Follow Us @agnes_bemoe

Saturday 9 January 2021

MENULIS CERITA ANAK KRISTIANI

 

12 Hiasa Pohon Natal, 2016, Grasindo

Seorang teman di facebook menyarankan saya membuka kelas penulisan cerita anak kristiani. Saya bukannya tidak setuju. Masalahnya, saya tidak terlalu piawai mengajar selain juga ilmu yang masih sangat pas-pasan. Mudah-mudahan suatu saat kalau sudah lebih pinter, saya pertimbangkan untuk membuat kelas belajar menulis cerita anak kristiani.


Yang mau saya tuliskan ini bukan pengajaran. Lebih pada apa yang saya pribadi lakukan pada saat menulis buku cerita anak kristiani:


1.       Kisah Santo-Santa, Penerbit Genta (Imprint Penerbit BIP), 2013

2.       Kisah Para Kudus dan Binatang, Penerbit Kanisius, 2015

3.       Priscilla’s Easter Eggs and The Other Easter Stories, Penerbit Andi, 2015

4.       12 Hiasan Pohon Natal, Penerbit Grasindo, 2016

 

Kisah Santo Santa, 2013, Penerbit Genta

Apa syarat cerita anak kristiani?

1.       Menarik. Menurut saya, cerita anak kristiani pertama-tama haruslah menarik. Ingatlah bahwa pembaca target adalah anak-anak. Betapapun relijiusnya seorang anak, bila ia  membaca sesuatu yang membosankan atau membingungkan, ia tak akan tertarik. Lebih parah lagi, ia akan membaca dalam keadaan tertekan (mungkin karena wajib) dan hal ini malah menjauhkan maksud semula yaitu mendekatkan anak dengan relijiusitas.


 

Cerita anak kristiani yang menarik sebaiknya ditulis dengan ringan, sedapat bisa menghindari pengajaran atau bahkan pengkotbahan. Anak akan lebih tertarik pada sebuah cerita bila mereka merasa menjadi “hero” dalam kisah tersebut, dan bukannya “anak kecil” yang dikuliahi (ya, mereka memang masih kecil tapi mereka berhak punya pendapat sendiri). Biarkan anak menikmati, mencari, dan lalu menemukan sendiri makna cerita tersebut.

 

Cerita yang menarik tentu saja dibangun dari unsur-unsur di dalamnya yang disusun sedemikian rupa sehingga mencubit perhatian pembaca: penokohannya, karakternya, konfliknya, plotnya, sampai cara penyelesaian masalahnya. Intinya, secara instrinsik cerita itu mesti dibangun sedemikian rupa sehingga merebut perhatian pembaca.

 

Termasuk yang akan menjadikan cerita menarik adalah idenya. Entah ide tentang temanya, entah ide tentang settingnya, atau  ide tentang tokoh-tokohnya.  Ide tidak selalu berarti sesuatu yang baru yang datang dari ruang hampa. Apa saja yang terasa lebih refreshing bisa dimasukkan menjadi suatu ide menarik.

 

Karena terkait dengan buku/cerita anak, tidak boleh dilupakan unsur yang satu ini, yaitu ilustrasi. Bagi anak, ilustrasi adalah bahasa non-verbal, sarana baginya untuk memahami dan menikmati cerita. Ilustrasi yang bagus sudah pasti membuat buku atau cerita menjadi menarik.


Salah satu cerita anak kristiani karya penulis Indonesia yang saya anggap menarik adalah satu Seri Perumpamaan yang ditulis oleh Yovita Siswati


Perumpamaan tentang Kasih, Pengampunan, dan Pertobatan, Yovita Siswati.


 2.       Berisi pesan/makna kristiani. Pesan kristiani ini bisa tersurat bisa juga tersirat. Cerita-cerita Alkitab, Natal, Paskah, Para Nabi, dll adalah kisah-kisah tersurat tentang kekristenan. 


Priscilla's Easter Eggs and Other Easter Stories, 2015, Penerbit Andi





Saya belum menemukan contoh buku anak kristiani dengan pesan tersirat yang ditulis oleh penulis Indonesia. Namun, contoh dari penulis luar ada banyak.

 




Cerita “A Party to Remember” karya Tim Tebow ini digolongkan ke dalam cerita anak kristiani. Kalau dibaca isinya, sedikitpun tidak menyebutkan kata Christian, atau Jesus, atau apapun yang terkait dengan kekristenan. Namun jelas bahwa makna kisah yang dibawanya adalah kasih pada orang yang berbeda. Dan itu jelas sangat kristiani.

 

Siapa boleh menulis cerita anak kristiani?

Mungkin ada pembatasan untuk menulis cerita anak kristiani. Kalau ada, saya tidak tahu. Namun, menurut hemat saya, siapapun boleh menulis cerita anak kristiani.






Namun demikian, untuk penerbitannya,  dalam aturan  Gereja Katolik ada yang disebut nihil obstat dan imprimatur. Nihil Obstat secara harafiah berarti “tidak ada halangan” dan “imprimatur” berarti “boleh terbit”. Izin ini biasanya diberikan oleh pejabat gereja katolik dalam hal ini Uskup. Ini karena materi yang ditulis diharapkan tidak bertentangan dengan pengajaran Gereja Katolik. Nihil Obstat dan Imprimatur biasanya diperlukan untuk kelompok buku Kitab Suci, Liturgi dan Doa, Katekese, serta Iman dan Moral. Tentang ini bisa dibaca di sini: Tentang Nihil Obstat dan Imprimatur



Sewaktu menulis tentang kisah para kudus (karena para kudus ini tidak unik milik Gereja Katolik. Gereja Orthodoks dan Anglikan juga memiliki para kudusnya) saya berkonsultasi dengan seorang pastor. 


Namun, intinya adalah, silakan menulis tapi jangan lupa berhati-hati dan bertanggung jawab akan isinya.


 

Apa Saja yang Bisa Ditulis?

Sepertinya, buku anak kristiani banyak ditulis untuk pembaca usia TK – SD. Sebenarnya berbagai genre untuk berbagai rentang usia (anak) bisa ditulis dengan tema kristiani:

1.       Wordless Book, usia 0 – 3, tanpa kata, hanya ilustrasi

2.       Picture Book, usia 2 – 8, 200 – 800 kata, dengan ilustrasi di setiap halaman

3.       Picture Story Book, usia 6 – 10, 1000 – 3000 kata, ilustrasi di setiap halaman

4.       Chapter Book, usia 6 – 13, 3000 – 15.000 kata, ilustrasi di beberapa halaman

 

Dari Mana Idenya?

Saya menulis kisah para kudus karena saya suka dengan kisah hidup mereka. Bagi saya, kisah para kudus itu lebih membumi dan dekat dengan sisi kemanusiaan saya (berbanding kisah Nabi, misalnya). Ini tentu pendapat pribadi. Namun, dengan pemikiran seperti itulah saya mendapat ide untuk menuangkan kembali kisah para kudus ke dalam cerita.


Kisah Ssanto Santa dan Binatang, Kanisius, 2015



Untuk kisah Natal dan Paskah, sudah jelas. Itu adalah dua peristiwa terbesar dalam ajaran kristiani. Peristiwa-peristiwa itu bisa mengucurkan ide yang banyak pada para penulis.


Selain itu, tentu Alkitab bisa menjadi sumber ide yang tak ada habisnya.


Bila kita mau meniti cerita dengan makna tersirat, lebih luas lagi ladang ide yang bisa kita garap.






Buku anak kristiani pun tidak selalu harus fiksi. Buku-buku non fiksi, semacam buku aktivitas, buku doa, biografi kecil, atau sejarah terkait tema kristiani bisa disusun oleh penulis.

 

Lalu, Bagaimana Menuliskannya?

Secara teknis proses menuliskan cerita anak kristiani tidak terlalu berbeda dengan menulis cerita anak pada umumnya. Namun demikian untuk cerita anak kristiani proses teknis harus dibarengi dengan sesuatu yang sangat mendasar. Seorang penulis cerita anak kristiani dari USA punya pendapat yang perlu kita simak:


The basic skills needed for writing for Christian children are the same as writing for the secular children’s market. The difference comes in the writer’s motivation, which is to share his or her love for and knowledge of Christ with the reader. This is the overall theme of everything written for Christian children, whether specifically stated or implied. (Kathleen Muldoon)


Perhatikan bahwa kecintaan akan Kristus sendiri hendaknya menjadi motivasi dasar bagi para penulis. Teknik menulis bisa dipelajari tapi satu hal ini, yakni kecitaan akan Kristus, berdasarkan pertemuan akan kasihNya, ini yang secara spesifik hanya dan harus dimiliki oleh para penulis buku anak kristiani.

 

Saya rasa, itulah yang bisa saya bagikan kalau menyangkut penulisan cerita anak kristiani. Semoga bermanfaat (dan, ayo rame-rame menulis cerita anak kristiani!).


Jangan lupa untuk mendukung buku anak kristiani dengan membeli dan membacanya ya.

 


Ilustrasi dalam buku "12 Hiasan Pohon Natal" karya Elisabeth Lisa


Baca juga: MENULIS CERITA ANAK KRISTIANI: SEBUAH CONTOH


 ***

Pebatuan, 10 Januari 2021

@agnes_bemoe

No comments:

Post a Comment