12 Hiasa Pohon Natal, 2016, Grasindo |
Seorang teman di facebook menyarankan saya membuka kelas
penulisan cerita anak kristiani. Saya bukannya tidak setuju. Masalahnya, saya
tidak terlalu piawai mengajar selain juga ilmu yang masih sangat pas-pasan.
Mudah-mudahan suatu saat kalau sudah lebih pinter, saya pertimbangkan
untuk membuat kelas belajar menulis cerita anak kristiani.
Yang mau saya tuliskan ini bukan pengajaran. Lebih pada apa
yang saya pribadi lakukan pada saat menulis buku cerita anak kristiani:
1.
Kisah Santo-Santa, Penerbit Genta (Imprint
Penerbit BIP), 2013
2.
Kisah Para Kudus dan Binatang, Penerbit
Kanisius, 2015
3.
Priscilla’s Easter Eggs and The Other Easter
Stories, Penerbit Andi, 2015
4.
12 Hiasan Pohon Natal, Penerbit Grasindo, 2016
Kisah Santo Santa, 2013, Penerbit Genta |
Apa syarat cerita anak kristiani?
1.
Menarik.
Menurut saya, cerita anak kristiani pertama-tama haruslah menarik. Ingatlah
bahwa pembaca target adalah anak-anak. Betapapun relijiusnya seorang anak, bila
ia membaca sesuatu yang membosankan atau
membingungkan, ia tak akan tertarik. Lebih parah lagi, ia akan membaca dalam keadaan
tertekan (mungkin karena wajib) dan hal ini malah menjauhkan maksud semula
yaitu mendekatkan anak dengan relijiusitas.
Cerita anak kristiani yang menarik sebaiknya ditulis dengan ringan, sedapat bisa menghindari pengajaran atau bahkan pengkotbahan. Anak akan lebih tertarik pada sebuah cerita bila mereka merasa menjadi “hero” dalam kisah tersebut, dan bukannya “anak kecil” yang dikuliahi (ya, mereka memang masih kecil tapi mereka berhak punya pendapat sendiri). Biarkan anak menikmati, mencari, dan lalu menemukan sendiri makna cerita tersebut.
Cerita yang menarik tentu saja dibangun
dari unsur-unsur di dalamnya yang disusun sedemikian rupa sehingga mencubit
perhatian pembaca: penokohannya, karakternya, konfliknya, plotnya, sampai cara
penyelesaian masalahnya. Intinya, secara instrinsik cerita itu mesti dibangun sedemikian rupa sehingga merebut perhatian pembaca.
Termasuk yang akan menjadikan cerita
menarik adalah idenya. Entah ide tentang temanya, entah ide tentang settingnya,
atau ide tentang tokoh-tokohnya. Ide tidak selalu berarti sesuatu yang baru
yang datang dari ruang hampa. Apa saja yang terasa lebih refreshing bisa dimasukkan menjadi suatu ide menarik.
Karena terkait dengan buku/cerita anak,
tidak boleh dilupakan unsur yang satu ini, yaitu ilustrasi. Bagi anak, ilustrasi adalah bahasa non-verbal, sarana
baginya untuk memahami dan menikmati cerita. Ilustrasi yang bagus sudah pasti
membuat buku atau cerita menjadi menarik.
Salah satu cerita anak kristiani karya penulis Indonesia yang saya anggap menarik adalah satu Seri Perumpamaan yang ditulis oleh Yovita Siswati.
Perumpamaan tentang Kasih, Pengampunan, dan Pertobatan, Yovita Siswati. |
Priscilla's Easter Eggs and Other Easter Stories, 2015, Penerbit Andi |
Saya belum menemukan contoh buku anak kristiani dengan pesan tersirat yang ditulis oleh penulis Indonesia. Namun, contoh dari penulis luar ada banyak.
Cerita “A Party to Remember” karya Tim Tebow ini digolongkan ke dalam cerita anak kristiani. Kalau dibaca isinya, sedikitpun tidak menyebutkan kata Christian, atau Jesus, atau apapun yang terkait dengan kekristenan. Namun jelas bahwa makna kisah yang dibawanya adalah kasih pada orang yang berbeda. Dan itu jelas sangat kristiani.
Siapa boleh menulis cerita anak kristiani?
Mungkin ada pembatasan untuk menulis cerita anak kristiani.
Kalau ada, saya tidak tahu. Namun, menurut hemat saya, siapapun boleh menulis
cerita anak kristiani.
Namun demikian, untuk penerbitannya, dalam aturan Gereja
Katolik ada yang disebut nihil
obstat dan imprimatur. Nihil
Obstat secara harafiah berarti “tidak ada halangan” dan “imprimatur” berarti
“boleh terbit”. Izin ini biasanya diberikan oleh pejabat gereja katolik dalam hal ini
Uskup. Ini karena materi yang ditulis diharapkan tidak bertentangan dengan
pengajaran Gereja Katolik. Nihil Obstat dan Imprimatur biasanya diperlukan
untuk kelompok buku Kitab Suci, Liturgi dan Doa, Katekese, serta Iman dan
Moral. Tentang ini bisa dibaca di sini: Tentang Nihil Obstat dan Imprimatur
Sewaktu menulis tentang kisah para kudus
(karena para kudus ini tidak unik milik Gereja Katolik. Gereja Orthodoks dan
Anglikan juga memiliki para kudusnya) saya berkonsultasi dengan seorang
pastor.
Namun, intinya adalah, silakan menulis tapi jangan lupa
berhati-hati dan bertanggung jawab akan isinya.
Apa Saja yang Bisa
Ditulis?
Sepertinya, buku anak kristiani banyak ditulis untuk pembaca
usia TK – SD. Sebenarnya berbagai genre untuk berbagai rentang usia (anak) bisa
ditulis dengan tema kristiani:
1.
Wordless Book, usia 0 – 3, tanpa kata, hanya
ilustrasi
2.
Picture Book, usia 2 – 8, 200 – 800 kata, dengan
ilustrasi di setiap halaman
3.
Picture Story Book, usia 6 – 10, 1000 – 3000 kata,
ilustrasi di setiap halaman
4.
Chapter Book, usia 6 – 13, 3000 – 15.000 kata,
ilustrasi di beberapa halaman
Dari Mana Idenya?
Saya menulis kisah para kudus karena saya suka
dengan kisah hidup mereka. Bagi saya, kisah para kudus itu lebih membumi dan
dekat dengan sisi kemanusiaan saya (berbanding kisah Nabi, misalnya). Ini tentu
pendapat pribadi. Namun, dengan pemikiran seperti itulah saya mendapat ide
untuk menuangkan kembali kisah para kudus ke dalam cerita.
Kisah Ssanto Santa dan Binatang, Kanisius, 2015 |
Untuk kisah Natal dan Paskah, sudah jelas. Itu adalah dua
peristiwa terbesar dalam ajaran kristiani. Peristiwa-peristiwa itu bisa
mengucurkan ide yang banyak pada para penulis.
Selain itu, tentu Alkitab bisa menjadi sumber ide yang tak
ada habisnya.
Bila kita mau meniti cerita dengan makna tersirat, lebih
luas lagi ladang ide yang bisa kita garap.
Buku anak kristiani pun tidak selalu harus fiksi. Buku-buku
non fiksi, semacam buku aktivitas, buku doa, biografi kecil, atau sejarah terkait
tema kristiani bisa disusun oleh penulis.
Lalu, Bagaimana
Menuliskannya?
Secara teknis proses menuliskan cerita anak kristiani tidak
terlalu berbeda dengan menulis cerita anak pada umumnya. Namun demikian untuk
cerita anak kristiani proses teknis harus dibarengi dengan sesuatu yang sangat
mendasar. Seorang penulis cerita anak kristiani dari USA punya pendapat yang
perlu kita simak:
The basic skills needed for writing for Christian children
are the same as writing for the secular children’s market. The difference comes
in the writer’s motivation, which is to
share his or her love for and knowledge of Christ with the reader. This is
the overall theme of everything written for Christian children, whether
specifically stated or implied. (Kathleen
Muldoon)
Perhatikan bahwa kecintaan akan Kristus sendiri hendaknya
menjadi motivasi dasar bagi para
penulis. Teknik menulis bisa dipelajari tapi satu hal ini, yakni kecitaan akan
Kristus, berdasarkan pertemuan akan kasihNya, ini yang secara spesifik hanya dan
harus dimiliki oleh para penulis buku anak kristiani.
Saya rasa, itulah yang bisa saya bagikan kalau menyangkut
penulisan cerita anak kristiani. Semoga bermanfaat (dan, ayo rame-rame menulis cerita anak kristiani!).
Jangan lupa untuk mendukung buku anak kristiani dengan membeli dan membacanya ya.
Ilustrasi dalam buku "12 Hiasan Pohon Natal" karya Elisabeth Lisa |
Pebatuan, 10 Januari
2021
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment