasti tidak mudah mengolah dan mengelola kegiatan ini. Namun, Ibu Emilia Nazir dan Ibu Larasati mampu menampilkan hasil yang maksimal. Tanda kesuksesannya tidak lain terpatri di air muka anak-anak yang ikut serta. Mereka kelihatan bersemangat dan riang. Seperti yang terlihat di film dokumenter yang ditampilkan, bola mata anak-anak itu memancarkan kecerdasan dan harapan. Dan itu adalah prestasi tertinggi yang sulit diabaikan.

Topik kedua yang saya suka adalah yang disampaikan oleh Ibu Murti Bunanta. Ibu Murti yang juga ketua KPBA dan INNABY memaparkan tentang buku yang baik dilihat dari isi, penyajian, bahasa, ilustasi, dan penggunaan serta kegunaannya. Mungkin karena topik ini langsung terkait dengan apa yang saya kerjakan sebagai penulis buku anak, saya langsung merasa terhubung dengannya. Saya mendapat banyak ilmu. Selain itu saya juga memperoleh penegasan akan apa yang selama ini saya yakini (tanpa tahu dasar keilmuannya).

Salah satu yang baru buat saya adalah penomoran halaman. Karena buku anak pada umumnya bergambar (picture book ataupun illustrated book), perlu diperhatikan agar nomor halaman tidak sampai menimpa gambar. Saya rasa, ini ada benarnya. Ilustrasi tidak ‘rusak’ oleh penomoran.

Sedangkan salah satu yang menggarisbawahi apa yang selama ini saya yakini adalah tentang tema pada judul. Ibu Murti menyampaikan bahwa tema yang tersembunyi justru sangat mengasyikkan dan memberi peluang bagi pembacanya untuk berkembang menjadi lebih baik sesuai dengan maksud cerita bila dibandingkan dengan tema-tema yang sangat tersurat pada judul. Dengan tema yang tersirat, pengarang tidak menggurui. Judul seperti “Lomba di Hutan Bambu” (Tiga Ananda, 2016) akan lebih mengasyikkan, menantang anak untuk berpikir: lomba apa? Hutan bambu? Siapa yang berlomba? dll., dan karenanya baik sekali untuk merangsang anak menjadi lebih cerdas. Bandingkan misalnya, bila ada judul “Aku Anak Pintar” (bukan judul sungguhan dan bukan diambil dari makalah Ibu Murti). Seolah-olah jawaban untuk keseluruhan cerita sudah tergambar di judul itu. Karena sudah tergambar, tidak ada proses pikir/menerka/mengamati pada pembaca. Karenanya, pada hemat saya, orang tua yang ingin anak-anaknya mendapat manfaat maksimal dari membaca seharusnya memilihkan judul-judul yang tersirat dan menantang dan menghindari judul-judul yang sangat bermisi dan bertendensi.

Ibu Murti Bunanta dalam makalahnya juga menyampaikan judul-judul yang menjadi buku pilihan. Saya tuangkan dalam tulisan lain saja ya, supaya tidak terlalu panjang di tulisan ini. Yang jelas, ada "Ring of Fire" dan "Seri Titi" lho!



Bersambung ke sini. Tulisan 2.

No comments:

Post a Comment