Senin, 28 Oktober 2019, saya bersama dengan Bapak Robertus Deta Bammu pergi ke makam Warat Wona di Gallu Karewet.
Desa Gallu Karewet ternyata sangat dekat dengan Pastoran
Homba Karipit, tempat saya tinggal. Kata Pak Robert, jaraknya sekitar 1 km. Kami berdua pergi dengan berjalan kaki
saja. Sebenarnya saya agak keder juga
mengingat kondisi pinggang saya yang renta ini. Tapi Pak Robert memastikan
bahwa kami akan berjalan pelan-pelan, mengikuti kemampuan saya (duhh, malunya,
sampai segitunya. :D )
Kami melewati sebuah kampung bernama Gallu Wawi. Ini
perkampungan yang separuh asli. Jadi, kampung ini terdiri dari 8 – 12 rumah
yang dibangun melingkar. Rumah-rumah ini sebagian terbuat dari bambu dan atap
rumbia, sebagian lagi terbuat dari batu. Menurut Pak Robert, seperti inilah
bentuk kampung asli orang Sumba, memang dibuat melingkar. Ini supaya kalau ada
serangan dari suku lain (ketika masih masa perang suku), warga kampung mudah
mengkoordinir.
Di tengah-tengah rumah ini ada lokasi kubur dengan kuburan
batu yang besar-besar. Sayangnya, kubur batu yang asli sudah dirubuhkan,
diganti dengan kubur dari semen. Menurut saya sayang sih, biarpun sama
besarnya.
Nah, setelah kampung Gallu Wawi, kami masuk ke kampung Gallu
Karewet.
Oh iya, perjalanan ini biarpun jauh menurut saya, tapi
karena pemandangannya hijau dan segar, saya tidak terlalu merasa capek.
Sekeliling kami adalah pepohonan besar-besar. Di beberapa tempat ada
segerumbulan pohon jambu mete. Kata Pak Robert, jambu mete adalah komoditi andalan
warga Kodi.
Sampai di Gallu Karewet, setelah Pak Robert mencari-cari
sebentar, akhirnya kami menemukan makam Warat Wona.
Itu sebuah makam yang amat
sangat sederhana. Terlalu sederhana, mengingat beliau adalah pahlawan
perjuangan melawan penjajah Belanda (lewat VOC). Makam itu berbentuk semenan
beton berkeliling. Diperkirakan Warat Wona meninggal tahun 1912 ketika sedang
bergerilya bersama suaminya. Warat Wona wafat ditembak tentara Belanda.
Tahun 2012 tulang belulang Warat Wona sebenarnya sudah
diangkat dan dipindahkan ke makam Wona Kaka di desa Bongu. Namun demikian,
warga Gallu Karewet masih berkeras bahwa Warat Wona tidak pindah, beliau masih
ada di makam di desa tersebut. Makam sederhana itu masih dijaga sampai
sekarang.
Ketika Wona Kaka menguburkan istrinya dulu ia berpesan pada
seorang warga Gallu Karewet bernama Muda Lewa untuk menjaga makam Warat Wona.
Sampai sekarang, keturunan Muda Lewa yang masih setia menjaga makam tersebut.
Kami tidak lama berada di makam Warat Wona, setelah
mengambil beberapa foto dan berdoa, kami pulang kembali ke Homba Karipit.
Sambil menikmati pemandangan kampung yang indah dan asri,
saya tuh mikir, kenapa ya pemerintah tidak turun tangan dalam hal ini. Ini
adalah sosok pejuang yang merelakan nyawanya bagi Indonesia sehingga menjadi
seperti sekarang ini.
Jujur, sedih saya melihat kondisi makam itu.
Oh iya, konon, dulunya makam tersebut tidak punya tanda sama
sekali. Tidak berbentuk makam, hanya onggokan batu-batu sungai sebagai penanda.
Lalu, atas inisiatif SMP Katolik Wona
Kaka di Homba Karipit, dibangunlah lingkaran beton untuk menandai makam.
Kembali lagi, apakah pemerintah tidak merasa perlu merawat
dan menjaga makam ini? Paling tidak, itu adalah ucapan terima kasih kita yang
sudah menikmati enaknya merdeka dari penjajah Belanda. Kemerdekaan itu minta
korban, termasuk salah satunya nyawa Ibu Warat Wona, penjuang perempuan yang
tewas di ujung bedil Belanda.
Masih terngiang kata-kata Bpk. Robert Bammu: penjajah yang
sama yang dilawan, bangsa yang sama yang dibela, dan sama-sama meregang nyawa
karena perjuangan ini, kenapa yang itu pahlawan, yang ini bukan?
Saya tidak tahu harus menjawab apa.
***
Homba Karipit, 28 Oktober 2019
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment