Awal bulan September lalu saya, bersama Yovita Siswati, mengikuti Asian
Festival of Children’s Content (AFCC) 2019 di Singapura. Ini adalah kali
kedua saya ikut event ini. Pertama kali saya hadir adalah sebagai salah seorang
yang karyanya masuk dalam shortlisted
SingTel Asian Picture Book Award tahun
2013. Nah, kali ini saya ikut serta dalam AFCC sebagai salah seorang panelis
untuk sesi “Minority Reprentation in
Children’s Literature”.
AFCC 2013, bersama Sofie Dewayani |
ASIAN FESTIVAL OF
CHILDREN’S CONTENT
AFCC adalah acara tahunan yang diadakan oleh Singapore Book Council. Seperti yang
tertuang dalam namanya, festival ini secara khusus hendak mengembangkan konten
keasiaan dalam buku anak dan remaja awal. Festival ini berisi serangkaian
seminar, kuliah umum, presentasi, diskusi panel, workshop, masterclass, sampai
dengan pameran karya illustrator dan toko buku. Wah, pokoknya super lengkap!
Kalau anda suka belajar, ini adalah festival yang akan memuaskan kerinduan anda
akan ilmu tentang perbukuan anak. Tidak hanya keanekaragaman platform
belajarnya saja tapi juga topik yang dibicarakan itu bermutu sekali. Para
pembicaranya juga jelas punya kedalaman ilmu serta tahu mana yang baik dan
perlu diperjuangkan.
Berssama Yovita Siswati |
Peserta dan pembicaranya secara umum datang dari negara-negara
Asia. Terjauh (dari sudut pandang Indonesia) datang dari Turki dan Iran. Namun
demikian, ada juga peserta dan pembicara dari luar Asia, seperti Amerika,
Canada, dan Australia.
Peserta festival ini pun tidak hanya dari industri perbukuan
(editor, penulis, illustrator, penerjemah) tapi dari para guru dan orangtua
juga. Di beberapa sesi saya malah melihat ada sekelompok mahasiswa.
MINORITY
REPRESENTATION IN CHILDREN’S CONTENT
Bicara minoritas dalam buku anak Indonesia amat sangat
banyak sekali yang hendak disampaikan. Terutama dari sudut pandang saya sebagai
penulis cerita anak di Indonesia yang tidak jarang mengalami sendiri bagaimana topik-topik
minoritas harus berjuang keras hanya untuk bisa terbit. Dan tidak jarang,
kalah. Karenanya, saya senang sekali ada forum yang membuka ruang untuk membicarakan
hal ini. Forum ini memang di luar Indonesia tapi tidak apa-apalah, yang penting
ada tempat untuk bicara. Semoga suatu saat –entah kapan- akan ada forum dengan
pembicaraan serupa di Indonesia.
Saya menjadi panelis bersama Yovita Siswati, penulis Serial Misteri Favorit terbitan Kiddo yang
sangat digemari anak-anak Indonesia. Tidak bisa lebih tepat lagi bahwa teman
saya adalah Yovita Siswati. Tidak hanya bahwa kami ini sama-sama dari kelompok
minoritas dan suka menulis topik-topik yang mengangkat tema minoritas tapi juga
karena Yovita adalah pribadi yang cerdas dan mampu menyampaikan topik ini
dengan tepat sasaran dan cara yang elegan.
Saya berhutang banyak sekali pada Yovita. Tidak hanya ilmu
tapi juga segalanya deh!
Nah, tentang pemaparan kami sendiri, kami menyampaikan
kondisi perbukuan dengan tema minoritas di Indonesia. Kami tidak mengambil data
dengan lengkap sih tapi dari sebuah penerbit buku ternama di Indonesia kami
memperoleh gambaran dalam tiga tahun terakhir ini sekitar 5% buku anak yang
mengangkat tema minoritas.
Oh iya, minoritas yang kami maksud di sini masih minoritas
yang luas ya: suku asli, agama minoritas, gender, dan disability.
Yovita menampilkan buku-bukunya sebagai contoh yaitu “Misteri Kota Tua”, “Misteri Kota Topeng Angker”, “Misteri Kampung Hitam”, dan “Perangkap Hebat Soma”. Buku-buku ini
bercerita tentang kelompok etnis minoritas dan suku asli. “Misteri Kota Tua”
bercerita tentang komunitas Cina Benteng di kota Tangerang. “Misteri Kota
Topeng Angker” bercerita tentang kelompok penari topeng tradisional Indramayu dalam
dinamika kehidupan mereka di antara kemelut politik Indonesia saat itu
(pendudukan Jepang dan peristiwa 1965). “Misteri Kampung Hitam” bercerita
tentang komunitas orang Afrika yang dulunya adalah tentara Belanda. Sedangakan “Perangkap
Hebat Soma” bercerita tentang seorang anak difabel bernama Soma.
Sedangkan saya menampilkan “Nino, Si Petualang Cilik”, “Aubrey
dan The Three Musketeers”, dan Serial
Kopral Jono. “Nino, Si Petualang Cilik” bercerita tentang tradisi dan
budaya unik Nusantara. “Aubrey dan The Three Musketeers” bercerita tentang anak
dengan penyakit berat (diduga HIV/AIDS) dan persahabatannya dengan anjing
(harus diakui, dalam konteks Indonesia, anjing sering harus berjuang
mendapatkan tempat. Anjing belum dianggap hewan peliharaan). Sedangkan “Kopral
Jono” bercerita tentang seorang anak yang pincang karena polio dan
persahabatannya dengan seekor pitbull. Keduanya sukses membongkar kejahatan
yang ada di kampung mereka.
Kami juga menampilkan buku-buku dari penulis lain seperti “Na Willa” (Reda Gaudiamo), “Aku Suka Caramu” (Penulis: Audelia
Agustin, Illustrator: Haikal), “Semesta
Aqil” (Aqillurahman A. H. Prabowo), “Sepeda
Onthel Kinanti” (Iwok Abqari), dan “Menggapai
Rembulan” (Iwok Abqari).
APA YANG MAU KAMI
SAMPAIKAN?
Bahwa kelompok
minoritas itu ada dan penting. Mereka memberikan warna tersendiri bagi
Indonesia yang beragam ini karenanya sangat perlu dijaga dan dilestarikan. Menarik
bahwa orang-orang terkejut dengan adalanya komunitas warga Afrika eks tentara
Belanda di Indonesia. Tidak banyak orang yang tahu. Saya sendiri sebagai orang
Indonesia sama sekali tidak tahu kalau tidak baca buku Yovita ini. Beberapa
fakta lain dari buku-buku di atas juga sama mengejutkannya.
Bahwa anak-anak dari
kelompok minoritas juga perlu bacaan yang terhubung dengan mereka, yang membuat
mereka menjadi semacam “pusat” dari bahan bacaan. Sebaliknya anak-anak
Indonesia perlu gizi bacaan yang bervariasi. Hanya dengan mengakui dan ikut
serta bergembira dengan keberadaan kelompok yang berbeda kita bisa mulai
menghargai teman yang berbeda. Bayangkan berapa konflik SARA yang bisa
dihindari bila sedini mungkin kita membangun jembatan antar kelompok yang
berbeda dan bukannya membangung tembok tinggi untuk pemisah.
Bahwa anak-anak juga
layak mendapatkan bacaan yang mengedukasi mereka di segala lini. Anak-anak
bisa mulai mencintai sejarah, misalnya, dengan membaca cerita-cerita seru dan
menarik, seperti “Misteri Kampung Hitam”. Anak-anak mengenal suatu penyakit
berat lewat buku seperti “Aubrey dan The Three Musketeers”.
Bahwa menulis tentang
topik minoritas adalah proses pembelajaran untuk penulisnya juga (untuk saya
secara pribadi). Ketika hendak menuliskan “Nino, Si Petualang Cilik” saya
tentu saja mencari informasi tentang tradisi unik Nusantara. Informasi itu
tentu harus yang benar dan obyektif. Dan ini adalah pengalaman yang humbling dan
eye-opening banget. Sering kita dengar ungkapan “Indonesia ini kaya akan
tradisi dan budaya”. Menuliskan kekayaan itu membuat saya menyadari betapa
sedikitnya saya mengenal Indonesia.
APA TANTANGANNYA?
Banyak tantangannya menulis topik-topik minoritas ini.
Prasangka masyarakat
adalah yang saya pikirkan ketika saya menulis topik-topik minoritas. Apakah
masyarakat cukup terbuka dan menerima topik-topik ini? Apakah masyarakat mau
membaca secara utuh sebelum men-judge? Apakah masyarakat punya keprihatinan
yang sama tentang keberagaman dan minoritas?
Berikutnya yang menjadi kendala adalah riset. Sangat tidak mudah mencari informasi yang terhitung akurat
untuk hal-hal yang dianggap “kecil” dan bahkan nyaris tidak tercatat dalam
sejarah, seperti komunitas masyarakat Afrika dalam “Misteri Kampung Hitam”.
Saya pribadi mengalaminya dalam menuliskan “Nino, Si Petualang Cilik”. Biarpun
secara umum informasi tentang tradisi unik itu relatif tersebar di internet dan
perpustakaan namun beberapa detil membutuhkan riset, cek, dan ricek data.
Selanjutnya adalah keterampilan
untuk menuliskan dengan obyektif dan bebas dari bias tertentu. Saya akui, ini
adalah tantangan mental yang cukup sulit. Saya pribadi masih terus menantang
diri dan belajar tentang hal ini.
BAGAIMANA REAKSI
PEMBACA INDONESIA ATAS BUKU BERTEMA MINORITAS INI?
Secara mengejutkan, buku-buku bertema minoritas ini digemari
oleh pembaca Indonesia. “Misteri Kota Tua” menjadi best-seller dan telah cetak ulang sebanyak 4 kali! “Misteri Topeng
Angker” telah cetak ulang 2 kali. “Kopral Jono” telah cetak ulang dan dibuatkan
seri-nya.
Kami berdua menerima banyak kritik positif atas buku-buku
kami di atas. Ini sangat menggembirakan. Mudah-mudahan semakin banyak orang
bersikap terbuka dengan tema-tema minoritas ini dan semakin luas tema minoritas
yang bisa ditulis. Amin.
BAGAIMANA PRESENTASI
KAMI?
Jujur, dengan begitu banyak hal yang ingin disampaikan,
waktu yang dialokasikan buat kami terasa sangat kurang. Amat sangat kurang, kalau saya boleh menegaskan sih.
Namun, apapun kondisinya, saya tetap bersyukur. Ini adalah
kesempatan yang sangat jarang sekali. Di negeri sendiri mungkin belum tentu ada
yang seperti ini. Karenanya, biarpun sebentar (dan tidak cukup waktunya) sudah
sangat bersyukur bisa menaikkan topik ini dalam forum internasional ini.
Btw, dalam keterbatasan waktu itu Yovita sanggup
menyampaikan isi materi dengan baik sekali. Sekali lagi, saya sangat menghargai
dan salut pada penulis yang satu ini.
HARAPAN?
Nah ini dia! Ikut AFCC ini membuat saya jadi berharap
banyak:
Semoga suatu saat
saya bisa ikut lagi, jelas itu harapan pertama saya… hehehe…. Kalau ikut
lagi, semoga saya berada dalam keadaan sehat lahir bathin sehingga bisa
memberikan A-Game saya. (Sekali lagi: amin). Saya ingin menampilkan lebih
banyak lagi sisi-sisi Indonesia dalam pemaparan.
Semoga lebih banyak penulis Indonesia bisa tampil di event semacam ini. Semoga pemerintah Indonesia
mau ambil bagian dalam event ini. Ini event yang baik sekali untuk perkembangan
bacaan anak. Event ini tidak jauh, hanya “tetangga” Singapura. Jadi seharusnya
lebih ringan (dibandingkan dengan ikut Frankfurt Book Fair, misalnya).
Lalu, kalau tidak terlalu tinggi harapannya, saya ingin
sekali ada kegiatan serupa di Indonesia;
diadakan dengan obyektif, tidak parsial, dan benar-benar untuk tujuan
peningkatan mutu buku anak Indonesia.
Begitulah kira-kira cerita saya tentang AFCC 2019. Semoga
bermanfaat.
Terima kasih kepada AFCC
yang telah mengadakan kegiatan yang bermutu ini. Terima kasih kepada Penerbit Gramedia Pustaka Utama yang telah
memberikan informasi data. Terima kasih kepada Penerbit Kiddo dan Mbak Pradikha
Bestari. Terima kasih kepada Kelompok Pecinta Bacaan Anak dan Komunitas
Penulis Bacaan Anak.
Terima kasih pada Fonny
Jodikin, seorang penulis, berkewarganegaraan Indonesia, berdiam di
Singapura, atas kesediaannya datang dan memberikan dukungan. Juga terima kasih
pada Reinhard Wisesa, seorang illustrator,
yang juga bersedia hadir memberi support.
Dengan Fonny Jodikin |
Oh iya, tulisan ini tidak mewakili Yovita Siswati ya. Maksudnya,
Yovita pasti punya kesan tersendiri yang tak terwakili di sini. Sebagai kakak/sesama
penulis/sesama panelis atau whateverlah saya mengucapkan trilyunan terima kasih
buat Yovita Siswati. Saya senang menjalani ini terlebih karena teman saya
adalah Yovita Siswati. I will remember this as the most precious moment I ever
had and I’m glad you were there (Psstt… bener ya, kita ini totally different.
Only heaven knows why we could get along together well during those four hectic
days… xixixiii…).
Di Bandara Changi, berpisah dengan Yovita Siswati |
***
Pebatuan, 2 Oktober 2019
@agnes_bemoe
Senangnya kalau buku saya ikut mengangkat tema minority dan ikut ditampilkan dalam presentasinya. Sukses terus mba Agnes. ^^
ReplyDeleteAmin. Sama-sama sukses ya, Kang Iwok.
ReplyDeleteSenang juga bisa menampilkan buku teman-teman yang memang bagus isi dan temanya. :)
(Agnes Bemoe)
💐💐💐💐terharu bacanya😭semoga makin banyak karya yang mengikuti mbak ....
ReplyDeleteAmin. Ya, semoga semakin banyak penulis Indonesia dan karyanya bisa tampil di AFCC. Btw, trims sudah mampir :)
DeleteAgnes Bemoe
Buku anak karya Mbak Agnes dan Mba Yovita bergizi banget ya karena risetnya yang dalam, aku pengen baca dan belajar dari buku kalian, selamat ya Mbak Agnes!
ReplyDeleteWaduhh... Mbak Dedew bikin ge-er deh :D Saya tuh malah ngefans sama Mbak Dedew lho, sejak sebelum "ketemu" di medsos. Btw, trimss, Mbak Dew :)
DeleteAgnes Bemoe
Makasih tulisannya ya mbak agnes... i wish someday i could joint this afcc too
ReplyDeleteSama-sama, Mbak Dian. Trims, sudah mampir :)
DeleteAgnes Bemoe