Tanggal 16 Agustus 2019 lalu saya mengetahui kalau saya
lolos dalam seleksi Program Residensi Penulis 2019 bersama 33 penulis lainnya.
Saya memilih Sumba Barat Daya, Nusa
Tenggara Timur sebagai tempat residensi. Topik yang saya angkat adalah seorang
pejuang perempuan Sumba bernama Warat
Wona.
Oh ya, sebelum panjang lebar, saya sangat perlu berterima
kasih kepada sutradara, novelis, dan sahabat saya, Sergius Sutanto, karena beliaulah yang banyak membantu saya dalam hal
ini. Terima kasih ya, Kakak :D
Pemeriksaan Kesehatan sebelum berangkat residensi. Dokternya ternyata mantan murid. |
Jadi, tanggal 15 Oktober 2019 kemarin saya berangkat dari
Pekanbaru menuju ke Waitabula, ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya. Rencananya
saya akan tinggal di Sumba Barat Daya selama 2 bulan. Saya sampai tanggal
16 Oktober 2019 karena tidak ada penerbangan langsung yang sampai hari itu
juga. Saya harus transit dua kali, di Jakarta dan Denpasar. Di Cengkareng transit
berlangsung 8,5 jam. Sebenarnya saya sudah pesan penginapan tapi melihat
keadaan sudah malam sekali dan jarak yang lumayan jauh (menurut saya), saya
putuskan untuk tidur di bandara saja.
Bandara ternyata ramai kok. Saya tak menyangka bahwa tetap
ada penerbangan di jam-jam 12, 1, dan 2 dini hari (saya tiba di Cengkareng
sekitar pukul 9 malam lewat). Paginya saya mandi dan dandan di toilet bandara…
xixixii… Asyik juga!
Baiklah, akhirnya saya sampai di Bandara Tambolaka,
Waitabula, dijemput oleh Merlyn Nani
Boeloe. Merlyn ini saya anggap adik saya sendiri. Dulu keluarga kami
bertetangga waktu saya masih tinggal di Waikabubak, Sumba Barat. Selama
residensi juga saya tinggal di rumah orangtua Merlyn Nani Boeloe (sayang sekali
beliau berdua sudah berpulang).
MINGGU PERTAMA
Oke deh, belum ada yang bisa saya ceritakan sih, di minggu
pertama residensi ini.
Saya berkunjung ke rumah orang-orang yang sudah saya anggap
saudara sendiri, saya mengunjungi makam Bapa-Mama Nani Boeloe (orangtua
Merlyn), dan lain-lain kegiatan yang menyangkut keluarga (iya sih, buat saya,
mereka sudah seperti keluarga sendiri, jadi sebenarnya saya ini semacam “pulang
kampung” melalui kegiatan residensi ini).
Menyangkut Residensi, hari Jumat tanggal 18 Oktober 2019 saya
berkunjung ke SMAN 1 Kota Tambolaka.
Diterima baik oleh Bapak Kepala Sekolah dan Ibu Wakil Kepala Sekolah Bagian
Kurikulum, saya menawarkan untuk mengadakan kegiatan literasi di SMAN 1 Kota
Tambolaka. Puji Tuhan, tawaran saya ini diterima. Kegiatan akan dilaksanakan di
sekitar akhir November 2019. Semoga berjalan lancar ya….
Hari Senin, 21 Oktober 2019 saya mengurus perizinan ke
Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat Daya.
Ada satu hal yang mau saya shout out nih. Saya terkesan
dengan kualitas pelayanan di sini. Penyambutannya ramah. Ketika dilihat saya
masih menunggu, ibu yang bertugas di front office memastikan bahwa saya
menunggu dengan nyaman dan meminta saya bersabar. Wiih… ini jarang lho saya
alami.
Saya diterima oleh Ibu Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kab. Sumba Barat Daya, Dra.
Yohana Lingu Lango, M. Si. Beliau menerima dengan ramah dan saya pun
menyampaikan maksud kedatangan saya.
Dra. Yohana Lingu Lango, M. Si. |
Nah, sampailah di bagian yang paling saya cemaskan.
Begini, untuk perizinan ini kan kami –peserta residensi-
sebenarnya dibekali sebuah surat yang disebut “Surat Kelulusan” (jangan tanya,
kenapa istilahnya “kelulusan”). Karena surat ini turunnya agak telat, saya kira
saya print saja di Waitabula. Ternyata, mencari tempat rental printer di
Waitbula tuh susah… hehehe… saya tidak memperhitungkan hal ini. Nah, daripada mumet tidak dapat printer, saya putuskan untuk
pergi saja, mudah-mudahan nanti lancar, begitu pikir saya.
Baiklah, jadi setelah menyampaikan maksud saya, Ibu Kadis
tentu saja meminta semacam surat yang menguatkan penyampaikan saya. Saya katakana
terus terang permasalahan saya, yaitu, tidak menemukan printer. Saya lalu
menawarkan untuk menunjukkan soft copy surat yang dikirim via email panitia.
Suwer, saya deg-degan. Pengalaman saya dengan birokrasi
biasanya gitu deh… hehehe….
Eh, di luar dugaan saya, Ibu Kadis bersedia menerima ini
dengan catatan saya tetap harus kembali dan menyerahkan hard copy-nya. Aduh,
betapa bersyukurnya saya! Saya berjanji akan sesegera mungkin mengupayakan hard
copy Surat Kelulusan ini.
Sekali lagi, salut sekali dengan sikap pejabat pemerintahan
yang seperti ini. Inilah kebijaksanaan. Inilah kecerdasan. Semoga terus dijaga.
Amin.
Oh iya, mengenai keramahan, tidak hanya di Kantor Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan saja saya diterima dengan ramah. Di SMAN 1 Kota
Tambolaka juga para guru piket dan guru-guru lain menerima saya dengan sapaan dan
senyum ramah. Weeh, terasa lain lho, kalau kita masuk ke sebuah ruangan yang
orang-orangnya tersenyum ramah pada kita. Suwer!
Oke deh, lanjut ya.
Hari Selasa, 22 Oktober 2019, saya ke Rumah Budaya Sumba. Sayangnya, saya tidak ketemu dengan P. Robert
Ramone, C.Ss.R, pengelola rumah budaya ini. Baiklah, lain kali saja saya
main ke sini lagi.
Tapi, saya bertemu dengan anak-anak kecil yang lucu-lucu dan
imut. Mereka juga, lagi-lagi, duluan menyapa saya dengan ramah. Mereka ternyata
di RBS untuk belajar baca dan tulis. Saya pun mengajak mereka berfoto. Mereka
langsung duduk berjajar dengan manisnya.
Besok rencananya saya akan bertemu dengan P. Christo Ngasi,
Pr. untuk membicarakan tentang hal-hal terkait penelitian saya di Kodi
(kediaman P. Christo Ngasi, Pr.). Semoga lancar ya….
Oke deh, segini dulu cerita residensi saya. Belum ada cerita
sebenarnya sih… hehehe….
Doakan semoga kegiatan residensi saya lancar ya dan saya
bisa menghasilkan tulisan yang bagus. Amin.
***
Waitabula, 23 Oktober 2019
No comments:
Post a Comment