Jadi, setelah pembicaraan dengan Romo Christo Ngasi, Pr. dari Kodi, disepakati bahwa saya akan
berangkat ke Kodi hari Jumat.
Pastoran Santa Maria Assumpta Homba Karipit, Kodi, Sumba Barat Daya |
Oh ya, Romo Christo Ngasi, Pr. adalah yang saya mintai
tolong untuk menghubungkan dengan para budayawan/nara sumber di Kodi. Beliau
juga seorang penulis. Beliau pernah menerbitkan sebuah novel bertema budaya
Loura, Sumba Barat Daya, berjudul Matta
Liku. Saya sudah baca novelnya dan ceritanya mencekam… hehehe…. Resensi saya tentang novel ini bisa dibaca di sini.
Jadi, sebelum berpanjang lebar, saya berterima kasih sekali
kepada Romo Christo –biasa dipanggil Romo/Pater Isto- atas kesediaannya
membantu saya dalam riset tentang Warat Wona dan Wona Kaka ini. Di tengah
kesibukannya (saya lihat sendiri Pater Isto 'pontang-panting' karena kesibukannya), Pater Isto bersedia meluangkan waktunya buat saya. Sangat saya
hargai hal itu.
Hari Jumat pagi saya bersiap-siap karena rencananya akan
berangkat Pk. 11.00 WITA. Lalu, drama terjadi.
Keberangkatan molor 1 jam, lalu
1 jam lagi. Haduuuh, bête deh saya. Telat sampai 2 jam tanpa tahu kepastian
akan berangkat jam berapa atau malah jadi berangkat atau tidak.
Long story short, akhirnya berangkat juga. Perjalanan hanya
makan waktu… 30 menit… hahaha! Ga sebanding dengan nunggunya! Dengan kondisi
seperti ini menurut saya biaya sewa mobil di Sumba Barat Daya amat sangat
mahal. Bayangkan, kita harus menunggu sampai 2 jam. Perjalanan ke sana juga
tidak menggunakan AC padahal udara SBD tuh gerahnya minta ampun. Belum lagi
beberapa hal lain yang membuat bingung. Singkatnya, berasa banget kalau saya
“numpang”. Nasib dah. Mudah-mudahan selanjutnya saya ga ketemu lagi yang seperti
ini.
Namun demikian, semua itu seperti terbayar lunas dengan
kondisi di Desa Homba Karipit, Kodi.
Pagi di Homba Karipit |
Saya kan menginap di Pastoran Paroki St. Maria Assumpta di Homba Karipit. P.S Saya orang “asing”
ketiga yang melakukan penelitian yang menginap di pastoran; pertama seorang
dokter yang melakukan penelitian tentang malaria, kedua seorang sutradara yang membuat film pendek tentang Human Trafficking, yang
ketiga saya.
Suasananya di sini, di desa Homba Karipit ini
bener-bener desa deh! Ga bising, di sekeliling pastoran masih banyak pepohonan
dan hewan peliharaan (ayam, anjing, babi). Orang-orangnya ramaaaah banget! Yang
terakhir ini yang sudah sangat langka di belahan lain Indonesia. Mudah-mudahan
ini bertahan ya.
Saya mendapat sebuah kamar yang cukup besar dengan dua buah
tempat tidur, yang satu berkelambu. Saya perhatikan, tidak ada kipas angin.
Saya sudah cemas nih. Segini gerahnya (Kodi juga puanaas!), gimana kalo ga ada
kipas ya? Eh ternyata, ga gerah-gerah amat. Mungkin karena ada dua buah jendela
terbuka lebar, dan jendela itu langsung menghadap kebun belakang yang maha
luas. Jadi angin sangat berlimpah ruah. Belum lagi langit-langit yang tinggi
membuat udara tersirkulasi dengan baik. Sipp! Ga masalah dah! Dan bener,
malamnya, saya tidur dengan super nyenyak di tempat tidur berkelambu saya.
Tomat di Kebun Pastoran |
Pagi ini saya bangun dengan disuguhi udara pagi yang sejuk,
udara bersih, suasana yang hening, sinar matahari pagi yang perlahan muncul,
dan secangkir teh jahe yang lezat.
Puji Tuhan!
Hari ini (sekitar sore) rencananya saya, dengan diantar oleh
Romo Isto, akan menemui seorang narasumber. Mudah-mudahan semuanya lancar ya.
***
Homba Karipit, 26 Oktober 2019
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment