Follow Us @agnes_bemoe

Tuesday 29 October 2019

CERITA RESIDENSI 2019: GALLU KAREWET - PEJUANG YANG SENDIRI



Senin, 28 Oktober 2019, saya bersama dengan Bapak Robertus Deta Bammu pergi ke makam Warat Wona di Gallu Karewet.



Desa Gallu Karewet ternyata sangat dekat dengan Pastoran Homba Karipit, tempat saya tinggal. Kata Pak Robert, jaraknya sekitar 1 km. Kami berdua pergi dengan berjalan kaki saja.  Sebenarnya saya agak keder juga mengingat kondisi pinggang saya yang renta ini. Tapi Pak Robert memastikan bahwa kami akan berjalan pelan-pelan, mengikuti kemampuan saya (duhh, malunya, sampai segitunya. :D )

Kami melewati sebuah kampung bernama Gallu Wawi. Ini perkampungan yang separuh asli. Jadi, kampung ini terdiri dari 8 – 12 rumah yang dibangun melingkar. Rumah-rumah ini sebagian terbuat dari bambu dan atap rumbia, sebagian lagi terbuat dari batu. Menurut Pak Robert, seperti inilah bentuk kampung asli orang Sumba, memang dibuat melingkar. Ini supaya kalau ada serangan dari suku lain (ketika masih masa perang suku), warga kampung mudah mengkoordinir.



Di tengah-tengah rumah ini ada lokasi kubur dengan kuburan batu yang besar-besar. Sayangnya, kubur batu yang asli sudah dirubuhkan, diganti dengan kubur dari semen. Menurut saya sayang sih, biarpun sama besarnya.

Nah, setelah kampung Gallu Wawi, kami masuk ke kampung Gallu Karewet.

Oh iya, perjalanan ini biarpun jauh menurut saya, tapi karena pemandangannya hijau dan segar, saya tidak terlalu merasa capek. Sekeliling kami adalah pepohonan besar-besar. Di beberapa tempat ada segerumbulan pohon jambu mete. Kata Pak Robert, jambu mete adalah komoditi andalan warga Kodi.



Sampai di Gallu Karewet, setelah Pak Robert mencari-cari sebentar, akhirnya kami menemukan makam Warat Wona. 

Itu sebuah makam yang amat sangat sederhana. Terlalu sederhana, mengingat beliau adalah pahlawan perjuangan melawan penjajah Belanda (lewat VOC). Makam itu berbentuk semenan beton berkeliling. Diperkirakan Warat Wona meninggal tahun 1912 ketika sedang bergerilya bersama suaminya. Warat Wona wafat ditembak tentara Belanda.

Tahun 2012 tulang belulang Warat Wona sebenarnya sudah diangkat dan dipindahkan ke makam Wona Kaka di desa Bongu. Namun demikian, warga Gallu Karewet masih berkeras bahwa Warat Wona tidak pindah, beliau masih ada di makam di desa tersebut. Makam sederhana itu masih dijaga sampai sekarang.

Ketika Wona Kaka menguburkan istrinya dulu ia berpesan pada seorang warga Gallu Karewet bernama Muda Lewa untuk menjaga makam Warat Wona. Sampai sekarang, keturunan Muda Lewa yang masih setia menjaga makam tersebut.

Kami tidak lama berada di makam Warat Wona, setelah mengambil beberapa foto dan berdoa, kami pulang kembali ke Homba Karipit.

Sambil menikmati pemandangan kampung yang indah dan asri, saya tuh mikir, kenapa ya pemerintah tidak turun tangan dalam hal ini. Ini adalah sosok pejuang yang merelakan nyawanya bagi Indonesia sehingga menjadi seperti sekarang ini.



Jujur, sedih saya melihat kondisi makam itu.

Oh iya, konon, dulunya makam tersebut tidak punya tanda sama sekali. Tidak berbentuk makam, hanya onggokan batu-batu sungai sebagai penanda. Lalu, atas inisiatif SMP Katolik Wona Kaka di Homba Karipit, dibangunlah lingkaran beton untuk menandai makam.  

Kembali lagi, apakah pemerintah tidak merasa perlu merawat dan menjaga makam ini? Paling tidak, itu adalah ucapan terima kasih kita yang sudah menikmati enaknya merdeka dari penjajah Belanda. Kemerdekaan itu minta korban, termasuk salah satunya nyawa Ibu Warat Wona, penjuang perempuan yang tewas di ujung bedil Belanda.

Masih terngiang kata-kata Bpk. Robert Bammu: penjajah yang sama yang dilawan, bangsa yang sama yang dibela, dan sama-sama meregang nyawa karena perjuangan ini, kenapa yang itu pahlawan, yang ini bukan?

Saya tidak tahu harus menjawab apa.

***

Homba Karipit, 28 Oktober 2019
@agnes_bemoe

No comments:

Post a Comment