Berikutnya yang juga tidak pernah bisa saya lupakan sampai sekarang adalah ketika saya di Dumai: ketika saya didemonstrasi oleh anak murid saya sendiri!
Ketika menjadi kepala sekolah, saya memang keras. Saya menegakkan peraturan seperti membangun dinding beton, tak miring dan tak goyang. Sementara, murid-murid saya adalah murid-murid yang selama ini terbiasa dengan gaya hidup santai. Perbedaan mencolok ini tentu menimbulkan masalah. Saat itu, tahun 1998-1999, demonstrasi mahasiswa sedang menjadi trend, dan sedang marak-maraknya. Anak-anak ini tidak membutuhkan waktu lama untuk menerapkannya pada saya, apalagi, secara diam-diam beberapa guru juga ikut mendukung mereka. Saya menemui anak-anak yang melakukan demonstrasi itu, namun, mereka tidak mau bertemu dengan saya. Mereka cuman mau satu: saya diganti.
Keesokan harinya, saya kumpulkan lagi mereka di sebuah ruang kelas. Pikir saya, saya akan bicara pada mereka. Namun nyatanya di tengah pembicaraan, suasana malah bertambah panas. Saya marah, mereka pun marah. Anak-anak murid saya itu keluar sambil berteriak-teriak: “Bakar sekolah! Bakar sekolah!”
Untungnya memang tidak sempat sekolah ataupun fasilitas lain dirusak atau dibakar. Anak-anak itu tidak mau sekolah. Saya pun berkeras mereka harus dikeluarkan dari sekolah. Selanjutnya memang terus diadakan serangkaian pertemuan dengan orang tua murid, yang tentu saja difasilitasi oleh yayasan tempat saya bekerja.
Saya diminta untuk melunakkan diri, dan tidak mengeluarkan anak-anak itu dari sekolah. Anak-anak juga diminta sekolah lagi. Saya ingat, dengan proses yang panjang dan menguras energi dan emosi, akhirnya disepakati, anak-anak tetap sekolah, saya mencabut keputusan DO buat mereka, dan mereka menerima saya sebagai kepala sekolah.
Selesai? Tidak!
Saya mengiyakan kompromi itu, tetapi di hati saya, saya masih tidak puas. Bagaimana mungkin anak-anak yang sudah berperilaku kurang ajar seperti itu, masih diberi tempat. Mau ditaruh di mana muka saya? Itulah pertentangan bathin saya saat itu.
Saya bekerja, tetapi dengan hati yang tawar. Saya yakin saya sedang mempersiapkan sesuatu yang baik buat mereka, tetapi mereka menolak, dan SAYA-lah yang dipersalahkan. Itulah yang saya rasakan saat itu.
Dalam masa-masa seperti itu, saya memilih untuk diam, dan terus merenungkan apa yang saya alami. Saya marah pada anak-anak itu, tetapi, saya tidak pernah mendendam. Saya tetap meladeni keperluan dan kebutuhan mereka. Saya carikan kegiatan yang paling mereka sukai, saya beli bola kaki, karena mereka sangat suka bola kaki. Saya ingat, pada masa itu Liga Santar (Santo Tarcisius, nama sekolah kami – Pen), liga sepak bola kecil-kecilan antarkelas di sekolah kami, menjadi ajang yang sangat rame.
Saya tidak pernah berinteraksi, dalam pengertian, berbicara langsung dengan anak-anak saya itu, namun, saya tetap mengupayakan supaya mereka bisa belajar dengan sebaik mungkin.
Kurang lebih tiga bulan setelah kejadian demonstrasi, sekolah kami mengadakan rekoleksi (bimbingan rohani, Pen) untuk anak-anak kelas 3 (anak-anak yang mendemonstrasi saya). Kegiatan rohani semacam ini merupakan kegiatan yang sudah direncanakan sejak awal tahun dan menjadi konsern saya sejak awal.
Saya tahu dan menyetujui akan kegiatan itu, namun, sama sekali saya tidak ikut campur tentang isinya. Bukan karena saya tidak peduli, tetapi memang tipe saya, saya tidak suka mendikte (dan tidak suka didikte.. hehehehehe..). Saya senang kalau guru-guru saya bekerja dengan kreativitas mereka, kemudian mempertanggungjawabkan pelaksanaannya.
Walaupun tidak terlibat langsung, namun dari kejauhan saya tetap mengawasi ketika mereka mengadakan rekoleksi di sebuah ruangan kelas. Sesungguhnya, di balik tampilan keras di diri saya, saya sedih banget, karena sebenarnya saya konsern pada masa depan mereka. Tapi kok mereka sepertinya tidak mengerti ya…
Saya ingat, ketika itu saya kemudian berdiri di taman kecil di belakang kantor saya (yang juga kecil…). Saya berdiri sambil mengunyah-ngunyah pikiran saya sendiri. Tau-tau, dari kejauhan, saya melihat, anak-anak saya yang sedang rekoleksi itu berbaris, satu satu seperti anak SD, terus mereka menuju ke arah saya… Hlah! Agak kaget juga saya, mau ada apa lagi nih? Pikir saya…
Ternyata, mereka menyalami saya, atau tepatnya mencium tangan saya (salim, bahasa Jawa), dan minta maaf…! Sungguh! Ini merupakan hal yang tak pernah mampir di pikiran saya, bahwa anak-anak yang brutal dan kurang ajar itu akan datang dan meminta maaf…
Sangking kagetnya saya, saya sampe tidak bisa bilang apa-apa…
Saya cek pada guru yang membimbing rekoleksi. Mereka pun bingung, karena tidak sedikit pun mereka menyinggung-nyinggung, apalagi menyuruh anak-anak itu untuk meminta maaf. Walaupun demikian, mereka mengakui bahwa tema rekoleksi saat itu adalah “Cinta Orang Tua”.
Saya seperti baru mendapatkan permata sebesar telur bebek! Tiba-tiba hilang perasaan marah, dan hilang juga perasaan “ingin menang melawan mereka”. Semua rasanya hambar. Yang saya lihat adalah saya dan anak-anak saya yang saling menyayangi…
Tanpa bermaksud mengecilkan mereka, perlu saya jelaskan bahwa anak-anak saya ini tergolong anak-anak “preman” yang (maaf) agak “terbuang” lah.. Jadi, bisalah dibayangkan bagaimana perilaku dan kemampuan mereka. Namun, pada saat itu saya melihat sebuah contoh perilaku yang noble banget!
Selanjutnya, saya merasakan kesejukan hati, setiap kali berinteraksi dengan anak-anak ini. Mereka pun meninggalkan kesan yang begitu mendalam, sampai mereka lulus. Ketika diadakan Ujian Akhir, yang mana pengawas dan koordinator pengawas ujian berasal dari sekolah lain, saya tidak henti-hentinya mendapat pujian, karena “perilaku manis dan sopan” dari anak-anak saya. Mereka heran, anak-anak itu begitu tertib dan tekun mengerjakan soal.
Sekali lagi, saya tidak pernah melihat bagaimana buruknya suasana demonstrasi pada saat itu. Bagi saya, kejadian setelah itu lah yang begitu menyentuh saya. Mereka begitu beringas dan brutal pada saat demonstrasi, namun, mereka juga mau membuka hati untuk permintaan maaf. Padahal saya sama sekali tidak memberikan tekanan, baik pada mereka ataupun pada para guru. Artinya, menurut saya, mereka membangun kesadaran sendiri untuk meminta maaf. Saya sama sekali tidak merasa “menang” atas mereka. Sebaliknya, saya malah terkaget-kaget melihat kebesaran hati mereka…
Bila saya boleh memuji diri saya sendiri, saya bangga karena merasa dalam tahapan tertentu berhasil menumbuhkan nilai yang baik pada anak-anak ketika mereka belajar di sekolah yang saya pimpin. Saya tidak kecewa karena mereka tidak juara Olympiade (bahkan seandainya mereka juara pun, belum tentu saya sebangga ini), namun saya bangga, karena hati anak-anak “nakal” itu terbuka untuk suatu nilai yang luhur dan mulia: maaf.
Dengan diam-diam, kejadian itu tetap saya kenang, dan tidak ingin saya lupakan, karena bagi saya kejadian itu sangat berarti. Mudah-mudahan anak-anak saya pun tidak melupakannya.
---bersambung---
Agnes Bemoe
Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=crying%20face&imgurl
No comments:
Post a Comment