Follow Us @agnes_bemoe

Wednesday 18 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_Bagian 2.3 : GA PUNYA DUIT...

Saya tahu, saya tidak bisa mengatasnamakan kisah saya ini untuk semua guru di Indonesia. Karena, seperti saya, masih banyak yang harus bekerja keras menambah penghasilan untuk mencukupi kebutuhan. Masih banyak yang harus ngeles sana ngeles sini gila-gilaan, ngojek, jualan di pasar, ngreditkan ini ngreditkan itu, bahkan ada yang jadi pemulung segala. Masih mending kalo guru tersebut masih bisa memberikan les tambahan, banyak juga teman-teman guru yang sama sekali tidak punya akses untuk memberikan les, misalnya untuk guru-guru bidang studi yang disebut bidang studi “minor” (walaupun saya tidak pernah setuju istilah ini!). Beberapa teman saya harus puas dengan gaji yang mereka terima per bulan, tanpa ada tambahan dari les. Kadang-kadang mereka mengeluh:
“Nyambi kerja di tempat lain ga boleh, padahal gaji dari sini ga cukup… Mau ngeles di sekolah, ga bisa, karena memang pelajarannya ga di-leskan…”

Ngomong-ngomong tentang nyambi, masih ingat kan, dengan kisah Pak Mahmud, seorang Kepala Sekolah yang nyambi menjadi pemulung? Kisah Pak Mahmud ini pernah diangkat oleh Andy F. Noya dalam salah satu show-nya di Kick Andy. Di sini saya petikkan dari sebuah situs:

Cuaca siang itu pada medio Juni lalu begitu terik, tampak wajah Pak Mahmud yang basah oleh keringat tengah serius memilah jenis sampah. Siapa sangka jika ia berprofesi sebagai kepala sekolah.

Dandanannya terkesan rapi dan tidak lusuh. Tawanya juga terdengar renyah dan riang dibanding dua laki-laki teman kerjanya yang sibuk membersihkan botol-botol plastik bekas wadah air mineral di antara tumpukan sampah, dia nampak paling ‘bersih’. Sekilas tatapan, sosok laki-laki setengah baya itu lebih pas menjadi juragan, pedagang atau pengepul barang bekas, tetapi kenyataan dia adalah pemulung.

Mahmud yang ditemui di tempat pembuangan akhir sementara tepat di belakang rumahnya, saat itu mengenakan kaus oblong lengan panjang berwarna hitam dan celana selutut dengan warna senada. Dilengkapi pula oleh topi kupluk berwarna abu-abu. Di tengah kesibukan ia mempersilahkan saya menyambangi rumahnya. Kami pun masuk ke rumah berbentuk kotak dari bambu dan kayu lapis persis di dekat tumpukan sampah, "ladangnya" memulung. Yang membuat tertegun ialah, Mahmud ternyata seorang guru, bahkan tiga tahun terakhir menduduki jabatan Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Safinatul Husna di kawasan Pangadengan, Kalideres, Jakarta Barat.

Cinta Mengajar
Mahmud kecil ialah anak seorang nelayan dan penjaga tambak di bilangan Muara Angke, Jakarta Utara. Ketika memasuki usia remaja, ia sudah tertarik menjadi seorang guru. Keinginan itu dibarengi dengan masuknya ia di Pendidikan Guru Agama (setingkat sekolah menengah pertama). Mahmud bersama tujuh saudaranya hidup jauh dari berkecukupan, tak urung ia pun bersekolah seraya menggembala kerbau agar bisa membantu biaya sekolah. “Saat itu saya sudah senang sekali, bisa sekolah sekaligus membantu orangtua,” ujarnya menerawang.

Pada 1980, ia menyelesaikan sekolahnya di Madrasah Aliyah (MA). Keberuntungan pun menghampiri bapak kelahiran 17 Maret 1960 ini, ia didapuk menjadi guru. Karena tekun menjalankan pekerjaannya, tak lama kemudian ia diangkat menjadi guru tetap dan mengampu mata pelajaran Aqidah Ahlak, Fiqih, dan Bahasa Arab. Demi mengembangkan bidang ilmu lain, Mahmud tak ayal belajar otodidak untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, serta bekal melanjutkan ke Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI jurusan Matematika. “Saya nggak mengejar soal materi, tapi kecintaan saya pada anak-anak,” tambah Mahmud yang mengajar selama 30 tahun ini.

Yayasan yang mengelola sekolah tempat Mahmud mengajar terbilang lumayan besar dan membawahi sekolah MTs setingkat SMP dan madarasah ibtidaiyah (MI) setingkat SD. Untuk Madrasah Tsanawiyah MTs saja memiliki ratusan siswa dengan 17 guru dan seorang staf. Kendati memimpin sekolah yang terbilang besar dan sudah menjadi guru sejak 1979, kehidupan keluarga tiga anak ini jauh dari layak. "Orang kadang-kadang tidak percaya, penghasilan saya tidak bisa mencukupi," ujar Mahmud.

Bapak asal Jakarta ini mengajar tidak tanggung-tanggung sampai enam mata pelajaran karena tenaga pengajar susah sekali dicari. Mayoritas mereka berpikir ulang untuk mengajar karena masalah penghasilan. “Meski menjadi kepala sekolah, saya tetap mengajar, tapi porsinya berkurang dan jika ada guru yang tidak masuk,” ujarnya.
Kalau sudah berhadapan dengan anak-anak, lanjut Mahmud, rasanya lega sekali. Banyak sekali kesan yang membekas di benaknya. Yang membuatnya prihatin dan tak tega selama mengabdi ialah acapkali tahun ajaran baru, banyak orangtua yang mengeluh lantaran harus membayar biaya sekolah. “Mendengar mereka menangis, rasanya jadi dilema. Kalau anak tak membayar sekolah, bagaimana dengan guru-guru yang mengajar, darimana mereka mendapat penghasilan,” tutur suami dari Ibu Jumiyati ini.

Kini, ia tengah memasuki masa pensiun tapi tetap ingin mengabdi dalam bidang pendidikan. Bentuknya dengan membuka semacam tempat belajar bagi anak-anak di rumah. “Mengajar di pendidikan formal kan ada batasnya, tapi di luar itu kita tetap bisa mengabdi,” ujarnya antusias.

Memulung Karena Kondisi
Berpijak dari penghasilan sekecil itu, akhirnya Mahmud mencari penghasilan tambahan. Apalagi tahun 2000, lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat mulai padat. Semakin bertambahnya warga, otomatis timbunan sampah juga menggunung. Lantaran itulah timbul inisiatif Mahmud untuk mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pemulung.

Ia memulung sampah-sampah yang masih bernilai ekonomi, seperti lembaran plastik, botol plastik minuman mineral, kertas dan kaleng dari tempat pembuangan sampah sementara. Pagi sampai siang, pukul 06.30 hingga pukul 14.00, dia mengajar mata pelajaran mulai dari Agama, Matematika, Biologi, hingga Fisika dan mengorganisasi guru-guru beserta stafnya. Sedangkan sore hingga malam dia memulung.

Diakui oleh Mahmud, alasanya memulung lantaran dipicu oleh kebutuhan rumah tangga yang mulai merangkak naik ketika anak-anak masuk sekolah. Awalnya berbagai usaha telah dilakoninya, mulai dari beternak, berkebun sampai sekarang ini memulung. “Jujur, awalnya saya tidak tertarik, karena aroma yang ditimbulkan dari sampah membuat saya pusing bahkan tidak bisa makan. Tapi, karena didorong rasa penasaran saya akhirnya mulai memulung,” ujar bapak yang memiliki motto “hidup harus bermanfaat bagi orang lain” ini.


Sebenarnya, lanjut Mahmud, bicara soal cukup atau tidak sifatnya relatif. Tetapi, ia merasakan sekarang ini hampir semua kebutuhan meningkat, bahkan air bersih saja sekarang harus beli, karena air sungai sudah tercemar limbah rumah tangga dan pabrik. Jika hanya mengandalkan penghasilan dari sekolah, semua pengeluaran tidak bisa tertutupi. “Saya percaya Tuhan sudah memberikan rezeki masing-masing bagi umat-Nya, kita tinggal berusaha untuk bekerja lebih keras,” harapnya optimis.

Tak Resah dengan Citra Pemulung
Mahmud tak lupa bercerita perihal pengalamannya pertama kali bersentuhan menjadi pemulung. Banyak pro dan kontra yang ditujukan padanya.Tapi yang paling membuatnya miris ia dituduh mencemarkan citra guru. “Apakah salah jika seorang guru berusaha sampingan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi pekerjaan saya halal dan tidak merugikan orang lain. Saya menyadari jika profesi guru dan pekerjaan pemulung memang sangat kontras,” selorohnya prihatin.

Selama ini, tambah Mahmud, citra pemulung di mata masyarakat memang kurang baik. Tidak sedikit ditemukan pemulung yang bertindak merugikan, misalnya mencuri sendal atau barang lain. “Meski begitu, saya tidak merasa tersinggung sedikit pun, yang penting apa yang saya lakukan tidak merugikan dan menyusahkan orang lain,” ujar bapak dua putri dan satu putra ini. Menyikapi anggapan mereka, Mahmud hanya mengatakan “ya itu hak mereka, tokh pada akhirnya secara tidak langsung pekerjaan memulung juga sedikit banyak punya manfaat, khususnya untuk mengurangi sampah di sekitar tempat tinggal mereka”.
Sumber: http://eckapunyacerita.blogspot.com/2009/09/pak-mahmud-kepala-sekolah-nyambi.html


Kisah Pak Mahmud yang begitu memprihatinkan ini, sebenarnya hanya secuil kecil dari segunung kenyataan pahit kehidupan guru di Indonesia. Selain nyambi jadi pemulung, ada guru yang diberitakan jualan jagung bakar di alun-alun kota, dan juga seperti yang sudah banyak kita ketahui: ngojek. Terus terang saya sedih dan sangat prihatin dengan itu semua. Saya pun tidak bilang mereka tidak pandai mengelola keuangan atau hal-hal yang lainnya. Saya percaya, seperti Pak Mahmud mereka punya latar belakang yang memaksa mereka untuk seperti itu. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa jadi guru di Indonesia memang susah…

Apalagi kalo kita iseng membandingkan dengan penghasilan guru di negara lain, Malaysia, misalnya. Konon, dengan beban kerja dan volume kerja yang kurang lebih sama, penghasilan guru di Malaysia ternyata enam kali lebih besar daripada di Indonesia. (Sumber: http://agupena.org/moduls.php?op=sis_article&category_id=23&article_id=41)

Nah, di balik hal-hal sistemik yang menyebabkan penghasilan guru di Indonesia ini sangat memprihatinkan, saya hanya mencoba menampilkan apa yang saya alami dan saya rasakan sebagai salah seorang guru di Indonesia; babak belur, tapi berusaha untuk survive…

Walaupun demikian, kisah yang saya kutipkan berikut ini mudah-mudahan memberikan perspektif baru, bahwa tidak selamanya guru harus nyambi dengan pekerjaan-pekerjaan yang “apa adanya”. Guru yang akan saya ceritakan berikut ini punya cara lain untuk menambah penghasilannya. Namanya Budi Hartono. Beliau adalah penulis buku yang cukup produktif. Tiga puluh delapan judul buku, baik buku pelajaran maupun buku umum disusunnya. Berikut ini kisah Bapak Budi Hartono:


Peluh masih mengucur di dahi Budi Hartono ketika ditemui Jawa Pos di tempatnya mengajar, SMPN 1 Surabaya. Budi baru datang di sekolah. Satu bonggelan buku dijinjing di tangan kanan. ”Ini adalah sebagian buku yang pernah saya tulis. Sisanya ada di rumah,” ujar pria kelahiran Trenggalek, 12 Oktober 1960, itu.

Ya, di antara sekian banyak guru di Surabaya, Budi adalah salah seorang guru yang cukup aktif menulis buku. Bahkan, nama pria yang bakal menjabat kepala sekolah SMPN 42 itu sudah terkenal di kalangan penerbit buku. Tak jarang, bukan dia yang menawarkan buku untuk diterbitkan kepada penerbit. Namun sebaliknya, penerbitlah yang meminta dia membuat buku untuk diterbitkan. ”Saya tidak seterkenal ini. Hanya satu dua penerbit yang minta dituliskan buku,” ujarnya merendah.

Pria yang sering menjadi penatar guru itu mengatakan mulai menulis buku sejak pertama menjadi guru, yakni pada 1983. Saat itu, dia menjadi guru di SMPN Sine, Ngawi. Budi menulis karena senang dan pada 1984 mulai menerbitkan buku praktikum siswa.

Tak hanya itu, Budi ingin membuktikan bahwa guru juga bisa makmur kalau mau berusaha lebih. Sebab, pada 1980-an, guru tidak diperhatikan seperti saat ini. Gajinya kecil dan tidak ada tunjangan prestasi pendidik (TPP) dari sertifikasi.
”Saudara saya ada yang kerja di perpajakan. Gajinya besar, tapi harus kerja sampai malam. Dari situ saya percaya, saya bisa mendapatkan penghasilan setara dengan dia kalau saya juga bekerja lebih,” ujarnya, lalu tersenyum.

Yang dimaksudkan dengan bekerja lebih ialah menulis buku sepulang mengajar di sekolah. Keyakinannya itu membuahkan hasil. Buku pelajaran biologi berseri yang dia tulis dan terbit pada 1989 membawa berkah dalam hidupnya. Royalti buku tersebut bisa digunakan untuk membeli rumah dan mobil pada 1993. Jika pasangan muda pada umumnya berebut mencari rumah kontrakan ketika menikah, tidak demikian halnya dengan Budi. Ketika menikah pada 1994, Budi sudah bisa memboyong istrinya ke rumah sendiri. ”Yang bisa mengubah nasib seseorang kan usaha dari orang itu sendiri, saya yakin dengan hal tersebut dan sekarang terbukti,” jelas guru Fisika ini.

Peraih juara dua Guru Teladan Jatim 2009 untuk jenjang SMP itu tidak hanya menulis buku pelajaran. Buku-buku umum dan pegangan guru juga dia tulis. Dia menyatakan, tidak semua buku bisa ditulis dengan mudah. Apalagi, jika sedang punya banyak tanggungan. Misalnya, harus membuat bahan ajar untuk siswa. Salah satu buku yang menurut dia paling lama penyelesaiannya adalah buku fisika untuk SMP RSBI kelas 3. Seluruh buku tersebut berbahasa Inggris. Dia menulis buku tersebut sejak 2002 dan baru diterbitkan pada 2005.

Budi menuturkan bahwa pendukung terbesar untuk kesuksesannya saat ini adalah istri tercintanya, Sri Hastuti. Ketika sedang menulis buku, tak jarang dia tidur hingga larut malam. Nah, di saat-saat seperti itu istrinya tidak lantas tidur terlebih dahulu. Namun, dia menemani Budi hingga selesai.

* Dinukil dari Harian Jawa Pos Edisi 5 September 2009
Sumber: http://indonesiabuku.com/?p=1552


Hal yang kurang lebih sama terjadi pada seorang guru di Gresik, bernama Nurul Fatah, S. Pd. Berikut ceritanya:

NURUL FATAH memang bukan guru biasa. Dia termasuk guru kreatif dan produktif berkarya. Buktinya, bukan hanya buku yang dia hasilkan. Dia juga menciptakan banyak lagu. Puluhan lagu sudah dia hasilkan. Untuk kasidah, misalnya, sudah sekitar 30 lagu direkam dan beredar di pasaran. Dia juga menulis lagu mars dan himne sekolah atau lembaga pendidikan lain. Antara lain, mars SMPN 1 Manyar GKB, mars MI Malik Ibrahim, serta mars dan himne Perguruan Tinggi Qomaruddin.

"Saya memang kuliah di jurusan seni rupa. Tapi, saya juga suka musik. Dulu, saya juga suka main band," terang guru yang berhasil menjadi Penata Musik Terbaik Jatim 2009.

Hebatnya, Fatah mampu menciptakan sebuah lagu secara kilat. Hanya butuh satu hari untuk merampungkannya. Apalagi, pas mood-nya bagus, dia bisa menciptakan lebih dari satu lagu. Nah, untuk menilai sebuah lagu layak atau belum ditampilkan, biasanya Fatah menyuruh istri dan anaknya menilai. Tujuan lainnya, menghindari kesamaan dengan lagu yang sudah ada.

"Barangkali saja ada unsur lagu tertentu yang saya sukai masuk dalam karya saya. Nah, istri dan anak saya yang menjadi juri," tuturnya.

Alumnus IKIP Surabaya (kini Universitas Negeri Surabaya) tersebut menjelaskan tidak pernah mematok harga untuk sebuah lagu yang diciptakan. Dia menerima berapa pun bayaran yang diberikan sekolah atau lembaga lain yang memesan lagu kepadanya. Fatah menyatakan mengarang lagu karena hobi. Sehingga, bayaran tidak terlalu menjadi persoalan.


Selain menciptakan lagu, Fatah sering mendapat job membuat ilustrasi buku. Karyanya dalam bidang menggambar memang patut diacungi jempol. Pada 2007 dia memenangi lomba cipta komik sejarah se-Kabupaten Gresik. Gambar komiknya sangat halus dan rapi. Isinya padat dan berbobot.

Fatah pun kerap mengikuti pameran lukisan keliling. Hanya, belakangan kegiatan melukisnya mulai dikurangi. Dia lebih terfokus menulis buku atau menciptakan lagu.




Budi Hartono dan Nurul Fatah mungkin bisa menjadi inspirasi bagi para guru yang lain atau juga bagi para calon guru, tentang bagaimana mengelola ketrampilan sambil meningkatkan penghasilan. Harapan saya, mudah-mudahan spirit seperti ini menyebar luas di kalangan guru di Indonesia.

Memang…. Alangkah indahnya KALAU guru ga perlu lagi nyambi untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidupnya, tak peduli apa pun pekerjaanya sambilannya… alangkah indahnya KALAU guru hanya perlu berkonsentrasi penuh pada kerja mengajar yang memang sudah menguras tenaga dan emosi… Ups! Mimpi kali yee…!

Namun, akhirnya memang, bagi saya kita mesti kembali mencari hikmah dari yang kita alami atau yang orang lain jalani: rejeki sudah ada yang ngatur, yang penting kita BERSYUKUR dan pandai mengelolanya.

Untuk saya sendiri, walaupun babak belur dengan masalah keuangan, saya tidak pernah terpikir untuk menjadikan uang sebagai satu-satunya prioritas. Dengan segala kerendahan hati, dan sama sekali tak bermaksud sok ngidealis: saya sangat membutuhkan uang, tapi tidak menempatkan uang sebagai satu-satunya prioritas. Yang namanya “rejeki” bagi kami juga bukan hanya gaji, honor les, atau honor menulis. Tapi, tiba-tiba kami dikirimi makanan dari tetangga, atau dibawa’in oleh-oleh dari teman. Hal-hal kecil yang seperti itulah yang kami sebut juga rejeki. Dan tentunya, itu kami syukuri… Konsep saya dan anak-anak tentang kekayaan dan kesejahteraan memang tidak melulu uang. Bahwa kami semua tetap sehat, pulang dari sekolah atau kampus bisa ngumpul dan kemudian ketawa ketiwi bersama, aman ayem di rumah, itu adalah bagian dari kekayaan yang kami miliki.

Pengalaman saya sebagai guru mengajarkan bahwa seberapa pun dibilang jadi guru itu bakalan kere, tapi saya kok belum pernah merasakan kere lahir apalagi bathin. Buat saya, kaya – miskin itu relatif, itu hanya hitung-hitungan angka manusia. Kalau teman saya yang pengusaha bisa jalan-jalan ke Hongkong, bisa pake tas, baju, sepatu, jam tangan branded, saya ikut senang dan bersyukur. Kalau saya belum bisa seperti itu pun, sama sekali saya tidak merana. Saya udah senang, anak saya bisa lancar kuliah dan sekolah. Bahkan, terus terang nih, dalam jatuh bangun keuangan ini malah merasakan “muzijat-muzijat” kecil yang disatu pihak sangat menyenangakan, di pihak lain juga mengharukan. Saya merasa kok Tuhan tu dekaaaat, setiap saat apalagi saat kesusahan…

Dalam kesempatan-kesempatan pembinaan terhadap rekan-rekan guru di sekolah, saya meluangkan waktu untuk membahas khusus masalah pengelolaan keuangan ini (seperti yang saya ceritakan di bagian atas). Saya rasa ini perlu, karena masalah keuangan SEDARI DULU sudah menjadi masalah tak terpisahkan dari profesi guru. Para guru pada umumnya mengeluhkan, tetapi ENGGAN membicarakannya. Banyak yang merasa malu membicarakan hal yang memang memprihatinkan dan cenderung memalukan ini. Padahal menurut saya, bila kita mau membicarakannya dengan sehat dan terbuka, mungkin malah ada jalan, tidak hanya untuk kita, melainkan juga untuk guru-guru lain, terutama guru-guru muda yang baru mulai merintis karier menjadi guru.

***

---bersambung---

Agnes Bemoe

Sumber Gambar: http://images.google.co.id/imglanding?q=teacher&imgurl

No comments:

Post a Comment