Ga heran kalo ada orang yang bilang, jadi guru itu beti alias beda tipis dengan babby sitter… Harus ngurusi anak “tuannya” yang buandel, nuakal, dan malah kadang-kadang suka ngelawan! Dan di lain pihak, seolah-olah ga berdaya apa-apa, karena ya itu… anak “tuannya”. Sepertinya, profesi yang satu ini adalah profesi yang paling makan ati… Dari sebuah sit-kom di televisi, saya dengar bahwa guru tidak hanya underpaid dan overjobbed, tetapi juga under-respected… whewww….
Ketika baru pertama kali menjadi guru, saya mengajar di tingkat SMA. Dicobain sama anak murid? Pernah…! Maksudnya, mereka sengaja menanyakan pertanyaan yang “aneh-aneh” agar saya kewalahan menjawabnya. Mereka juga pengen tau, sampai di mana sih, “kehebatan” saya sebagai guru… hehehe… kayak di rimba persilatan aja…
Dicuekin sama anak murid juga sering. Saya setengah mati ngajar di depan, ee… mereka juga “setengah mati” ngobrol sendiri… Hhhh! Dan, percaya atau tidak, bahkan sampai sekarang, dalam porsi dan skala yang sudah jauh berkurang, saya pun masih mengalami hal-hal yang membuat sakit hati dari anak murid!
Saya tidak malu mengakui, bahwa dalam interaksi dengan anak murid, saya mengalami banyak hal yang tidak mengenakkan. Saya pikir, ini dialami juga oleh bapak dan ibu guru yang lain. Point saya adalah bukan pada kejadian tidak enak itu, tetapi malah after show-nya, alias hikmahnya.
Tahun pertama saya mengajar memang saya stress berat. Seperti ditubruk gajah satu hutan, saya tiba-tiba harus mengerjakan serangkaian administrasi, buat soal, koreksi, dan belum lagi menata hati menghadapi tingkah polah anak murid! Huuh! Rasanya seperti disiksa di penjara Jepang! Saya ingat, berat badan saya sampai turun lima kilo! Padahal dari sebelumnya juga saya sudah tergolong makhluk “kuker” alias kurus kering…hehehehe…
Saat itu, ketidakmampuan saya untuk cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang relatif berbeda dengan lingkungan saya sebelumnya merupakan salah satu penyebab mengapa saya agak sulit berhubungan dengan anak murid saya. Saya sedikit mengalami “culture shock” berkaitan dengan perbedaan nilai antara saya dan anak murid saya. Apa yang saya anggap “kurang ajar” ternyata buat mereka “keakraban”, semacam itulah.
Selain itu tentu saja ada kenakalan-kenakalan umum yang dilakukan, tanpa mengenal budaya, seperti bolos, nyontek, ngobrol di kelas, de el el… Hanya saja, mengalami hal seperti itu pada tahun pertama bekerja, benar-benar shocking! Sampai-sampai saya berpikir, mungkin bukan panggilan saya untuk menjadi guru. Makanya, saya kemudian getol lagi melamar ke pekerjaan lain. Namun, saya sama sekali tidak beruntung, sekian banyak lamaran yang saya kirim, semuanya nihil…
Satu tahun saja saya di sekolah pertama saya, di kota Bagansiapiapi itu. Saya kemudian dipindahkan ke Duri, mengajar di sebuah SMP. Nah, ibarat petinju yang terbiasa ber-sparring partner dengan bison, pindah ke Duri rasanya jauh lebih ringan. Selain sudah mulai terbiasa dengan beban administrasi yang menggila, saya juga tidak merasakan perbedaan budaya dengan anak-anak murid yang di Duri. Semangat mengajar saya tumbuh kembali. Saya ingat, saya excited betul dengan kegiatan mengajar ini!
Tentu saja, tidak otomatis saya problem-free. Anak-anak yang biang ribut, nakal, bandel, sok, bahkan yang melawan tetap saja ada…
Saya ingat seorang anak murid saya bernama Andi (nama samaran, Pen). Ia sebenarnya cerdas, namun tidak bisa diam. Istilah orang Melayu: “lasak”. Suatu kali, ia bertingkah begitu degilnya, sehingga saya marah hebat padanya. Dengan suara tinggi, saya menyuruhnya untuk keluar kelas. Tak dinyana, Andi melawan:
“Saya kan bayar, kenapa saya disuruh keluar,” katanya.
Saya begitu terkejut, sampai-sampai saya bilang:
“Ibu akan bayarkan uang sekolahmu, sekarang KELUAR!!”
Saya begitu tersinggung dengan perkataannya, yang seolah-olah bisa berbuat apa saja, asal sudah bayar. Saya sampai tidak sempat lagi berpikir, mau dengan apa saya bayar uang sekolahnya.
Andi memang lantas keluar. Dan saya, dengan hati yang tidak keruan, terpaksa melanjutkan pelajaran. Sungguh, sebetulnya saya tidak ingin berada di kelas, karena suasana hati saya yang sangat tidak enak. Tapi, tentu saja, saya tidak bisa keluar begitu saja. Ada sekian puluh anak lagi yang perlu belajar… Hhh… saya melanjutkan pelajaran dengan berat hati.
Beberapa saat setelah itu, Andi ternyata menjumpai saya. Anak yang saya tahu biasanya ribut dan lasak itu nampak tertunduk. Saya pun berperang antara gengsi dan kasihan. Singkat cerita, Andi mengatakan bahwa ia sangat menyesal, dan ingin meminta maaf.
Kemarahan saya sebenarnya masih setinggi gunung. Kalau bisa, kepingin rasanya saya keprug anak kurang ajar ini! Namun, kemarahan saya itu tiba-tiba langsung lumer seperti es, mendengar ia meminta maaf.
Walaupun demikian, saya, dengan angkuhnya masih bertanya:
“Ngapa mesti minta maaf? Kan enak, kamu tidak ikut pelajaran ibu!”
Andi, di luar dugaan saya, malah menjawab:
“Selama tidak ikut pelajaran ibu, saya di luar merenung, dan memikirkan kata-kata ibu. Iya, saya sudah sangat kurang ajar sama ibu…”
Entah saya sedang dikibuli habis-habisan, entah anak ini tulus, tetapi perasaan saya saat itu mengatakan bahwa saya harus memaafkannya. Saya rasanya tidak punya daya lagi untuk memarahinya.
Tambah ke sini, bila saya mengingat kejadian dengan Andi itu; Andi anak yang “kurang ajar” ini, ternyata dengan beraninya ia datang meminta maaf, meskipun ia sendiri berperang bathin dengan apa yang akan ia lakukan. Ia memilih untuk mendengarkan yang lebih baik.
Dengan kejadian ini sebenarnya, saya, seorang guru, tengah belajar dari anak murid saya tentang kekuatan bathin untuk meminta dan memberi maaf. Selagi sekian banyak orang dewasa yang pandai, cerdas, dan berkedudukan, seringkali ramai-ramai ngeles dan mengelak, kalau melakukan kesalahan, saya malah diperlihatkan contoh hidup oleh anak murid saya, tentang keutamaan meminta dan memberi maaf.
Di antara berbagai kenakalan dan “perlawanan” anak murid saya, kejadian dengan Andi ini merupakan satu yang tidak bisa saya lupakan.
---bersambung---
Agnes Bemoe
Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=crying%20face&imgurl
No comments:
Post a Comment