Follow Us @agnes_bemoe

Tuesday 1 October 2019

Mengikuti Kegiatan Asian Festival Of Children's Content 2019 di Singapura



Awal bulan September lalu saya, bersama Yovita Siswati, mengikuti Asian Festival of Children’s Content (AFCC) 2019 di Singapura. Ini adalah kali kedua saya ikut event ini. Pertama kali saya hadir adalah sebagai salah seorang yang karyanya masuk dalam shortlisted SingTel Asian Picture Book Award tahun 2013. Nah, kali ini saya ikut serta dalam AFCC sebagai salah seorang panelis untuk sesi “Minority Reprentation in Children’s Literature”.

AFCC 2013, bersama Sofie Dewayani


ASIAN FESTIVAL OF CHILDREN’S CONTENT
AFCC adalah acara tahunan yang diadakan oleh Singapore Book Council. Seperti yang tertuang dalam namanya, festival ini secara khusus hendak mengembangkan konten keasiaan dalam buku anak dan remaja awal. Festival ini berisi serangkaian seminar, kuliah umum, presentasi, diskusi panel, workshop, masterclass, sampai dengan pameran karya illustrator dan toko buku. Wah, pokoknya super lengkap! Kalau anda suka belajar, ini adalah festival yang akan memuaskan kerinduan anda akan ilmu tentang perbukuan anak. Tidak hanya keanekaragaman platform belajarnya saja tapi juga topik yang dibicarakan itu bermutu sekali. Para pembicaranya juga jelas punya kedalaman ilmu serta tahu mana yang baik dan perlu diperjuangkan.
Berssama Yovita Siswati

Peserta dan pembicaranya secara umum datang dari negara-negara Asia. Terjauh (dari sudut pandang Indonesia) datang dari Turki dan Iran. Namun demikian, ada juga peserta dan pembicara dari luar Asia, seperti Amerika, Canada, dan Australia.

Peserta festival ini pun tidak hanya dari industri perbukuan (editor, penulis, illustrator, penerjemah) tapi dari para guru dan orangtua juga. Di beberapa sesi saya malah melihat ada sekelompok mahasiswa.

MINORITY REPRESENTATION IN CHILDREN’S CONTENT
Bicara minoritas dalam buku anak Indonesia amat sangat banyak sekali yang hendak disampaikan. Terutama dari sudut pandang saya sebagai penulis cerita anak di Indonesia yang tidak jarang mengalami sendiri bagaimana topik-topik minoritas harus berjuang keras hanya untuk bisa terbit. Dan tidak jarang, kalah. Karenanya, saya senang sekali ada forum yang membuka ruang untuk membicarakan hal ini. Forum ini memang di luar Indonesia tapi tidak apa-apalah, yang penting ada tempat untuk bicara. Semoga suatu saat –entah kapan- akan ada forum dengan pembicaraan serupa di Indonesia.

Saya menjadi panelis bersama Yovita Siswati, penulis Serial Misteri Favorit terbitan Kiddo yang sangat digemari anak-anak Indonesia. Tidak bisa lebih tepat lagi bahwa teman saya adalah Yovita Siswati. Tidak hanya bahwa kami ini sama-sama dari kelompok minoritas dan suka menulis topik-topik yang mengangkat tema minoritas tapi juga karena Yovita adalah pribadi yang cerdas dan mampu menyampaikan topik ini dengan tepat sasaran dan cara yang elegan.

Saya berhutang banyak sekali pada Yovita. Tidak hanya ilmu tapi juga segalanya deh!
Nah, tentang pemaparan kami sendiri, kami menyampaikan kondisi perbukuan dengan tema minoritas di Indonesia. Kami tidak mengambil data dengan lengkap sih tapi dari sebuah penerbit buku ternama di Indonesia kami memperoleh gambaran dalam tiga tahun terakhir ini sekitar 5% buku anak yang mengangkat tema minoritas.
Oh iya, minoritas yang kami maksud di sini masih minoritas yang luas ya: suku asli, agama minoritas, gender, dan disability.

Yovita menampilkan buku-bukunya sebagai contoh yaitu “Misteri Kota Tua”, “Misteri Kota Topeng Angker”, “Misteri Kampung Hitam”, dan “Perangkap Hebat Soma”. Buku-buku ini bercerita tentang kelompok etnis minoritas dan suku asli. “Misteri Kota Tua” bercerita tentang komunitas Cina Benteng di kota Tangerang. “Misteri Kota Topeng Angker” bercerita tentang kelompok penari topeng tradisional Indramayu dalam dinamika kehidupan mereka di antara kemelut politik Indonesia saat itu (pendudukan Jepang dan peristiwa 1965). “Misteri Kampung Hitam” bercerita tentang komunitas orang Afrika yang dulunya adalah tentara Belanda. Sedangakan “Perangkap Hebat Soma” bercerita tentang seorang anak difabel bernama Soma.


Sedangkan saya menampilkan “Nino, Si Petualang Cilik”, “Aubrey dan The Three Musketeers”, dan Serial Kopral Jono. “Nino, Si Petualang Cilik” bercerita tentang tradisi dan budaya unik Nusantara. “Aubrey dan The Three Musketeers” bercerita tentang anak dengan penyakit berat (diduga HIV/AIDS) dan persahabatannya dengan anjing (harus diakui, dalam konteks Indonesia, anjing sering harus berjuang mendapatkan tempat. Anjing belum dianggap hewan peliharaan). Sedangkan “Kopral Jono” bercerita tentang seorang anak yang pincang karena polio dan persahabatannya dengan seekor pitbull. Keduanya sukses membongkar kejahatan yang ada di kampung mereka.


Kami juga menampilkan buku-buku dari penulis lain seperti “Na Willa” (Reda Gaudiamo), “Aku Suka Caramu” (Penulis: Audelia Agustin, Illustrator: Haikal), “Semesta Aqil” (Aqillurahman A. H. Prabowo), “Sepeda Onthel Kinanti” (Iwok Abqari), dan “Menggapai Rembulan” (Iwok Abqari).

APA YANG MAU KAMI SAMPAIKAN?
Bahwa kelompok minoritas itu ada dan penting. Mereka memberikan warna tersendiri bagi Indonesia yang beragam ini karenanya sangat perlu dijaga dan dilestarikan. Menarik bahwa orang-orang terkejut dengan adalanya komunitas warga Afrika eks tentara Belanda di Indonesia. Tidak banyak orang yang tahu. Saya sendiri sebagai orang Indonesia sama sekali tidak tahu kalau tidak baca buku Yovita ini. Beberapa fakta lain dari buku-buku di atas juga sama mengejutkannya.

Bahwa anak-anak dari kelompok minoritas juga perlu bacaan yang terhubung dengan mereka, yang membuat mereka menjadi semacam “pusat” dari bahan bacaan. Sebaliknya anak-anak Indonesia perlu gizi bacaan yang bervariasi. Hanya dengan mengakui dan ikut serta bergembira dengan keberadaan kelompok yang berbeda kita bisa mulai menghargai teman yang berbeda. Bayangkan berapa konflik SARA yang bisa dihindari bila sedini mungkin kita membangun jembatan antar kelompok yang berbeda dan bukannya membangung tembok tinggi untuk pemisah.

Bahwa anak-anak juga layak mendapatkan bacaan yang mengedukasi mereka di segala lini. Anak-anak bisa mulai mencintai sejarah, misalnya, dengan membaca cerita-cerita seru dan menarik, seperti “Misteri Kampung Hitam”. Anak-anak mengenal suatu penyakit berat lewat buku seperti “Aubrey dan The Three Musketeers”.

Bahwa menulis tentang topik minoritas adalah proses pembelajaran untuk penulisnya juga (untuk saya secara pribadi). Ketika hendak menuliskan “Nino, Si Petualang Cilik” saya tentu saja mencari informasi tentang tradisi unik Nusantara. Informasi itu tentu harus yang benar dan obyektif. Dan ini adalah pengalaman yang humbling dan eye-opening banget. Sering kita dengar ungkapan “Indonesia ini kaya akan tradisi dan budaya”. Menuliskan kekayaan itu membuat saya menyadari betapa sedikitnya saya mengenal Indonesia.  

APA TANTANGANNYA?
Banyak tantangannya menulis topik-topik minoritas ini.
Prasangka masyarakat adalah yang saya pikirkan ketika saya menulis topik-topik minoritas. Apakah masyarakat cukup terbuka dan menerima topik-topik ini? Apakah masyarakat mau membaca secara utuh sebelum men-judge? Apakah masyarakat punya keprihatinan yang sama tentang keberagaman dan minoritas?

Berikutnya yang menjadi kendala adalah riset. Sangat tidak mudah mencari informasi yang terhitung akurat untuk hal-hal yang dianggap “kecil” dan bahkan nyaris tidak tercatat dalam sejarah, seperti komunitas masyarakat Afrika dalam “Misteri Kampung Hitam”. Saya pribadi mengalaminya dalam menuliskan “Nino, Si Petualang Cilik”. Biarpun secara umum informasi tentang tradisi unik itu relatif tersebar di internet dan perpustakaan namun beberapa detil membutuhkan riset, cek, dan ricek data.

Selanjutnya adalah keterampilan untuk menuliskan dengan obyektif dan bebas dari bias tertentu. Saya akui, ini adalah tantangan mental yang cukup sulit. Saya pribadi masih terus menantang diri dan belajar tentang hal ini.

BAGAIMANA REAKSI PEMBACA INDONESIA ATAS BUKU BERTEMA MINORITAS INI?
Secara mengejutkan, buku-buku bertema minoritas ini digemari oleh pembaca Indonesia. “Misteri Kota Tua” menjadi best-seller dan telah cetak ulang sebanyak 4 kali! “Misteri Topeng Angker” telah cetak ulang 2 kali. “Kopral Jono” telah cetak ulang dan dibuatkan seri-nya.
Kami berdua menerima banyak kritik positif atas buku-buku kami di atas. Ini sangat menggembirakan. Mudah-mudahan semakin banyak orang bersikap terbuka dengan tema-tema minoritas ini dan semakin luas tema minoritas yang bisa ditulis. Amin.

BAGAIMANA PRESENTASI KAMI?
Jujur, dengan begitu banyak hal yang ingin disampaikan, waktu yang dialokasikan buat kami terasa sangat kurang. Amat sangat kurang, kalau saya boleh menegaskan sih.

Namun, apapun kondisinya, saya tetap bersyukur. Ini adalah kesempatan yang sangat jarang sekali. Di negeri sendiri mungkin belum tentu ada yang seperti ini. Karenanya, biarpun sebentar (dan tidak cukup waktunya) sudah sangat bersyukur bisa menaikkan topik ini dalam forum internasional ini.

Btw, dalam keterbatasan waktu itu Yovita sanggup menyampaikan isi materi dengan baik sekali. Sekali lagi, saya sangat menghargai dan salut pada penulis yang satu ini.

HARAPAN?
Nah ini dia! Ikut AFCC ini membuat saya jadi berharap banyak:

Semoga suatu saat saya bisa ikut lagi, jelas itu harapan pertama saya… hehehe…. Kalau ikut lagi, semoga saya berada dalam keadaan sehat lahir bathin sehingga bisa memberikan A-Game saya. (Sekali lagi: amin). Saya ingin menampilkan lebih banyak lagi sisi-sisi Indonesia dalam pemaparan.

Semoga lebih banyak penulis Indonesia bisa tampil di event semacam ini. Semoga pemerintah Indonesia mau ambil bagian dalam event ini. Ini event yang baik sekali untuk perkembangan bacaan anak. Event ini tidak jauh, hanya “tetangga” Singapura. Jadi seharusnya lebih ringan (dibandingkan dengan ikut Frankfurt Book Fair, misalnya).

Lalu, kalau tidak terlalu tinggi harapannya, saya ingin sekali ada kegiatan serupa di Indonesia; diadakan dengan obyektif, tidak parsial, dan benar-benar untuk tujuan peningkatan mutu buku anak Indonesia.

Begitulah kira-kira cerita saya tentang AFCC 2019. Semoga bermanfaat.

Terima kasih kepada AFCC yang telah mengadakan kegiatan yang bermutu ini. Terima kasih kepada Penerbit Gramedia Pustaka Utama yang telah memberikan informasi data. Terima kasih kepada Penerbit Kiddo dan Mbak Pradikha Bestari. Terima kasih kepada Kelompok Pecinta Bacaan Anak dan Komunitas Penulis Bacaan Anak.

Terima kasih pada Fonny Jodikin, seorang penulis, berkewarganegaraan Indonesia, berdiam di Singapura, atas kesediaannya datang dan memberikan dukungan. Juga terima kasih pada Reinhard Wisesa, seorang illustrator, yang juga bersedia hadir memberi support.
Dengan Fonny Jodikin

Oh iya, tulisan ini tidak mewakili Yovita Siswati ya. Maksudnya, Yovita pasti punya kesan tersendiri yang tak terwakili di sini. Sebagai kakak/sesama penulis/sesama panelis atau whateverlah saya mengucapkan trilyunan terima kasih buat Yovita Siswati. Saya senang menjalani ini terlebih karena teman saya adalah Yovita Siswati. I will remember this as the most precious moment I ever had and I’m glad you were there (Psstt… bener ya, kita ini totally different. Only heaven knows why we could get along together well during those four hectic days… xixixiii…).

Di Bandara Changi, berpisah dengan Yovita Siswati


***

Pebatuan, 2 Oktober 2019
@agnes_bemoe


8 comments:

  1. Senangnya kalau buku saya ikut mengangkat tema minority dan ikut ditampilkan dalam presentasinya. Sukses terus mba Agnes. ^^

    ReplyDelete
  2. Amin. Sama-sama sukses ya, Kang Iwok.

    Senang juga bisa menampilkan buku teman-teman yang memang bagus isi dan temanya. :)

    (Agnes Bemoe)

    ReplyDelete
  3. 💐💐💐💐terharu bacanya😭semoga makin banyak karya yang mengikuti mbak ....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Ya, semoga semakin banyak penulis Indonesia dan karyanya bisa tampil di AFCC. Btw, trims sudah mampir :)

      Agnes Bemoe

      Delete
  4. Buku anak karya Mbak Agnes dan Mba Yovita bergizi banget ya karena risetnya yang dalam, aku pengen baca dan belajar dari buku kalian, selamat ya Mbak Agnes!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduhh... Mbak Dedew bikin ge-er deh :D Saya tuh malah ngefans sama Mbak Dedew lho, sejak sebelum "ketemu" di medsos. Btw, trimss, Mbak Dew :)

      Agnes Bemoe

      Delete
  5. Makasih tulisannya ya mbak agnes... i wish someday i could joint this afcc too

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, Mbak Dian. Trims, sudah mampir :)

      Agnes Bemoe

      Delete