Ada masanya saya tidak bisa menerima bahwa saya sakit. Seperti sekarang ini, saya sulit menerima bahwa saya tidak bisa melakukan hal-hal paling sepele seperti jalan, berdiri, atau duduk. Apalagi jalan-jalan, makan-makan, atau kesenangan lainnya. Dan,itu sangat membuat frustrasi.
Persis Lebaran lalu saya tumbang lagi.
Oke, kesalahan ada pada saya. Selama bulan puasa, saya ikuti irama hidup toa masjid di kampung saya. Ketika toa mulai membangunkan segenap isi kampung untuk makan sahur, saya juga ikut terbangun. Daripada terbangun sia-sia, saya memutuskan untuk duduk mengetik.
Kalau sudah mengetik, saya suka lupa diri (dan tak tahu diri). Bisa sampai jam 10 atau 11 pagi. Awalnya tidak terasa apa-apa. Lalu, tiba-tiba saya merasakan sengatan di pinggang. Itu sekitar akhir Juni. Masalahnya, saat itu saya sedang ada utang pekerjaan dengan sebuah grup menulis yang tidak mungkin saya tinggalkan.
Dalam kondisi sudah nyengir-nyengir, saya selesaikan juga tugas itu. Syukurlah bisa selesai. Namun, seperti saya katakan, saya tumbang dengan sukses.
Saya kesakitan. Tidak bisa bangun, tidak bisa berdiri, jalan, apalagi duduk. Pertolongan pertama saya adalah tidur berbaring sepanjang hari menenangkan syaraf yang terjepit. Terapis langganan saya belum buka karena libur Lebaran. Jadi, saya hanya bisa menunggu.
Saat itu saya sebenarnya ada tanggungan tugas dari sebuah panitia reuni, selain melanjutkan tugas dari grup menulis di atas. Dengan menahan malu dan tidak enak hati saya terpaksa minta diri dari tugas-tugas itu.
Nah, saya lalu ke terapi untuk berobat, yang mana sangat membantu. Tapi, sebelnya, atau saya harus tulis SEBELNYA dengan huruf besar, kalau HNP saya kumat, pasti diikuti dengan (1) konstipasi, dan... ini yang menyebalkan (2) depresi.
Jadi begini, selagi berjuang dengan HNP, saya kena radang tenggorokan. Tidak parah. Dengan bantuan internet, saya cari tahu pengobatan alaminya. Demam dan radang tenggorokan membuat saya tidak bisa makan dan ini menganggu pencernaan. Konstipasilah saya.
Sudah punya pengalaman sebelumnya, kali ini konstipasi saya gempur dengan sayur hijau dan buah. Syukurlah, mereda tanpa harus ke RS (kali terakhir saya harus ke RS).
Selagi HNP, radang, demam, dan kosntipasi menari-nari di badan saya, saya menyadari ada yang mengintip dari luar, menunggu kesempatan masuk. Depresi.
Saya mulai gloomy, super gloomy. Pokoknya tidak enak. Susah saya menggambarkannya.
Saya malas berurusan dengan orang. Sialnya, pada saat yang bersamaan saya mengalami kendala terkait dengan ilustrasi untuk buku baru saya. Hal itu sungguh memicu depresi saya dan berat rasanya bahkan hanya untuk mengingatnya.
Puji Tuhan, saya segera menyadari gejala-gejala awal depresi yang sedang terjadi pada diri saya. Berbekal itu, saya menyusun diri supaya tidak terseret terlalu jauh dalam gejolak alam pikiran saya sendiri. Hasilnyan umayan, biarpun fluktuatif juga.
Di awal tulisan saya menyebutkan tentang betapa frustrasinya saya karena apa yang saya alami ini. Betapa saya belum bisa menerima bahwa saya harus seperti ini.
Pikiran itulah yang selalu memberati kepala saya. "Andaikan sehat, saya bisa nulis. Andaikan sehat, saya bisa jalan ke mall. Andaikan sehat, saya bisa ikut kegiatan ini itu. Andaikan sehat... dst"
Mudah bagi anda yang sehat untuk bilang: sudah sabar aja... dst. Faktanya, ketika sakit hal-hal seperti itulah yang menutupi pikiran saya.
Saya sulit melepaskan keinginan-keinginan itu, sampai pagi ini ketika membaca buku "Mencari Tuhan dalam Segala" karya Anthony de Mello, SJ saya menemukan sebuah kalimat yang menohok sekali: ada orang-orang yang kehilangan hidup demi memelihara kesehatannya. Saya lebih memilih mereka yang kurang sehat namun benar-benar hidup dan menikmati hidup (Hal. 15).
Kalimat itu benar-benar menggetok kepala saya. Menikmati hidup.
Kalau saya ingat-ingat lagi, itu juga yang pernah disarankan psikiater saya. Dalam bahasa yang tidak terlalu njelimet, seorang teman pernah memberi saran: kalau kepingin Van Hollano (nama bakery), pergi beli. Mau ke karaoke, karaoke! Hidup ini sederhana: susah-senang-susah-senang-lalu mati. Jadi, tidak usah dibuat rumit!
Kata-kata itu yang dulu pernah menyadarkan saya. Sekarang saya dengar lagi: menikmati hidup.
Saya bisa saja meratapi penjara ini atau menari-nari bersama tikus-tikus di dalamnya. It's my call.
***
Pembatuan, 24 Juli 2016
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment