Kumpulan Kisah Santo Santa, Penerbit Genta, 2013 |
Bila di tulisan sebelumnya saya menyampaikan apa yang
menurut saya penting dalam
sebuah cerita anak kristiani, di tulisan ini saya berniat untuk lebih
membicarakan hal teknis dan praktis. Tulisan yang sebelumnya dapat dibaca di sini.
Supaya mudah, saya membuatnya dengan contoh tulisan. Tentu
saja, ini bukan satu-satunya cara dan bahkan mungkin bukan teknis yang
sempurna. Saya hanya berbagi teknik yang cocok buat saya. Teman-teman tentu
saja punya lebih banyak cara atau bisa mengeksplorasi lagi dengan cara-cara
yang lain.
Kisah Santo Santa dan Binatang, Kanisius, 2015 |
Nah, taruhlah saya mengambil ide dari Kitab Suci, tepatnya dari ayat-ayatnya yang penuh makna. Maka saya mencari ayat-ayat Kitab Suci yang saya rasa menarik kalau dibuat cerita.
Sudah saya dapatkan, yaitu dari Injil Lukas 10 ayat 27
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Saya baca perikopnya
secara keseluruhan untuk memahami
konteksnya. Perikop ini bercerita tentang orang Samaria yang baik
hati. Perumpamaan itu diceritakan Yesus untuk menjelaskan siapa “sesama” itu. Yesus
ingin menekankan bahwa sesama adalah siapa saja, tidak terbatas pada suku,
kelompok, agama, dll.
Saya menangkap bahwa kata kunci dalam cerita ini adalah
orang atau kondisi yang berbeda. Perbedaan. Perbedaan ini untuk
menggambarkan bahwa “biarpun berbeda, kita semua sesama”.
Saya mulai mencari hal-hal yang bisa menggambarkan
perbedaan; kaya-miskin? besar-kecil? Tua-muda?
Saya memilih besar-kecil karena menurut saya lebih mudah
dicarikan contoh fisiknya. Banyak hal menunjukkan perbedaan besar-kecil;
singa-tikus? Bunga matahari-bunga melati? Atau… raksasa? Saya memilih raksasa.
Dengan itulah saya mendapatkan karakter cerita.
Karena karakternya raksasa, saya merasa lebih tepat kalau setting tempatnya adalah hutan. Nah, saya mendapatkan setting tempat untuk cerita saya, yaitu hutan.
Lalu, mengenai ceritanya, jujur, bila mengambil inspirasi
dari Kitab Suci, sebenarnya kita sudah sangat terbantu oleh Kitab Suci. Kitab
Suci biasanya sudah memberikan gambaran cerita.
Dalam hal ini, orang Samaria yang baik hati mau menolong
orang Yahudi yang sedang kesusahan biarpun sehari-harinya orang Yahudi
menganggap rendah orang Samaria.
Saya pun mendapatkan dua nilai yang perlu ditonjolkan di
sini, yakni “Menolong orang yang selalu menganggap rendah kita” dan “jangan
menilai rendah orang lain hanya karena berbeda”. Kedua nilai ini segera saya
jadikan dasar konflik cerita.
Saya sudah mendapatkan karakter yang cocok juga konflik
cerita. Selanjutnya saya mulai mereka-reka jalan ceritanya. Pada tahapan ini
saya tak punya trik khusus. Saya murni mengandalkan kemampuan berkhayal dan memetakan cerita di kepala saya.
Selanjutnya adalah proses standar: W-R-R alias Write, Revise, Rewrite. Tulis ceritanya, biarkan
mengalir dari hati (dan khayalan… hahaha…), lalu baca ulang. Kali ini gunakan
kepala dengan ‘darah dingin’. Perbaiki, tambahkan, kurangkan. Lalu tulis ulang.
Cek sekali lagi apakah cerita sudah benar-benar menggambarkan ayat Kitab Suci yang
hendak ditonjolkan. Kita harus benar-benar jujur dan hati-hati dalam hal ini.
Bila sudah, ada baiknya meminta orang lain untuk membaca
karya kita. Orang lain bisa lebih obyektif dan teliti (terutama karena kita
sudah ‘kebal’ dengan tulisan kita sendiri).
Nah, begitulah, kita sudah menyusun satu cerita berdasarkan
sebuah ayat Kitab Suci. Oh ya, contoh di atas saya tuangkan dalam cerita Jojo dan Raksasa Mini. Silakan dibaca.
Begitulah kira-kira saya menulis cerita anak kristiani. Bila
temans punya cara yang berbeda, mari berbagi di kolom komentar.
***
Pebatuan, 19 Januari 2021
@agnes_Bemoe
No comments:
Post a Comment