Judul Buku : Sang Raja
Penulis : Iksaka Banu
Editor :
Pax Benedanto
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
Genre : Novel Sejarah
Tahun Terbit :
Cetakan Pertama, September 2017
Konon, di acara penobatan Ratu
Elisabet dari Inggris di tahun 1953, H. Agus Salim diejek oleh Pangeran Philip,
suami ratu. Pangeran Philip menyebut H. Agus Salim, yang tidak lepas dari rokok
kreteknya, “bau”. Jawaban H. Agus Salim sungguh telak. Benar, Tuan. Dan bau inilah yang membawa bangsa Anda ke negeri saya. “Bau”,
atau tepatnya aroma H. Agus Salim berasal dari kretek yang diisapnya. Rokok
kretek adalah tembakau asli yang dicampur dengan cengkeh dan saus, yang bila
diisap akan menimbulkan suara “kretek-kretek” yang khas.
Berbicara tentang industri tembakau
(rokok), kita kenal Goedang Garam, Djaroem, Djie Sam Soe, Sampoerna, dll. Siapa
sangka, cikal bakal semuanya itu adalah kerja keras seorang ‘pribumi’ (saya
gunakan tanda kutip karena saya kurang suka istilah ini) bernama Nitisemito,
pengusaha asal Kudus. Novel setebal 383
halaman ini berkisah tentang jatuh bangunnya si pribumi ini mendirikan dan
mengembangkan pabrik rokok “Bal Tiga” miliknya hingga menjadi pemain utama di
masanya.
Diceritakan dengan menggunakan
sudut pandang orang ketiga, yaitu melalui mata Filipus Rechterhand dan
Wirosoeseno –keduanya adalah karyawan kepercayaan Nitisemito di NV Nitisemito-
cerita mengalir lancar, mulai dari asal mulai keduanya bekerja (sekitar tahun
20-an) sampai dengan Nitisemito wafat di tahun 1953.
Kisah Nitisemito sendiri sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan kisah-kisah sukses yang lainnya: kerja keras dan
tahan banting. Kenyataan bahwa Nitisemito adalah ‘pribumi’ makin menambah makna
kesuksesannya. Tidak mudah menjadi pribumi di zaman penjajahan. Hidup layak
saja sudah bersyukur. Karenanya, bila berhasil menjadi pengusaha sukses, pasti
ada sesuatu yang luar biasa pada pribadi Nitisemito. Inilah yang diangkat oleh
novel ini dan membuat novel ini menarik.
Yang membuatnya jadi lebih menarik
adalah kemampuan crafting penulisnya.
Cerita dikemas sedemikian rupa; berbagai data dan fakta bercampur dengan
imajinasi dirangkai dengan rapi, jeli, dan menggelitik rasa ingin tahu. Iksaka
Banu, penulisnya, bercerita dengan sangat efisien. Tidak ada kata yang tak
berguna atau bahkan penceritaan yang bertele-tele.
Pembaca diajak berkelana dan
berkenalan dengan Nitisemito dan Bal Tiganya sambil melewati fase kehidupan
Bangsa Indonesia; Hindia Belanda, Penjajahan Jepang, Kemerdekaan, sampai Agresi
Militer Belanda I dan II. Secara tidak langsung, pembaca dibawa melihat kembali
sejarah perjuangan Indonesia. Walaupun demikian, buku ini sama sekali tidak
terasa sebagai diktat sejarah yang membosankan.
Buat saya pribadi, biarpun buku ini
bukan buku sejarah, entah kenapa saya merasa sangat terharu malah di
bagian-bagian sejarahnya. Saya berhenti cukup lama di bagian turun gunungnya
Jendral Sudirman. Padahal bagian itu hanya satu paragraf pendek.
Saya bukan penggemar Pak Harto
biarpun tidak sepenuhnya membencinya (saya hidup di masa beliau berjaya sebagai
presiden). Namun, jujur, baru kali inilah, lewat buku ini, saya merasakan
pentingnya Serangan Umum 1 Maret 1949 diYogyakarta. Berikut, tumbuh hormat saya
pada sosok presiden RI kedua itu. Berulang kali menonton film “Janur Kuning” tak
juga membuat saya paham arti serangan itu, kecuali hanya terkenang akan
ketampanan Kaharudin Syah. Sungguh. Mungkin, karena diceritakan oleh sosok ‘biasa’
semacam Wirosoeseno, yang saat itu dalam kondisi kebingungan dan membutuhkan
kepastian bagi negaranya, saya bisa merasakan strategisnya serangan itu.
Berkaitan dengan cara menulis ini, saya
salut pada kemampuan Iksaka Banu untuk menulis dengan elegan dan obyektif.
Kisah-kisah mengenai ‘Londo-Pribumi’ gampang sekali ditarik menjadi cerita
penuh penderitaan di sisi pribumi, kekejaman di sisi Londo, perasaan terkorbankan, dan lain-lain yang mengaduk-aduk
emosi, yang ujung-ujungnya membuat pembaca membenci satu kelompok dan
mengagumi kelompok lain. Dua-duanya dilakukan dengan sama-sama buta. Saya
bersyukur, Iksaka Banu tidak lari ke arah sana. Seperti yang saya katakan,
Iksaka Banu menulis dengan obyektif dan cukup berjarak dengan para tokohnya.
Kembali lagi kepada cerita, di
bagian-bagian awal, cerita seolah berjalan lambat dan lebih terpusat pada Filipus
Rechterhand dan Wirosoeseno, dibandingkan dengan sosok Nitisemito sendiri.
Namun, memasuki perempat kedua, cerita mulai mengalir lebih cepat dengan
berbagai keberhasilan maupun rintangan yang dialami pabrik rokok Bal Tiga, dan
pelan-pelan, kitapun berkenalan dengan pribadi Nitisemito. Menuliskan ini bukan
berarti saya keberatan dengan penceritaan tentang Filipus Rechterhand dan
Wirosoeseno. Malahan, dalam bayangan saya, kalau hanya menulis tentang
Nitisemito mungkin novel ini mungkin agak kehilangan imajinasinya. Karena
dituliskan dengan pandangan orang lain berikut kisah hidup mereka itulah novel
ini terbangun ceritanya. Dan kisah tentang keduanya adalah kisah yang menarik;
mengharu biru dengan letupan kemanusiaan yang kental.
Mengenai Nitisemito, menurut saya ada
yang menarik hati saya tentang sosok ini. Novel ini jelas berevolusi pada
Nitisemito, pria Jawa yang dengan kegigihannya membangun kerajaan bisnis kretek
yang disegani, tidak hanya untuk kota Kudus tapi juga untuk Hindia Belanda. Namun, ternyata, ada tokoh di belakang layar yang lebih kuat
daripada Nitisemito. Ini kelihatan sekali dalam konflik-konflik di akhir hidup
Nitisemito (dan yang memicu kejatuhan Bal Tiga). Ibu Nasilah, istri pertama
Nitisemito, sebenarnya bisa dibilang ‘raja’ di belakang Sang Raja (julukan bagi
Nitisemito). Sayang sekali, penulis sedikit sekali menceritakan tentang Ibu
Nasilah ini. Tidak hanya Ibu Nasilah, penulis tidak terlalu banyak bercerita
tentang ketiga istri Nitisemito yang lain. Tentu saja penulis punya
pertimbangan tersendiri. Namun, menurut saya, menambahkan sedikit tentang Ibu
Nasilah pastilah membuat novel ini tambah ‘panas’(dan saya sebagai penggemar gosip
dan teori konspirasi lebih terpuaskan… hehehe….)
Namun demikian, secara jujur harus
saya akui, tanpa penceritaan tentang Ibu Nasilah pun novel ini sudah sangat
menarik dan memuaskan. Sulit bagi saya menemukan kelemahannya karena faktanya
saya membacanya dengan sangat asyik dan nyaris tanpa bisa dihentikan. Bila
dipaksakan juga, mungkin saya mau mengangkat karakterisasi Filipus Rechterhand di bagian akhir. Sepanjang
cerita, pegawai keuangan NV Nitisemito ini digambarkan sebagai orang yang
tenang, ramah, dan mudah bergaul. Di bagian akhir, Filipus sedikit berubah
menjadi penggerutu khas Londo, yang
tidak tahan dengan kelambanan dan kecuaian ‘pribumi’. Biarpun ada penjelasan
bahwa ini karena usia tua, saya rasa sayang sekali kalau Filipus dikembalikan
pada stereotype Londo-nya, mengingat
sedari kecil ia sudah bergaul dan berusaha keras beradaptasi dengan ‘pribumi’,
bahkan ia menikahi seorang pribumi. Menikahi, bukan mengambil gundik. Namun
demikian, tentu saja ini bukan sesuatu yang besar yang merusak cerita. Kisah
tentang Si Tua Filipus ini malah membuat pembaca (saya) nyengir membanyangkan Londo
kasep yang pemarah.
Akhirnya, saya rekomendasikan novel
yang super bagus ini kepada siapa saja. Saya anjurkan guru-guru dan sekolah
memiliki novel ini dan mengajak para siswa untuk membaca dan membahasnya.
Sangat banyak pelajaran yang bisa digali dari novel ini. Tidak hanya pelajaran
tentang kesusastraan dari hasil keterampilan penulisnya, namun juga pelajaran
hidup yang dipetik dari kisah Sang Raja. Yang terpenting adalah pelajaran
tentang keindonesiaan; betapa Indonesia itu dibangun dengan darah dan nyawa.
Tidak mudah dan murah. Karenanya, jangan gampang menyerahkan tanah air tercinta
ini pada ideologi yang sama sekali belum ada buktinya.
Karena kerennya tema, gaya
penceritaan, dan pesan yang dibawa oleh novel ini saya ingin memberikan lima
bintang untuk De Kretekkoning alias Sang Raja. 5 out of 5 stars. Salut.
***
Pembatuan, 21 Januari 2018
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment