Follow Us @agnes_bemoe

Tuesday, 24 May 2011

GA USAH JADI GURU DEH!_Bagian 3.3 : MAKAN ATI!



Masih di Dumai. Saya punya seorang murid, bernama: Ryan (nama samaran, Pen). Anaknya ganteng, dan nama aslinya punya makna yang bagus sekali. Nama itu diambil dari judul sembuah lagu lama yang dinyanyikan oleh Pat Boone! Tapi, anaknya nuakiiiiilll banget! Guru-guru sampai males berhubungan dengan anak yang satu ini. Pemarah, pelawan, tukang bolos, dan tukang berkelahi! Apalagi, ayah Ryan ini adalah kepalanya preman di suatu kawasan pasar di kota Dumai.

Ryan tentu saja bermasalah dengan hampir semua guru, termasuk sama saya. Wah, pokoknya perlakuan yang paling kurang ajar pernah ia tunjukkan, termasuk: meludah di depan saya, karena saya tegur untuk tidak menginjak tanaman! Kalo mau nuruti emosi, rasanya sudah pengen saya cekik anak ini…

Tapi, saya memilih untuk menahan diri. Saya tetap menegur dan memarahi, namun, sedikitpun saya tidak tergoda untuk bersikap kasar. Saya tidak mau terpancing untuk menjadi emosi tidak karuan terhadap Ryan. Sebaliknya, saya pun jadi memberi perhatian ekstra padanya. Kebetulan, kakaknya juga sekolah di sekolah saya. Saya panggil kakaknya dan saya ajak bicara. Dan, seperti yang saya duga: semuanya bersumber dari rumah. Ayahnya keras secara fisik dan psikis, ibunya lemah. Pola pengasuhan yang tidak seimbang ini yang membuat Ryan jadi ikut-ikutan tidak seimbang.

Suatu saat, Ryan berkelahi dengan kawannya. Dan karena perkelahian ini dan juga ditambah dengan serangkaian kenakalan yang lain, ia kena schorsing. Setelah proses schorsing melalui Wali Kelas dan Wakil Kepala Sekolah, saya ajak Ryan untuk bicara. Saya memang sering mengajak bicara anak yang kena sanksi, bukan untuk bernegosiasi, tetapi lebih kepada semacam refleksi bersama atas apa yang terjadi.

Pertama-tama tentu Ryan menunjukkan sikap menentang dan sok-sok an, tapi saya tak peduli. Saya tahu, bahwa di rumah dia adalah anak yang kenyang dengan pukulan dan hantaman, dan bukan kasih sayang, makanya saya yakin banget, sikap menentangnya itu hanyalah kamuflase dari kegersangan hatinya. Singkatnya, Ryan akhirnya bisa saya ajak bicara, dan dia dengan lapang hati mau menerima bahwa schorsing adalah bagian dari tanggung jawabnya.

Yang tidak bisa menerima adalah: bapaknya!

Saya sedang menulis di kantor saya, ketika tiba-tiba bapaknya menerobos (bukan bermaksud lebay, karena benar-benar menerobos) ke kantor saya. Orangnya tinggi kekar, tampak masih muda untuk jadi ayah seorang remaja, rambutnya gondrong, berhem bahan jin, dan berkalung emas panjang di lehernya! Yang jelas, wajahnya sangar! Hwaduh!

Dengan suara yang meledak-ledak, dan kata-kata yang … begitulah… bapak Ryan berkeras anaknya tidak boleh dischors. Entah dari mana saya mendapatkannya, namun, saya ingat, saya tenaaaang sekali menerima bapak itu. Tanpa menggunakan kata-kata kasar, saya tetap berkeras bahwa Ryan harus menerima schorsing.

Bapak itu menuduh saya dendam pada Ryan. Namun, dengan tenang saya menyampaikan bahwa sanksi dari sekolah sama sekali tidak didasari oleh rasa dendam. Sanksi itu diberlakukan sesuai dengan proses dan prosedur yang sudah sama-sama disepakati oleh orang tua.

Untuk meyakinkan bapak itu bahwa saya tidak dendam, saya sampaikan bahwa sampai kemarin pun saya masih ajak Ryan berbicara, dan pembicaraan kemarin itu berlangsung dengan sangat baik. Tidak ada percikan emosional yang muncul, dan bahkan Ryan akhirnya menyadari kekeliruannya serta menerima sanksi sebagai konsekuensi perbuatannya. Dan, di hadapan orang tua yang marah itu, saya sampaikan bahwa saya pribadi sebenarnya sangat kagum pada Ryan. Dia adalah anak muda yang tahu bertanggung jawab. Saya sampaikan juga bahwa saya kagum akan bakat Ryan (dia suka sepakbola). Saya juga sampaikan bahwa Ryan merupakan anak yang diandalkan untuk tim sepakbola sekolah. Kelihatannya tidak ada hubungannya ya, tapi saya hanya ingin mengekspos kelebihan Ryan di depan orang tuanya sendiri. Saya harap, orang tua itu menyadari, bahwa mereka punya anak yang luar biasa.

Bapak Ryan masih memaksa saya dengan berbagai cara yang tentu saja intimidatif, termasuk mengusik-usik pribadi saya. Tapi, saya tetap tenang (sekali lagi saya masih heran, kok saya bisa setenang itu), saya sama sekali tidak terpancing untuk berbicara secara emosional, dan tentu saja saya tetap pada keputusan sekolah untuk schorsing. Secara fisik saja bapak itu sudah sangat mengerikan. Kalau beliau lepas kendali dan menyarangkan tinjunya ke muka saya, saya pasti langsung koma! Apalagi, ditambah dengan mendengar kata-kata beliau yang “aduhai”!

Nyatanya, bapak Ryan yang sangar dan tinggi besar itu tidak berhasil menekan saya. Dengan kesal, akhirnya bapak Ryan berkata:
“Sudahlah kalau begitu!”

Kemudian dengan gubrak-gubruk, beliau keluar dari kantor saya. Saya pun, untuk sopan santun, sempat mengantar beliau sampai di pintu. Yang membuat saya kaget, ternyata Ryan ada di depan kantor saya, duduk di tempat duduk tamu! Wah, berarti dia mendengar semua isi pembicaraan itu.

Saya ingat, Ryan hanya tertunduk sambil mengantar ayahnya pulang. Ryan tetap dischors.

Setelah schorsing, sikap Ryan saya rasakan agak berubah. Bila berpapasan dengan saya, ia lebih banyak tertunduk. Padahal biasanya, ia dengan pongahnya berjalan melewati saya. Selanjutnya saya ingat, ia juga tidak terlalu banyak membuat ulah. Terlambat satu dua kali, tentu masih. Tapi, berbanding dengan kelakuannya dulu yang cenderung “kriminal”, terlambat jadi seperti “kerja sosial” buat dia. Saya tidak tahu, apa yang membuat ia seperti itu. Semoga karena ia menangkap sinyal cinta yang saya dan bapak ibu guru yang lain coba kirimkan padanya.

Sampai saat ini, kalau saya mendengar lagu “XXX” yang dinyanyikan oleh Pat Boone, saya selalu ingat murid saya yang satu itu.

---bersambung---

Agnes Bemoe

Sumber gambar : http://images.google.co.id/imglanding?q=crying%20face&imgurl

No comments:

Post a Comment