Follow Us @agnes_bemoe

Monday, 27 October 2014

Mimpi

Aku tak mau bermimpi sendirian maka kuajak kunang-kunang untuk bermimpi bersamaku.
"Apa mimpimu?" Tanyaku pada kunang-kunang.
"Ah, kamu akan bosan mendengarnya."
"Try me."

Kunang-kunang menghela napas sejenak.
"Aku mimpi bertemu dengan pemuda, eh, kunang-kunang jantan yang tampan. Sepasang mata cokelatnya sangat hangat. Lesung pipinya menambah ketampanannya..."
"Eh, kunang-kunang juga punya lesung pipi dan mata cokelat?"
"Kamu mau ndengerin mimpiku, nggak?" Kunang-kunang merengut.
"Ups, iya deh, maaf..."
Kunang-kunang menghela napas lagi.

"Kami jalan bersama. Dia ternyata teman yang sangat menyenangkan. Dia periang, lucu, dan hangat. Hatinya sangat lembut. Dia juga teman ngobrol yang sangat menyenangkan."
Kulihat mata Kunang-kunang berbinar ketika menceritakan pria, eh, kunang-kunang jantan yang jadi temannya itu. Aku bahkan bisa merasakan deburan jantungnya.

"Kamu jatuh cinta padanya ya?"
Alih-alih menjawab, Kunang-kunang melanjutkan ceritanya.

"Perjalanan kami sangat menyenangkan. Aku belajar banyak hal baik dari dia, si Kunang-kunang bermata cokelat. Aku merasa sangat nyaman bersamanya. Banyak kecocokan kami. Kurasa kami ini soul mate...."

Hah? Kunang-kunang juga mengenal istilah "soul mate". Namun aku tak berani membantah. Kulihat Kunang-kunang sangat serius dengan ceritanya.

"Sampai suatu saat dalam perjalanan kami aku akhirnya mengetahui. Dia sedang mencari kekasihnya. Hatiku hancur mendengarnya. Namun, aku memutuskan untuk tetap menemaninya. Dia sedang butuh kawan dalam pencarian kekasihnya itu."

Kudengar suara Kunang-kunang mulai memelan. Matanya mengerjab-ngerjab, berusaha menyembunyikan titik-titik air mata.

"Lalu, pelan-pelan ia mulai menjauh. Dan kemudian, hilang sama sekali. Kurasa, ia sudah menemukan kekasihnya...."

Kami sama-sama terdiam.

"Engkau tidak sedih?"
Kunang-kunang menatapku. Ada kilau muram di situ.

"Tanyakan bagaimana perasaan senja bila malam tak menyambutnya. Bagaimana perasaan sabana bila kuda-kuda tak lagi bergemuruh di atasnya. Perasaan burung bila pagi tak lagi menunggu kicaunya. Perasaan bunga bila semesta tak lagi mengenali wanginya. Perasaan samudra bila ikan tak lagi ingin menjelajahinya. Perasaan..."

"Iya, iya, aku mengerti. Aku mengerti." Tenggorokanku tercekat. Kunang-kunang menukas cepat.
"Tidak, engkau tak mungkin mengerti. Hanya angin yang mengerti rapuhnya dedaunan yang jatuh..."

Aku terbangun. Astaga, kenapa mataku basah? Kenapa hatiku seperti mau pecah? Hanya Kunang-kunang yang akan mengerti perasaanku.

"Tidak. Engkau tak mungkin mengerti. Hanya angin yang mengerti rapuhnya dedaunan yang jatuh...." Terngiang kembali kata-kata Kunang-kunang di mimpiku. Mataku makin basah.

***

Pembatuan, 28 Oktober 2014
@agnes_bemoe


No comments:

Post a Comment