Follow Us @agnes_bemoe

Sunday, 21 January 2018

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: DE KRETEKKONING

Judul Buku                  : Sang Raja
Penulis                         : Iksaka Banu
Editor                          : Pax Benedanto
Penerbit                       : Kepustakaan Populer Gramedia
Genre                          : Novel Sejarah
Tahun Terbit                : Cetakan Pertama, September 2017



Konon, di acara penobatan Ratu Elisabet dari Inggris di tahun 1953, H. Agus Salim diejek oleh Pangeran Philip, suami ratu. Pangeran Philip menyebut H. Agus Salim, yang tidak lepas dari rokok kreteknya, “bau”. Jawaban H. Agus Salim sungguh telak. Benar, Tuan. Dan bau inilah yang membawa bangsa Anda ke negeri saya. “Bau”, atau tepatnya aroma H. Agus Salim berasal dari kretek yang diisapnya. Rokok kretek adalah tembakau asli yang dicampur dengan cengkeh dan saus, yang bila diisap akan menimbulkan suara “kretek-kretek” yang khas.
Berbicara tentang industri tembakau (rokok), kita kenal Goedang Garam, Djaroem, Djie Sam Soe, Sampoerna, dll. Siapa sangka, cikal bakal semuanya itu adalah kerja keras seorang ‘pribumi’ (saya gunakan tanda kutip karena saya kurang suka istilah ini) bernama Nitisemito, pengusaha asal Kudus.  Novel setebal 383 halaman ini berkisah tentang jatuh bangunnya si pribumi ini mendirikan dan mengembangkan pabrik rokok “Bal Tiga” miliknya hingga menjadi pemain utama di masanya.
Diceritakan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, yaitu melalui mata Filipus Rechterhand dan Wirosoeseno –keduanya adalah karyawan kepercayaan Nitisemito di NV Nitisemito- cerita mengalir lancar, mulai dari asal mulai keduanya bekerja (sekitar tahun 20-an) sampai dengan Nitisemito wafat di tahun 1953.
Kisah Nitisemito sendiri sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kisah-kisah sukses yang lainnya: kerja keras dan tahan banting. Kenyataan bahwa Nitisemito adalah ‘pribumi’ makin menambah makna kesuksesannya. Tidak mudah menjadi pribumi di zaman penjajahan. Hidup layak saja sudah bersyukur. Karenanya, bila berhasil menjadi pengusaha sukses, pasti ada sesuatu yang luar biasa pada pribadi Nitisemito. Inilah yang diangkat oleh novel ini dan membuat novel ini menarik.
Yang membuatnya jadi lebih menarik adalah kemampuan crafting penulisnya. Cerita dikemas sedemikian rupa; berbagai data dan fakta bercampur dengan imajinasi dirangkai dengan rapi, jeli, dan menggelitik rasa ingin tahu. Iksaka Banu, penulisnya, bercerita dengan sangat efisien. Tidak ada kata yang tak berguna atau bahkan penceritaan yang bertele-tele.   
Pembaca diajak berkelana dan berkenalan dengan Nitisemito dan Bal Tiganya sambil melewati fase kehidupan Bangsa Indonesia; Hindia Belanda, Penjajahan Jepang, Kemerdekaan, sampai Agresi Militer Belanda I dan II. Secara tidak langsung, pembaca dibawa melihat kembali sejarah perjuangan Indonesia. Walaupun demikian, buku ini sama sekali tidak terasa sebagai diktat sejarah yang membosankan.
Buat saya pribadi, biarpun buku ini bukan buku sejarah, entah kenapa saya merasa sangat terharu malah di bagian-bagian sejarahnya. Saya berhenti cukup lama di bagian turun gunungnya Jendral Sudirman. Padahal bagian itu hanya satu paragraf pendek.
Saya bukan penggemar Pak Harto biarpun tidak sepenuhnya membencinya (saya hidup di masa beliau berjaya sebagai presiden). Namun, jujur, baru kali inilah, lewat buku ini, saya merasakan pentingnya Serangan Umum 1 Maret 1949 diYogyakarta. Berikut, tumbuh hormat saya pada sosok presiden RI kedua itu. Berulang kali menonton film “Janur Kuning” tak juga membuat saya paham arti serangan itu, kecuali hanya terkenang akan ketampanan Kaharudin Syah. Sungguh. Mungkin, karena diceritakan oleh sosok ‘biasa’ semacam Wirosoeseno, yang saat itu dalam kondisi kebingungan dan membutuhkan kepastian bagi negaranya, saya bisa merasakan strategisnya serangan itu.
Berkaitan dengan cara menulis ini, saya salut pada kemampuan Iksaka Banu untuk menulis dengan elegan dan obyektif. Kisah-kisah mengenai ‘Londo-Pribumi’ gampang sekali ditarik menjadi cerita penuh penderitaan di sisi pribumi, kekejaman di sisi Londo, perasaan terkorbankan, dan lain-lain yang mengaduk-aduk emosi, yang ujung-ujungnya membuat pembaca membenci satu kelompok dan mengagumi kelompok lain. Dua-duanya dilakukan dengan sama-sama buta. Saya bersyukur, Iksaka Banu tidak lari ke arah sana. Seperti yang saya katakan, Iksaka Banu menulis dengan obyektif dan cukup berjarak dengan para tokohnya.
Kembali lagi kepada cerita, di bagian-bagian awal, cerita seolah berjalan lambat dan lebih terpusat pada Filipus Rechterhand dan Wirosoeseno, dibandingkan dengan sosok Nitisemito sendiri. Namun, memasuki perempat kedua, cerita mulai mengalir lebih cepat dengan berbagai keberhasilan maupun rintangan yang dialami pabrik rokok Bal Tiga, dan pelan-pelan, kitapun berkenalan dengan pribadi Nitisemito. Menuliskan ini bukan berarti saya keberatan dengan penceritaan tentang Filipus Rechterhand dan Wirosoeseno. Malahan, dalam bayangan saya, kalau hanya menulis tentang Nitisemito mungkin novel ini mungkin agak kehilangan imajinasinya. Karena dituliskan dengan pandangan orang lain berikut kisah hidup mereka itulah novel ini terbangun ceritanya. Dan kisah tentang keduanya adalah kisah yang menarik; mengharu biru dengan letupan kemanusiaan yang kental.
Mengenai Nitisemito, menurut saya ada yang menarik hati saya tentang sosok ini. Novel ini jelas berevolusi pada Nitisemito, pria Jawa yang dengan kegigihannya membangun kerajaan bisnis kretek yang disegani, tidak hanya untuk kota Kudus tapi juga untuk Hindia Belanda. Namun, ternyata, ada tokoh di belakang layar yang lebih kuat daripada Nitisemito. Ini kelihatan sekali dalam konflik-konflik di akhir hidup Nitisemito (dan yang memicu kejatuhan Bal Tiga). Ibu Nasilah, istri pertama Nitisemito, sebenarnya bisa dibilang ‘raja’ di belakang Sang Raja (julukan bagi Nitisemito). Sayang sekali, penulis sedikit sekali menceritakan tentang Ibu Nasilah ini. Tidak hanya Ibu Nasilah, penulis tidak terlalu banyak bercerita tentang ketiga istri Nitisemito yang lain. Tentu saja penulis punya pertimbangan tersendiri. Namun, menurut saya, menambahkan sedikit tentang Ibu Nasilah pastilah membuat novel ini tambah ‘panas’(dan saya sebagai penggemar gosip dan teori konspirasi lebih terpuaskan… hehehe….)
Namun demikian, secara jujur harus saya akui, tanpa penceritaan tentang Ibu Nasilah pun novel ini sudah sangat menarik dan memuaskan. Sulit bagi saya menemukan kelemahannya karena faktanya saya membacanya dengan sangat asyik dan nyaris tanpa bisa dihentikan. Bila dipaksakan juga, mungkin saya mau mengangkat karakterisasi  Filipus Rechterhand di bagian akhir. Sepanjang cerita, pegawai keuangan NV Nitisemito ini digambarkan sebagai orang yang tenang, ramah, dan mudah bergaul. Di bagian akhir, Filipus sedikit berubah menjadi penggerutu khas Londo, yang tidak tahan dengan kelambanan dan kecuaian ‘pribumi’. Biarpun ada penjelasan bahwa ini karena usia tua, saya rasa sayang sekali kalau Filipus dikembalikan pada stereotype Londo-nya, mengingat sedari kecil ia sudah bergaul dan berusaha keras beradaptasi dengan ‘pribumi’, bahkan ia menikahi seorang pribumi. Menikahi, bukan mengambil gundik. Namun demikian, tentu saja ini bukan sesuatu yang besar yang merusak cerita. Kisah tentang Si Tua Filipus ini malah membuat pembaca (saya) nyengir membanyangkan Londo kasep yang pemarah.
Akhirnya, saya rekomendasikan novel yang super bagus ini kepada siapa saja. Saya anjurkan guru-guru dan sekolah memiliki novel ini dan mengajak para siswa untuk membaca dan membahasnya. Sangat banyak pelajaran yang bisa digali dari novel ini. Tidak hanya pelajaran tentang kesusastraan dari hasil keterampilan penulisnya, namun juga pelajaran hidup yang dipetik dari kisah Sang Raja. Yang terpenting adalah pelajaran tentang keindonesiaan; betapa Indonesia itu dibangun dengan darah dan nyawa. Tidak mudah dan murah. Karenanya, jangan gampang menyerahkan tanah air tercinta ini pada ideologi yang sama sekali belum ada buktinya.
Karena kerennya tema, gaya penceritaan, dan pesan yang dibawa oleh novel ini saya ingin memberikan lima bintang untuk De Kretekkoning alias Sang Raja. 5 out of 5 stars. Salut.  
***

Pembatuan, 21 Januari 2018

@agnes_bemoe

No comments:

Post a Comment