RIP P. dr. Yohanes
Djohan Halim, Pr
Pertengahan Maret lalu saya mendengar kabar mengejutkan: Pastor Yohanes Halim, Pr. meninggal.
Pastor Yohanes meninggal dengan tenang di rumah pribadinya di Jalan Veteran,
Padang pada tanggal 17 Maret 2020.
Waktu itu pemerintah sudah menyerukan untuk membatasi ruang
sosial tapi saya memutuskan ke Padang untuk memberikan penghormatan terakhir. Pastor
Yohanes Halim, Pr adalah sosok yang tidak bisa saya tinggalkan begitu saja.
Sangat besar hutang budi saya pada beliau. Kalau bukan karena beliau, belum tentu saya bisa menyelesaikan kuliah S-1 saya.
Tahun 1988, saya baru saja masuk semester kedua kuliah saya
di IKIP Yogyakarta ketika saya mendapat kabar yang sangat tidak mengenakkan
dari ibu saya: beliau tidak bisa membiayai saya. Saya shocked. Terpukul. Begitu
saja. Beliau tidak bisa lagi membiayai saya.
Beliau minta kakak sulung saya yang saat itu sudah punya
pekerjaan untuk membiayai tapi kakak saya itu keberatan. Jadi, saya harus
menerima bahwa saya akan drop out dari kuliah. Kakak saya yang lain menjanjikan
akan mencarikan saya pekerjaan di sebuah money
changer.
Okelah. Baiklah. Sebesar keingingan saya menolak kenyataan
itu tak ada yang bisa saya lakukan untuk mengubahnya. Jadi, saya cuma terdiam.
Saat itu ibu saya tinggal di Denpasar. Jadi, saya pulanglah
ke Yogya untuk melanjutkan Semester II (karena sudah terlanjur bayar).
Pastor Yohanes bersama mendiang Bapa Uskup Situmorang, OFMCap |
Hal pertama yang saya lakukan adalah menemui Sr. Benedicte, CB, suster kepala asrama
(Asrama Syantikara Yogyakarta). Bukan, saya bukannya mau minta tolong. Dalam
pikiran saya, logisnya tentu saya harus minta izin baik-baik sekaligus minta
izin tinggal sampai akhir semester dengan kemungkinan bayar uang asrama dengan
super seret. Saya ceritakan kondisi saya pada Sr. Ben (panggilan kami, anak
asrama, pada Sr. Benedicte, CB).
Saya ingat waktu itu Sr. Ben tidak berkata apa-apa. Beliau
hanya menyuruh saya tetap tabah dan dengan murah hati beliau membolehkan saya
tinggal sampai selesai semester II. Saya lega. Saya kembali ke kamar lalu
seterusnya diam-diam saya mulai mengepaki barang-barang saya (yang tidak
banyak). Teman-teman sekamar saya pada tak tahu saya berkemas-kemas :D
Waktu berlalu.
Bulan Mei 1988 perkumpulan mahasiswa katolik di kampus saya
mengadakan ziarah ke Sendang Sriningsih, Klaten. Cerita mengenai itu saya
tuliskan di sini. Dengan pemikiran bahwa itu mungkin kumpul-kumpul terakhir
saya dengan teman-teman katolik, saya ikutan ziarah. Di depan Ibu Maria
Sriningsih pun saya ingat saya malah tak bisa berdoa. Hanya terdiam. Mau
dibilang pasrah juga tidak. Tapi berharap juga merasa tak mungkin. Jadi, ga tau
deh. Pokoknya blank aja.
Bulan Juni 1988 tiba-tiba Sr. Ben memanggil saya. Beliau
mengatakan ada seorang ketua yayasan pendidikan di Riau yang mencari guru untuk
sekolahnya. Ketua yayasan itu bersedia membiayai pendidikan guru itu asal
kemudian mau berkarya di yayasan. Sr. Ben menanyakan kalau-kalau saya mau
menerima tawaran itu. TENTU SAJA SAYA MAU!
Maka, di situlah saya bertemu dengan Pastor dr. Yohanes Johan
Halim, Pr. Beliau adalah ketua Yayasan
Prayoga Perwakilan Riau, sebuah yayasan pendidikan katolik milik Keuskupan
Padang yang membawahi sekolah-sekolah di Riau.
Beliau seorang yang tinggi besar namun berwajah lembut dengan
suara yang tak kalah halus. Beliau menanyakan hal yang sama dengan Sr. Ben:
apakah bersedia bekerja di yayasan beliau dan nantinya semua biaya kuliah dan
biaya hidup akan ditanggung. Saya rasa pembaca sudah tahu apa jawaban saya.
Itulah sebabnya, seumur hidup saya berhutang pada Pastor
Yohanes (begitu beliau sering disapa). Beliau bersedia mengulurkan tangan buat
saya, orang yang sama sekali tidak dikenalnya, di saat saya sudah putus asa.
Bantuan beliau tidak hanya sebatas biaya kuliah. Setelah
lulus sebenarnya beliau mengizinkan saya tinggal di salah satu rumah di
pastoran Bagansiapiapi (tempat saya ditugaskan pertama kali) dengan mengajak
ibu saya. Saya boleh tinggal tanpa membayar. Namun, ibu saya yang tidak mau
tinggal di Sumatera.
Setahun di Bagansiapiapi ternyata saya kurang betah. Kondisi
cuaca di Bagansiapiapi membuat saya sakit-sakitan. Saya ceritakan isi hati saya
dengan jujur pada Pastor Yohanes. Beliau ternyata mau memahami. Tahun
berikutnya saya dipindahkan ke Duri. Duri ternyata lebih cocok buat saya.
Di Duri, di sekitar tahun 1995, saya menjalani operasi
pengangkatan tumor di payudara kiri. Biaya operasi waktu itu sebenarnya tak
terjangkau buat saya biarpun Yayasan Prayoga Perwakilan Riau memberikan bantuan
pembayaran setengahnya. Lagi-lagi, kepada Pastor Yohaneslah saya lari. Saya
katakan, saya pinjam uang Pastor, nanti saya ganti dengan mencicil dari gaji.
Pastor Yohanes memberikan pinjaman yang saya butuhkan.
Beberapa waktu kemudian saya kembali lagi ke Pekanbaru untuk
membayar pinjaman saya pada Pastor Yohanes. Di luar dugaan saya Pastor Yohanes
menyuruh saya menyimpan uang saya untuk keperluan lain. Waduh, terkejut saya.
Pinjaman saya itu cukup besar (saya juga bisa mengembalikan karena pinjam lagi
dari CU sekolah). Rasanya “aneh” ada seseorang yang merelakan jumlah uang yang
cukup besar. Pastor Yohanes berkeras. Beliau bahkan mengatakan sambil bergurau:
apakah Agnes tidak menghargai uang Pastor? Nah lo. Mau ditolak, bagaimana. Mau
diterima, bingung juga. Akhirnya memang saya membawa kembali uang itu. Pastor
sama sekali tidak mau dibayar kembali.
Kalau dihitung-hitung, saya hanya membayar jumlah yang keciiil
sekali dari keseluruhan biaya operasi saya waktu itu. Dan lagi-lagi, kemurahan
Pastor Yohaneslah yang memungkinkannya.
Baiklah, yang saya ceritakan di atas adalah segala kebaikan
konkret yang saya alami dengan Pastor Yohanes. Yang lebih penting daripada itu
adalah dalam pandangan saya beliau orang baik. Sikap beliau pada saya, setelah
semua bantuan yang nyaris luar biasa itu, tetap baik, ramah, dan menghargai.
Tak sedikitpun saya merasa beliau arogan pada saya atau mengungkit-ungkit
masalah bantuan-bantuan itu.
Uang mungkin sangat mudah didapatkan tapi karakter yang baik
jauh lebih berharga, bukan?
Itulah sebabnya saya akan terus berhutang pada beliau seumur
hidup saya.
P. dr. Yohanes Djohan Halim, Pr. dimakamkan di Columbarium, Kompleks Keuskupan Padang. |
Tahun 1997 beliau tidak lagi menjabat sebagai ketua yayasan.
Beliau mendapat tugas belajar ke Amerika. Karenanya sejak tahun itu saya tak
pernah lagi bertemu dengan beliau. Apalagi, sejak pulang dari Amerika beliau jatuh
sakit. Parkinson menyerangnya di tahun 2000.
Dua tahun terakhir ini –jujur- saya kok kepikiran beliau dan
ingin sekali menemui beliau. Belum sempat terkabul keingingan untuk bertemu,
beliau sudah berpulang. Rasanya kecewa juga karena tidak sempat bertemu dengan
Pastor Yohanes.
Karena “membayar” rasa kecewa itulah, saya bela-belain ke
Padang untuk mengantar beliau ke peristirahatannya yang terakhir. Paling tidak,
saya merasa, beliau tahu, saya tidak melupakan beliau.
Beristirahatlah dalam damai, Pastor Yohanes yang baik. Saya
belum sempat membalas semua kebaikan Pastor. Saya berharap Tuhan membantu saya
membalaskannya buat Pastor dengan memberikan tempat yang terbaik di Surga.
Pastor adalah Injil yang hidup buat saya. Pastor membuat saya
percaya tangan Tuhan ada di mana-mana. Sekali lagi terima kasih telah
memberikan kesempatan sekali seumur hidup buat saya. Doa saya selalu buat
Pastor.
***
Pebatuan, 7 April 2020
Agnes Bemoe
Terima kasih sharingnya, Mba. Saya baru mengetahui Pastor Yohanes Halim sudah meninggal. Beliau juga sangat baik kepada saya. Semoga Pastor Yohanes mendapat kebahagiaan kekal di surga.
ReplyDelete