Duo Detektif: Sabotase Lokomotif B2503
Penulis: Wiwien Wintarto
Ilustrator: Saiful Basor
Editor: Maria Felicia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2019
Chapter Book
e-book
Jalu dan Bima suka hal-hal yang berbau detektif. Tak nyana mereka berdua terlibat sungguhan di sebuah kasus. Kasusnya juga tak main-main: sabotase kereta api wisata di Ambarawa. Kisah keduanya melawan penjahat yang akan mensabotase kereta inilah yang diceritakan di buku ini.
Ceritanya menarik. Saya suka settingnya yang Indonesia banget dan non-Jakarta. Settingnya adalah kota kecil Ambarawa, Jawa Tengah, dengan wisata kereta api-nya yang ikonik.
Bersetting Jawa Tengah, tak heran kalau kata-kata berbahasa Jawa bertebaran. “Piye iki?” atau “apa ta?” adalah salah satunya. Buat saya ini tentu menarik. Kita merasa dekat dengan ceritanya.
Yang juga menonjol adalah penggunaan teknologi mutakhir dalam cerita. Di beberapa bagian bahkan agak detail diceritakan tentang pemanfaatan teknologi ini. Ini membuat cerita tetap terasa pop biarpun bersetting sebuah kota kecil.
Saya juga tertarik dengan diikutkannya tokoh difabel, Taufan, yang tuna rungu dan tuna wicara (maafkan kalau penamaan saya keliru). Semoga di kesempatan lain Taufan akan diberi porsi yang sama atau bahkan lebih banyak lagi. Anak-anak Indonesia perlu tahu hal-hal seperti ini. Dengan ini chapter book ini lengkap menonjolkan representasi anak Indonesia. Salut.
Sayangnya, buat saya pribadi, irama novel ini lumayan lambat, terutama di 3 bab pertama. Namun saya pikir, hal ini tidak akan menjadi kendala buat pembaca targetnya, yakni anak-anak SD.
Yang menjadi ganjalan utama buat saya adalah yang berkaitan dengan prinsip pendidikan, benar-salah dan baik-buruk. Diceritakan bahwa Bima mengambil kunci ruang komputer sekolah dari ayahnya tanpa meminta izin (ayahnya penjaga sekolah). Ayah Bima memang mengatakan akan menghukum tapi tetap membolehkan Bima dan Jalu menggunakan ruang komputer.
Saya mendapat kesan kelakuan Bima itu dianggap hal sepele atau keisengan anak-anak biasa. Dan saya kurang sreg dengan ini. Ini seolah-olah mengatakan bahwa kalau anak punya alasan bagus dia bisa saja melakukan kenakalan/kejahatan. Kecuali kalau di cerita ini si ayah memang orang jahat yang gemar mengajarkan hal buruk pada anaknya, saya bisa paham konteksnya.
Berikutnya lagi ketika Jalu belanja di Koperasi Sekolah dan lari meninggalkan Koperasi Sekolah tanpa membayar padahal ia sudah diingatkan. Bagian ini mungkin dimaksudkan untuk menimbulkan efek 'hidup' dan 'greget' pada cerita dan saya setuju itu. Namun, saya berharap bisa diceritakan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa meninggalkan penjual marah-marah karena tidak dibayar itu adalah peristiwa 'lucu'.
Saya tidak bermaksud 'sok puritan' karena dalam kehidupan sehari-hari pasti kejadian seperti ini ada. P.S. saya juga pernah sangat jengkel ketika cerita saya tentang anak yang kabur karena tidak suka pada tamunya di-cut oleh pemberi proyek tulisan. Alasannya takut ditiru pembaca. What? pikir saya. Anak-anak pembaca tidak punya orangtua untuk mengajarkan perilaku kah, sampai-sampai semua diserahkan pada buku?
Saya tak mau jadi sesempit itu. Saya merasa paham maksud penulisnya yaitu untuk menghangatkan cerita jadi saya tidak akan mengusulkan untuk meng-cut bagian itu. Namun, saya berharap, bila dituliskan lagi, akan ada penekanan pada yang benar atau diceritkan sedemikian rupa sehingga memang kelihatan lebih wajar dan manusiawi. Tentu saja, saya bisa sangat keliru dalam memahami bagian ini. Bila ada teman yang sudah baca dan punya pendapat lain, saya ingin sekali mengetahuinya.
Di luar semua itu saya rasa ini novel (chapter book) yang akan disukai anak-anak. Kalau teman-teman punya anak usia SD bisa cari buku ini deh.
***
Pebatuan, 22 Februari 2021
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment