Follow Us @agnes_bemoe

Friday, 12 July 2013

[CERITA ANAK] PEDRO PUNYA TEMAN *)

July 12, 2013 0 Comments

"Pedro Punya Teman"

Pedro adalah seekor anak anjing yang mungil dan lucu. Namun sayang sekali ia sudah tidak lagi memiliki orang tua ataupun saudara. Ia hidup sebatang kara. Pedro ingin sekali memiliki keluarga. Terkadang ia iri melihat beberapa anjing kecil lainnya berjalan bersama dengan tuan mereka.

Suatu hari ia pergi ke taman kota.  Di sana ia melihat anak-anak kecil bermain bersama orang tua dan anjing mereka. Pedro berjalan di sekitar taman kota. Ia mencari-cari siapa tahu ada anak yang mau bermain dengannya. Pedro melihat seorang anak laki-laki yang sedang bermain bola. Ia memberanikan dirinya untuk mendekati anak tersebut.

“Hai!” Sapa Pedro sambil tersenyum. “Kenalkan, namaku Pedro…”
Pedro berharap anak laki-laki itu mau bermain bersamanya. Namun, betapa terkejutnya Pedro melihat anak lelaki kecil itu malah ketakutan melihat dirinya.
“Mamaaaaa…!” Si anak lelaki kecil itu lari sambil menjerit.

Dengan lemas, Pedro berjalan menjauh. Di tengah taman itu ada sebuah kolam. Pedro melongokkan kepalanya ke kolam tersebut. Tidak heran kalau anak laki-laki tadi lari ketakutan, pikir Pedro sambil melihat bayangan wajahnya sendiri di air kolam. Pedro tidak hanya bau, tetapi badannya juga kotor dan dekil.

Pedro duduk dengan sedihnya di tepi kolam itu. Sejenak ia mengambil napas panjang.
“Hm… aku yakin, suatu saat aku akan memiliki teman. Aku tak boleh putus asa.” Pedro menguatkan dirinya sendiri, walaupun saat itu perasaannya sangat sedih.

Pada saat itu Pedro melihat seorang anak perempuan kecil yang sedang duduk tidak jauh darinya. Anak perempuan itu nampak asik bercakap-cakap dengan bonekanya. Sebenarnya Pedro ingin mendekati anak perempuan itu, tapi hatinya masih ragu. Ia diam saja di tempatnya sambil memperhatikan teman kecilnya itu dari jauh.

Tiba-tiba, Pedro melihat bahwa  boneka yang dipegang oleh anak perempuan itu terjatuh di tanah. Anak perempuan itu menunduk sambil meraba-raba berusaha mencari bonekanya. Ooh, ternyata si anak perempuan itu buta!

Anak perempuan itu masih sibuk meraba-raba di sekelilingnya, berusaha mencari bonekanya. Tiba-tiba, tanpa disadarinya kakinya menapak pada tepi kolam, dan, tak ayal lagi, tergelincirlah si anak perempuan itu!
Tanpa sempat berpikir lagi, Pedro segera melesat lari dan menceburkan dirinya ke dalam kolam. Pedro berusaha berenang secepat-cepatnya! Ia meraih baju si anak itu, dan berusaha sekuat tenaganya untuk menariknya ke atas.

Walaupun anak itu hanyalah seorang anak kecil, tetapi terasa cukup berat untuk Pedro, si anjing kecil. Dengan napas terengah-engah Pedro berusaha supaya si gadis kecil itu terangkat ke atas.
Bobo 31, 8 November 2012

Akhirnya! Pedro berhasil menjejakkan kedua tangannya di tepi kolam! Untunglah pada saat bersamaa sudah datang ibu dari si anak tadi. Ibu itu segera saja menarik anak perempuan itu ke pelukannya.
“Monaaa!!!” teriak ibu itu.
Untunglah, Mona, si gadis kecil itu cepat pulih. Pedro melihat si gadis kecil itu terbatuk-batuk dengan hebatnya. Syukurlah, Mona tidak tenggelam, pikir Pedro.

Dengan gontai, ia melangkah menjauhi Mona, ibunya, dan juga orang banyak yang mulai berdatangan. Ia tidak mau diusir di depan orang banyak. Untuk terakhir kalinya Pedro memandangi Mona yang sudah sadar, lalu berlari pergi.

Pedro menuju ke sebuah tong sampah. Ia merasa sangat kelaparan setelah tadi berenang dengan sekuat tenaga. Ia mencari-cari siapa tahu ada sisa-sisa makanan yang bisa dimakannya.

“Naah, di sini rupanya!” tiba-tiba didengarnya sebuah suara. Pedro sangat terkejut, sampai-sampai ia terlonjak dari bak sampah itu! Pedro mendongakkan kepalanya, dan dilihatnya sekumpulan orang sudah mengelilingi bak sampah itu! Pedro memandangi mereka dengan wajah ketakutan! Wah, aku harus segera lari, pikirnya. Tiba-tiba dari kerumuan itu didengarnya sebuah suara.

“Badannya bau sekali, Mama. Aku pasti kenal, kalau didekatkan kepadaku.” Ternyata itu suara Mona, si gadis kecil tadi.

Pedro melihat salah seorang dari kerumunan itu menjulurkan tangannya dan mengambil dirinya. Lalu, ia didekatkan pada Mona. Sejenak, Mona membaui. Lalu ia berseru.
“Iya! Ini pasti anjing yang tadi menolongku! Mama, aku mau dia! Aku mau dia!”

Pedro melihat mama Mona memandang padanya.
“Anjing kecil, terima kasih sudah menyelamatkan Mona. Maukah engkau ikut dengan kami?” Wajah mama Mona sangat cantik dan senyumnya pun sangat manis. Tanpa ragu Pedro mengibas-ngibaskan ekornya pertanda setuju.

Sejak hari itu, Pedro tinggal bersama Mona. Sekarang, ia tidak hanya memiliki seorang teman, tetapi ia juga memiliki sebuah keluarga!

***
 *) Dimuat di Majalah BOBO Nomor 31 8 November 2012

Pekanbaru, 13 Juli 2013
Agnes Bemoe

Thursday, 11 July 2013

[MY NOVEL] [A SNEAK PEAK] Menari di Atas Awan

July 11, 2013 0 Comments
Bab I.
SEBUAH PERTEMUAN


Bandung di bulan April, jalanannya masih ramai dengan pengunjung. Biarpun tidak sepadat bulan-bulan kemarin, waktu orang sibuk merayakan Tahun Baru, Valentine, dan Imlek, kota cantik yang dikelilingi gunung Tangkuban Perahu itu tetap diminati wisatawan, dalam maupun luar negeri.
Di sudut butiknya, Rina sedang sendirian bersama laptopnya. Dipandanginya layar di depannya. Matanya lekat di layar itu tapi pikirannya jauh melayang. Ia menghela napas panjang. Butiknya sedang tidak ramai. Tapi, bukan itu yang meresahkan hatinya. Kembali Rina melirik layar laptopnya. Mungkin memang keinginannya yang terlalu gila bahkan untuk jaman super canggih sekarang ini, pikirnya sendiri. Ia ingin bertemu dengan Wen!

Rina tersenyum kecil. Setelah duapuluh tahun tak pernah bertemu bahkan mengingat Wen, sekarang ia tiba-tiba malah ngebet pingin bertemu dengan lelaki itu. Wen, lelaki lugu, kakak kelasnya di SMP. Wen yang berwajah imut. Wen yang… aah… Rina tak sanggup melanjutkan bayangan di kepalanya sendiri. Sejenak, ditopangnya dagunya dengan telapak tangannya.

Entah kenapa, akhir-akhir ini benak Rina hanya dipenuhi dengan Wen, Wen, Wen, dan Wen! Padahal, harus diakui, dalam kurun waktu dua puluh tahun ini tidak sedikit pun ia ingat kembali akan Wen. Begitu banyak lelaki dalam hidupnya, untuk apa juga ia mesti mengingat masa lalunya itu. Namun sekarang, ada yang kemudian selalu menggelitik relung kalbunya, membuatnya mau tak mau mengingat lelaki itu. Entah bagaimana awalnya, Rina juga tidak mengerti.

Sejak Natal tahun lalu Rina berharap bisa bertemu Wen, yang entah di mana berada. Rina sibuk mencari di facebook-nya. Namun, hasilnya nihil. Melalui situs jejaring sosial yang ajaib itu Rina sudah bertemu dengan teman-teman lamanya bahkan sampai pada teman SD-nya. Beberapa teman semasa SMP sudah ada di friendlist-nya. Tapi, tak juga Rina bisa menemukan Wen.

Rina berharap ada keajaiban buatnya di hari Natal. Nyatanya, Natal dan Tahun Baru berlalu, Wen tak juga bisa diketemukannya. Rina tak putus asa. Kembali ia berharap semoga ada keajaiban di saat Imlek, mengingat Wen seorang Tionghoa. Agak aneh dan tidak nyambung memang tapi Rina mengabaikan akal sehatnya. Aku ingin sekali ketemu Wen, aku ingin sekali ketemu Wen! Itu yang terus menerus dibisikkan di kepalanya.

Imlek berlalu. Lagi-lagi Rina harus kecewa. Ia tak kunjung bisa menemukan Wen. Bahkan sampai dengan Valentine kemarin. Valentine, yang kata orang hari penuh keajaiban kasih sayang, nyatanya hanya mitos. Setidaknya buat Rina saat itu karena ia tetap tidak bisa menemukan Wen di hari Valentine.

Kembali Rina menggeser-geserkan kursor laptopnya dengan jemu. Heran, sekian banyak orang di masa lalunya bisa dijumpainya hanya dengan satu kali klik. Tapi kenapa yang satu itu tak dapat ditemukannya! Rina menggeram sendiri dalam hati.
“Kenapa atuh, Rin?”
Rina terkaget-kaget karena teguran Sisca barusan. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Sisca.
“Nggaaak, hehehe… biasa, inet lelet!” Rina buru-buru beralasan, dan pura-pura sibuk dengan laptopnya.
“Aku mau ngirim barang nih, kamu ikut nggak?”
“Ng… nggak ah, bawa’in oleh-oleh aja… hihihi…!”
“Huh!” Sisca memajukan mulutnya, sambil berlalu.

Rina memandangi Sisca pergi sampai si hitam manis itu menghilang di balik pintu dan meninggalkan bunyi dentingan lonceng kecil di pintu butik mereka. Segera, ia kembali ke laptopnya lagi. Ah, jangan-jangan aku ini lagi sibuk mikirin suami orang, Rina menepuk jidatnya sendiri. Sekian lama waktu berlalu tidak mustahil Wen sudah punya istri bahkan anak-anak yang manis dan lucu. Selintas berkelebat di benak Rina bayangan Wen beserta anak dan istrinya. Rina menelan ludah pahit. Aku sendiri yang tergila-gila. Wen mungkin malah sudah lupa sama aku. Rina menatap lemas pada layar laptopnya.

Sambil menghela napas berat ia mulai mengetik.
-    Pengen ketemu titik titik
Rina mengklik ikon share. Status yang alay sebetulnya, pikir Rina sendiri. Tapi, Rina tak dapat menahan diri untuk mengungkapkan keinginannya bertemu Wen. Hanya saja, ia terlalu malu untuk menuliskan nama Wen di statusnya.

Tiba-tiba:
-    Aiiih, pengen ketemu sapa sih???
Itu Lisa, teman karibnya di SMP. Rina ngakak sendiri, melihat ada juga yang peduli pada status gak jelasnya.
-    Ada ajah! :p Eh, aku inbox yaa…
-    Manggaaaa….

Rina buru-buru membuka message-nya.

-    Lisa, jangan ngakak ya… Masih ingat sama Wen, nggak?-
-    Wen? Oo.. Wen SMP?? Ya masih laaa…. Ngapa? –
-    Qeqeqe…. Jangan ngakak lagi… Janji ya! –
-    Iya! Ngapa sih? –
-    Aku tiba-tiba pengeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeen banget ketemu sama Wen…-
-    Bwahahahahahaha…. *sori, ga tahan* Udah tobat ya? Mo minta maap??? –
-    Grh…! Ga usah gitu la yaa…>:O Aku tiba-tiba teringat aja… pengen ketemu…. –
-    Emang kamu udah add dia? –
-    Emang ada di fb????????? –
-    Ya ampyuuuuun! Ada laaa…!!! Cari aja: wendy wu. *dung!dung!dung!* –
-    HAAAAAAA!!!!!! Ya ampyuuun!!? Wendy Wu???????? Sejak kapan dia pake nama itu?? pantesan aku cari sampe pingsan ga dapat-dapat!!!! -
-    Ya, udah, cari aja sana… -


Buru-buru Rina mengetik nama “Wendy Wu” di kotak search-nya. Pantesan nggak  ketemu juga! Gerutu Rina dalam hati. Rina hanya tahu nama kecil Wen. Sama sekali tak terbayangkan olehnya Wen akan berganti nama dan bahkan memakai nama marganya. Dan, Rina juga baru menyadari bahwa ia sama sekali tak tahu apa marga Wen.

Dengan penuh harap, Rina mengamati bagaimana mesin pencari di facebook itu bekerja. Aduuuh, dia masih ingat nggak ya, sama aku? Rina menggigit bibirnya dengan cemas.
Di depannya sekian banyak nama “Wendy Wu” muncul. Yang mana satu? Pikir Rina kebingungan. Rina mencoba nama yang pertama. Dengan tak sabar, ditunggunya sampai layar laptopnya menunjukkan profile picture. Ineet, cepatlaaah…! Rutuk Rina dengan tak sabar.

Dan, pelahan-lahan layar di laptop itu menampakkan sebentuk foto yang agak kurang jelas menurut Rina. Tapi, memang itu foto seorang lelaki, putih, pasti Tionghoa, agak gemuk, berkaca mata hitam, dengan kaus abu-abu. Keren!

Ini Wen??? Rina terbelalak sendiri di depan laptopnya. Dahinya langsung berkernyit. Didekatkannya mukanya ke layar laptopnya. Ini Wen??? Kembali ia bertanya sendiri dalam hatinya. Sudah dua puluh tahun ia tak bertemu Wen. Terakhir yang ia tahu Wen adalah seorang remaja lugu. Imut tapi dingin.  Dan, tampan, bisik Rina sendiri dalam hati. Lamunannya langsung menerawang jauh. Dengan masih tak percaya dipandanginya foto di depannya itu.

“Hm… dia memang cakep!” Rina tak bisa menahan senyum di bibirnya.
Cepat-cepat ditelusurinya info tentang Wen, atau orang yang disangkanya Wen itu. Benar, lahir di Bagansiapiapi tanggal sekian sekian! Tak salah lagi! Ini pasti Wen. Rasanya tidak mungkin ia mengenal orang lain bernama Wen yang lahir di Bagansiapiapi.

Kembali Rina menelusuri data itu. Kelihatannya Wen jadi orang sukses. Ia kuliah di Jakarta dan kemudian kerja di Singapura. Wow! Hebat amat! Pikir Rina sedikit iri. Kemudian, Rina teringat satu hal. Sejenak ia menahan nafas. Aku harus siap, seandainya… seandainya ia married. Pria keren seperti Wen, tidak mungkin lambat menikah. Sesaat Rina menghentikan tangannya. Ia sedang menghitung, apakah ia akan kuat menerima kenyataan. Intip – tidak – intip – tidak. Oumaigaat! Dilihat enggak ya! Kembali Rina menarik napas panjang.
Dengan berdebar-debar Rina menggeserkan kursornya. Dan, Rina terhenyak akan apa yang dilihatnya: single.

Rina terbelalak sendiri! Single?? Masak sih?? Single?? Antara senang dan tak percaya, Rina mengamati enam huruf di depannya itu. Wen’s still single!!!
“Yess!! Woohoo!!” Rina menjerit kegirangan.
Setelah beberapa saat, barulah Rina berhasil menenangkan diri. Ah, kali aja dia menyembunyikan statusnya, pikir Rina. Tapi, kalau Wen belum berubah, rasanya, bukan tipe Wen, berbohong tentang dirinya.
Dan, masih ternganga dengan layar di depannya, Rina meng-klik ikon send request.

***
Informasi rinci tentang novelku ini ada di sini ya...

Pekanbaru, 
Agnes Bemoe

Friday, 5 July 2013

RUPA-RUPA (RR): From The Best Teacher...

July 05, 2013 2 Comments
I'm officially 45. It's another 25 with uric acid :D


Waktu ulang tahun kemarin (15 Juni 2012), aku menerima banyak ucapan selamat dan doa. Semuanya aku hargai. Ucapan dan doa dari teman, sahabat, kenalan dan semuanya itu adalah perpanjangan rahmat Tuhan.

Di antara ucapan-ucapan selamat itu ada yang membuatku lama terdiam, tercenung, seperti tidak bisa memjakkan kaki di lantai (aduh, lebay nggaksih...)

Ucapan itu dari mantan muridku, namanya Ryan Ou. Aku pernah menjadi gurunya di kelas I dan III IPA di SMA Santa Maria Pekanbaru. Anaknya baik, rajin, menetapkan standar yang tinggi untuk dirinya, bertekad kuat, ramah, sopan. Itu yang kurasakan selama menjadi gurunya. Sekarang ia menetap di Amerika.

Yang Ryan tulis adalah:
Happy Birthday, Miss. So proud of you, from great teacher becoming great author...

...
...
...
Seperti kubilang, sejenak bumi berhenti.
It's a long windy road. And when at last somebody notices, somehow you are willing to take steps forward...

***

Pekanbaru, 6 Juli 2013
Agnes Bemoe

Me, and My Poor Voice

July 05, 2013 0 Comments
Kalau lagi mood (yang mana jarang sekali), saya membuat lagu juga lho... (so, siapa yang tanya?)

Tadi pagi iseng membongkar-bongkar Sound Cloud, saya menemukan yang berikut ini:

1. Malaikat Pelindungku

Lagu ini sudah lama sekali aku buat. Mungkin sekitar tahun 1995 atau 1996. Waktu itu aku di Duri. Ada seorang romo yang suka membuat lagu dan dikirim ke Majalah Mekar (majalah rohani anak milik Keuskupan Padang).

Aku tertantang untuk membuat lagu. Ada dua yang kubuat. Ternyata dua-duanya dimuat di Majalah Mekar. Satu lagu yang berjudul "Ke Gereja" malah dijadikan semacam "lagu wajib" yang diajarkan di TK-TK Yayasan Prayoga Riau.

Yang sempat aku rekam hanya lagu ini, "Malaikat Pelindungku"

Malaikat Pelindungku slalu di sisiku
Setia menjagaiku, kemana langkahku
Kuberjanji hidup suci turuti firmanMu
Malaikat jagalah jiwaku sampai ke dalam surga
...

2. Bunda

Lagu ini kuciptakan 10 Maret 2012.

Tidak ada sebab khusus. Tiba-tiba saja ada nada-nada yang bermain di kupingku, lalu ada kata-kata, lalu orek sana orek sini, jadilah lagu... hehehe...

Teduhmu selalu siram langkahku
Senyummu pulihkan aku dari semua resah gundah
Ceriamu smangat hidupku
Ajarku kuat langkahku
Tiada pernah aku kan lupa belaian kasihmu

Reff:
Oo Bunda, sayap jiwaku
Ajarku terbang tinggi
Oo Bunda tak kan pernah sudah
Doaku untukmu

Bunda,
dekatmu selalu
Ingin kusandarkan hidup
Ooo Bunda, tak kan pernah usai
Peluk cinta dariku untuk Bunda
Mentariku

Oo Bunda, cahya jiwaku
Antarku terbang tinggi
Ooo Bunda tak kan pernah usai
Peluk cinta dariku untuk Bunda
Mentariku
...

3. Mazmur 23

Kalau lagu ini kuciptakan 28 Juli 2012.
Sebetulnya, melodinya sudah lama sekali terngiang-ngiang di telingaku. Tapi, belum ketemu lirik yang pas. Rupanya pas untuk Mazmur 23... hehehe...

Well, itulah hasilnya kalau saya "tersambar petir" hehehe... Enjoy ya...

***

Pekanbaru, 5 Juli 2013
Agnes Bemoe


Sunday, 30 June 2013

TULISAN PERTAMAKU 1 JULI 2010: PITA SI PIPIT KECIL

June 30, 2013 2 Comments
 Tanggal 1 Juli 2010 secara resmi saya bukan lagi seorang guru. Saya memulai hari itu dengan menulis. Inilah yang saya tulis pada hari itu:


PITA, SI PIPIT KECIL

Pita, seekor burung pipit kecil, sedang bermain dengan riang, ketika dilihatnya Kishin, si Raja Hutan Kumalama dari kejauhan.

Kishin ternyata sedang bermain bersama anak-anaknya, sambil menikmati hangatnya matahari. Pita tertarik untuk mengamati mereka. Ia berhenti di sebuah dahan yang agak tinggi, dan mulai mengamati bagaimana bahagianya Kishin dengan anak-anaknya yang lucu.

Namun, tiba-tiba Pita melihat sesuatu yang lain di balik semak-semak. Nipa, seekor ular hitam sedang mengintip, hendak memangsa salah satu anak Kishin. Pita mencoba berteriak-teriak untuk memperingatkan Kishin, tapi Kishin nampaknya tidak mendengarkannya, karena ia begitu asyik bermain dengan anak-anaknya.

Pita semakin cemas, karena Nipa dengan matanya yang buas dan licik semakin mendekat. Ia mencericit ke sana ke mari tak menentu, namun Kishin tak juga mendengar. Kemudian, terpikirlah oleh Pita suatu akal. Maka, tanpa pikir panjang, Pita terbang, meluncur dengan cepat, mendekati Kishin, dan kemudian secepat kilat mematuk ekor sang Raja sekeras-kerasnya.

“GGGRRRAUUUNGG!!!” aum Kishin karena kagetnya. Ia langsung tersentak, karena merasa ada yang menggigit ekornya.

Ternyata, auman Kishin yang begitu keras itu ikut juga mengagetkan Nipa, si ular hitam. Kepalanya sontak terangkat, dan saat itulah Kishin menyadari ada bahaya di sekitarnya: Nipa, si ular hitam!
“Nipa! Menjauh dari anak-anakku!” geram Kishin.
Tanpa berkata sepatah pun, Nipa beringsut menjauh. Kishin dan anak-anaknya selamat dari ular hitam yang jahat itu.

Di atas padang rumput, Kishin melayangkan pandangannya, mencari tahu siapa yang telah menggigit ekornya keras-keras tadi. Dari kejauhan ia melihat seekor burung pipit sedang terbang sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
***



English Version:
PITA, THE LITTLE SPARROW

Pita, a little sparrow, was flying to the left and right gaily, as she saw Kishin, the King of Kumalama Jungle from a distance. Kishin was playing with his adorable children under the warm sun. Pita was interested to see them. She stopped at a rather high branch, and began to watch how happy Kishin and his children were.

Suddenly, Pita saw something behind the bushes. It was Nipa, a black snake. He was spying, intended to prey on one of Kishin’s children! Pita tried to yell to warn Kishin, but The King seemed not to listen. He was so engrossed in playing with his children.

Pita became worried, as Nipa, with his savage cunning eyes, got even closer. Pita screamt loudly, but Kishin didn’t hear her voice. Pita got an idea. Without taking too much time, Pita flew, glided swiftly, approached Kishin, and then pecked the King’s tail at lightning speed.

"GGGRRRAUUUNGG!" roared Kishin. He immediately snapped, because he felt something biting his tail.
Kishin's roar was so loud, that it came to shock Nipa, the black snake. Nipa’s head was torn up, and that's when Kishin realized there was a danger: Nipa, the black snake!
 "Nipa! Away from my kids!" growled Kishin.
Without saying any word, Nipa moved away. King Kishin and his children were safe from that evil black snake.

Above the meadow, Kishin cast his view to find out who had been biting his tail earlier. From a distance the King saw a sparrow flying with a little singing.


***
Tulisan ini dan beberapa tulisan selanjutnya kuposting di note fb. Tak sangka, cerita-cerita itu akhirnya terkumpul. Aku pun memutuskan untuk menerbitkannya secara indie melalui LeutikaPrio.

Buku "Pita, Si Pipit Kecil/Pita, The Little Sparrow" akhirnya resmi terbit 1 Desember 2010, bertepatan dengan hari ulang tahun Hans Christian Andersen.

Sila membaca informasi rinci tentang buku "Pita, Si Pipit Kecil/Pita, the Little Sparrow" di sini.

Pekanbaru, 1 Juli 2013
Agnes Bemoe

MEMBANGUN JEJARING DI BIDANG KEPENULISAN (BAGIAN 2 - SELESAI)

June 30, 2013 2 Comments
Di tulisan sebelumnya saya memaparkan tentang siapa saja yang potensial menjadi bagian dari jejaring kita. Berikut ini pemaparan sangat sederhana tentang bagaimana membangun dan merawatnya.

DIMANA, BAGAIMANA
Pada dasarnya jejaring bisa dibangun dimana saja. Namun, zaman sekarang ini penulis dipermudah dengan banyaknya media sosial. Penulis bisa mulai merangkai jejaringnya dari sana: milis, grup kepenulisan, page, blog, dan lain-lain.

Selain dunia virtual, tentu saja dunia nyata adalah tempat yang sempurna untuk mulai. Biasanya dalam event-event seperti peluncuruan buku, bedah buku, seminar, workshop, temu penulis, dll, kita bisa menemukan orang-orang yang tepat.

Tidak tertutup juga acara-acara lain yang tidak ada hubungannya dengan kepenulisan. Satu pengalaman pribadi saya membuktikan. Saya ikut dalam sebuah seminar mengenai pengembangan diri khusus untuk perempuan. Acara itu dibuka oleh istri Gubernur Riau, Ibu Septina Rusli Zainal. Saya memberanikan diri untuk memperkenalkan diri. Mengetahui saya penulis dan sedang berusaha menerbitkan kumpulan cerita tentang perempuan Riau, Ibu Septina memberikan nomor telepon Pusdatin Puanri (Pusat Data dan Informasi Perempuan Riau). Kerja samanya memang belum berhasil. Namun, tidak berarti juga akan gagal terus. Tidak tertutup kemungkinan di masa depan, saya rasa, untuk menjalin kerja sama lagi.

KUMPULKAN, PELIHARA, SARING
Dalam hal ini, penulis perlu pro-aktif: menampilkan karya, memperkenalkan diri, berbaur dengan penulis lain.
Secara teknis, penulis akan butuh daftar alamat, nomor telepon, dan atau alamat email yang teroganisir. Begitu kenal dengan seseorang, langsung simpan alamat kontaknya, langsung tandai pengelompokannya (penulis, editor, illustrator, dll. Kumpulkan sebanyak mungkin teman. Jangan dahulu disaring, apalagi menyaring dengan ukurang suka atau tidak suka pada orang tersebut.

Dalam hal mengumpulkan ini, lagi-lagi saya belajar dari pengalaman pribadi (maaf, referensi saya sejauh ini masih dari pengalaman pribadi). Waktu menjadi pimpinan sebuah sekolah saya memang memiliki kartu nama. Waktu jadi penulis, saya sama sekali tidak merasa perlu punya kartu nama seperti orang kantoran. Ternyata, saya salah. Ketika mengikuti kegiatan AFCC (Asian Festival of Children’s Content), saya sempat kikuk ketika dimintai kartu nama. Saya tidak punya! Dari situ saya berpendapat, tidak peduli anda penulis kecil, besar, pemula, kawakan, kartu nama penting.

Bila sudah berkenalan sebaiknya kita memelihara relasi yang sopan dan wajar. Tidak terlalu mengejar sampai terkesan merepotkan tetapi jangan juga terlalu dingin, seolah-olah hanya berhubungan bila perlu. Momen standar dalam persahabatan/pertemanan hendaknya diingat, semisal ulang tahun, keberhasilan menerbitkan buku, perayaan keagamaan, dll.

Catatan bagi saya pribadi: saya menghindarkan diri melihat orang lain HANYA DAN SEBATAS kepentingan kepenulisan. Bagi saya, yang sudah saya kenal adalah benar-benar teman/sahabat. Walaupun ia sampai detik ini yang bersangkutan tidak memberikan keuntungan apa pun buat saya, saya akan tetap dengan senang hati bertemannya.

Berikutnya, walaupun kita seharusnya mengumpulkan teman sebanyak-banyaknya, jangan lupa mengevaluasi dan menyaring pertemanan. Standar evaluasinya bisa bermacam-macam. Bagi saya pribadi, bila sudah terbilang tahun tidak lagi saling berhubungan, maka biasanya saya akan menyudahi pertemanan. Attitude juga salah satunya menjadi pertimbangan saya dalam memelihara sebuah pertemanan.


RAJUTAN JEJARING YANG MELEBAR
Pelan tapi pasti, kita melihat bahwa kita mengenal lebih banyak orang. Orang itu tidak jarang membantu kita mengenal orang lain lagi, dan begitu seterusnya. Di lain pihak, kita pun menjadi perantara bagi orang lain untuk saling kenal dan bekerja sama. Pendek kata, jejaring yang kita rajut melebar dan menjadi dua arah.

Sekian.

***
Ini adalah tulisan yang menginspirasi saya menuliskan artikel ini: Membangun Jejaring di Bidang Pendidikan

Pekanbaru, 1 Juli 2013
Agnes Bemoe

MEMBANGUN JEJARING DI BIDANG KEPENULISAN (BAGIAN 1)

June 30, 2013 11 Comments
Berhenti sebagai guru saya menyangka beberapa ilmu yang saya pelajari tidak akan terpakai lagi, contohnya Manajemen Persekolahan, khususnya membangun jejaring. Ternyata saya keliru.
Saya baru tiga tahun menjadi penulis. Dalam rentang itu saya menyadari bahwa ternyata sebagai seorang penulis saya pun perlu membangun jejaring.

Berikut sedikit refleksi saya mengenai perlunya jejaring buat penulis (baca: saya). Catatan: mungkin langkah ini tidak terlalu berguna buat yang lain, namun, terbukti sangat membantu buat saya.





DARI MANA DAN KEPADA SIAPA
Penulis tidak mungkin bisa sendirian dalam proses menulis dan kemudian menerbitkan bukunya. Sebaliknya, penulis butuh banyak pihak untuk membantunya. Bagan berikut ini merupakan rekaan saya tentang kepada siapa saja penulis harus membangun jejaringnya.

1.    PENULIS LAIN
Penulis lain, entah penulis lama ataupun baru, merupakan sumber belajar bagi penulis. Dari penulis lama, kita mendapatkan pengalamannya yang mungkin bisa sangat unik dan spesifik. Dari penulis baru kita belajar ide, semangat, cara pandang baru yang dibawanya.

Kita bisa mengenal penulis lain secara perseorangan. Namun, di zaman media sosial seperti sekarang ini kita bisa mengikuti grup-grup kepenulisan.

2.    EDITOR
Sebaiknya tetap membangun hubungan baik dengan editor, entah naskah kita ditolak, atau diterima. Jangan sampai menjadikannya sesuatu yang personal bila naskah yang kita kirimkan belum diterima oleh editor. Memelihara hubungan baik dengan editor jauh lebih sehat daripada mengelus ego kita sendiri.

Lebih baik juga kalau hubungan dengan editor tidak bersifat “one night stand” (maaf, apa ya istilah yang patut?). Maksud saya, jangan mentang-mentang naskah sudah terbit lalu tidak lagi ada tegur sapa, atau bahkan ucapan terima kasih.

3.    PENERBIT
Penerbit biasanya tampil dalam bentuk editor. Tetapi ada juga penerbit yang menerapkan pola  “one man show” (tentunya ini adalah hasil pemikiran matang, dengan meliat situasi dan kondisi penerbit), pemiliknya bertindak sebagai head-editor sekaligus penghubung dengan penulis.

Bicara penerbit, bisa juga berarti penerbit indie. Banyak yang meragukan kualitas penerbit indie. Saya tidak akan membahas masalah itu. Namun, menurut saya pribadi, membangun relasi dengan penerbit indie merupakan suatu langkah yang positif.

4.    ILUSTRATOR
Tidak semua buku membutuhkan illustrator. Kebetulan, saya sendiri menulis buku anak yang pasti membutuhkan ilustrasi yang bagus. Mengenal illustrator dan menjalin silaturahmi dengan mereka terbukti membuat buku saya kelihatan lebih indah daripada yang saya bisa bayangkan.

5.    PEMBACA POTENSIAL
Pembaca potensial adalah orang-orang yang saya anggap akan membeli dan membaca buku saya: teman lama, kenalan baru, saudara, anggota grup tertentu, dll.

6.    CALON PEMBACA POTENSIAL
Saya menemukan calon pembaca potensial dari jejaring sosial. Mereka bukan teman lama, bukan kenalan baru, bukan saudara, atau bukan anggota grup, tetapi tahu-tahu saya menemukan komentar mereka tentang buku saya di Twitter, misalnya.

7.    LAIN-LAIN
Enam yang pertama adalah yang sudah saya jalani dan alami dalam pengalaman saya yang masih seumur jagung ini. Saya yakin, masih banyak pihak yang perlu dikenal oleh penulis. Katakanlah misalnya, production house. Mungkin belum, dalam tahapan saya. Tapi saya mengikuti pengalaman seorang penulis yang naskahnya diangkat ke layar perak melalui sebuah production house.

Yang lain, yang bisa saya pikirkan, adalah para akademisi (pakar) dalam bidang kepenulisan. Ilmu yang didapat dari para akademisi saya yakin memperkaya dan memperdalam seorang penulis.

Yang satu ini adalah tambahan dari seorang kawan penulis, ibu Naqiyyah Sam, ketika tulisan ini saya posting di suatu grup kepenulisan di fb. Menurut beliau Media Massa Lokal adalah pihak yang perlu digandeng. Bila mempunyai buku yang baru terbit, jangan segan membuat press release-nya dan mengirimkannya ke media massa lokal. Terima kasih Bu Naqiyyah!

***
(Bersambung)

Ini adalah tulisan yang menginspirasi saya membuat artikel ini: Membangun Jejaring di Bidang Pendidikan

Pekanbaru, 1 Juli 2013
Agnes Bemoe

Sunday, 23 June 2013

DENGAN MENGELUH DAN MERENGEK, BISAKAH?

June 23, 2013 2 Comments
Entah kenapa, saya lagi terganggu banget dengan postingan (di grup) atau status di media sosial dari beberapa penulis yang isinya full rengekan dan keluhan.

  • Enggak ada waktu
  • Sibuk ngurus anak
  • Cuma punya HP (hellow? Cuma??). Eh, malah ada yang pernah ngeluh karena cuma pake kompie dan bukan leppie... *pingsan deh!
  • Warnet jauh
  • ...
  • ...
  • ...
Seharusnya sih saya ndak usah peduli. Nah ya itu, entah kenapa saya tergoda untuk peduli. Paling tidak, dari itu saya mau membangun pondasi untuk saya sendiri :p

Menurut saya, masalah biasanya dihadapi dengan dua cara: FIGHT atau FLY. Kelihatannya ada yang memilih jalan lari dari masalah, kemudian membangun setinggi-tingginya tembok pembenaran berupa keluhan dan rengekan. Lebih gampang, tinggal tunjuk hidung ke pihak lain sebagai penyebab. Dan dengan demikian, kita terbebas dari tanggung jawab atas kegagalan kita. So typical! *sigh

Yang membuat saya lebih heran lagi, ternyata status mapun postingan itu malah mendapat approval! Banyak 'elusan', 'puk-pukan', dan lain-lain. Yang jelas, tidak ada koreksi sama sekali. (Mungkin segan ya...)

Amboi! Teringat beberapa ajang cari bakat atau kompetisi di stasiun televisi. Semakin "menderita" kisah hidup si calon artis, semakin banyak SMS yang dia dapatkan.Semakin dia mewek-mewek, semakin deras pujian yang didapatkan. Hadooh!

Apa iya mentalitas seperti ini yang mau dipupuk?

Di sisi lain, saya punya kenalan beberapa penulis. Saya sering stalking di facebook mereka. Ups! Ngaku! Mengapa? Karena setiap kali membaca status yang mereka tulis energi positif saya seperti charging.

Isi status atau postingan mereka biasanya:
  1. Kegiatan sehubungan dengan kepenulisan (buku terbit, ikut seminar, atau malah jadi pembicara, dll)
  2. Ide
  3. Tanggapan atas isyu
  4. Sering malah isinya adalah humor yang segar.
Intinya, jauuuuuuuuuuuhhhhhhhh..... sekali dari mengeluh dan merengek! Dan penulis-penulis yang saya maksud di atas itu malah sudah bejibun bukunya, sudah wara-wiri jadi pemateri, pokoknya tinggi di atas awan!

Sempat terpikir, apakah di awal perjalanan mereka, mereka juga perengek dan pengeluh ya? Sepertinya kok TIDAK. Hlo, kok saya seyakin itu? Iya sih, pasti ada saat mereka mengeluh. Tapi, mengeluh dalam porsi yang wajar di tempat yang tepat, kayaknya. Berbeda dengan litani keluhan dan rengekan yang diumbar kemana-mana.

Saya yakin, mbak-mbak penulis yang saya stalker-i itu lebih memilih FIGHT ketimbang merengek. Kalau tidak, sulit rasanya menumbangkan batu karang tantangan di dunia kepenulisan. Bener nggak sih, embak-embak? Hehehe...


Well, yang mbaca mungkin mbathin: alah! sok! memangnya dia siapa? nggak pernah ngeluh? sudah hebat? huh!! --> Gak papa, I got that a lot! :p Yang penting, tulisan ini mau saya jadikan reminder buat saya sendiri. Ke depan, puasti ada banyak sekali masalah. Sejauh yang bisa saya usahakan, saya mending memilih FIGHT.

See ya!

Pekanbaru, 23 Juni 2013
Agnes Bemoe

Thursday, 6 June 2013

BOOKS THROUGH MY EYES (BTME): ANAK DAN ANJING YANG TAK BIASA

June 06, 2013 2 Comments
Judul Buku    : One Dog and His Boy
Penulis          : Eva Ibbotson
Ilustrator       : Sharon Rentta
Penerbit        : Marion Lloyd Books (An Imprint of Scholastic Children’s Book), Euton House, 24
                      Eversholt Street London, NW1, 1 DB, UK
Genre            : Fiksi Anak
Jumlah Halaman    : 271halaman



Kisah anak dan anjingnya sebenarnya kisah biasa.
Eva Ibbotson membuat cerita ini jadi luar biasa. Tidak heran bila Frank Cottrell Boyce memujinya:
“Blows me away… It takes a sweetly old fashioned story –boy wants dog- and makes it feel crispy, new and even edgy.”
Boyce benar belaka.

Buku ini menceritakan tentang Hal, anak keluarga kaya yang ingin punya anjing. Orang tuanya melarang karena kawatir rumah mereka dirusak oleh anjing. Ketika berulang tahun, Hal mendapatkan seekor anak anjing. Hal sudah terlanjur senang, sampai ia tahu orang tuanya menipunya. Anak anjing itu hanya pinjaman. Tidak bisa dimilikinya. Kemarahan Hal berubah menjadi kenekatan. Ia berusaha mendapatkan kembali Fleck, walaupun untuk itu ia harus membobol pet-shop, mencuri Fleck, lalu kabur!

Eva Ibbotson sangat piawai merangkai cerita. Tidak ada satu detil pun yang hanya hiasan semata. Semuanya punya cerita. Perhatikan bagaimana sebuah flanel biru milik Fleck yang di awal cerita kelihatannya hanya menjadi manian ternyata menjadi penentu di bagian akhir cerita.

Plot berjalan cepat dan mantap. Benar kata SCHOOL ZONE: “An exquisitely crafted book with not a single wasted word.”

 Setiap bagiannya menjanjikan petualangan yang seru dan menyentuh.  Ibbotson juga tidak kehilangan selera humornya. Humor yang jauh dari slapstick. Contohnya adalah bagaimana Darth dan Terminator, dua pitbull-mixed yang garang, tidak dapat menahan diri untuk menggoyangkan ekornya bak anak anjing di depan Otto, St. Bernard teman Hal dan Fleck.

Namun, sepertinya Eva Ibbotson tidak ingin menyajikan sebuah petualangan saja. Melalui buku ini, Ibbotson seolah-olah ingin menyentil persepsi keliru para orang tua tentang menyayangi anak. Orang tua sering menyayangi anak dengan ukurannya sendiri, dan bukan dari sudut pandang anak. Dari kesenjangan itulah kisah ini bermula.

Dari sudut bentuk cerita, semenjak “Lima Sekawan”, saya belum melihat lagi novel anak yang dikemas serius namun ramah anak beredar di Indonesia. Dengan “serius” maksud saya adalah bukan versi gokil, versi diary dengan bahasa lisan tertulis, ataupun versi illustrated yang sekarang sedang digemari oleh anak-anak Indonesia.
Saya bermimpi ada penerbit yang berani menerbitkan novel pemegang The Sheffield Children’s Book Award dan The Red House Children’s Book Award ini. Saya yakin, bisa jadi alternatif yang menyegarkan.


 ***

Pekanbaru, 7 Juni 2013
Agnes Bemoe

Tuesday, 4 June 2013

Saya dan Warga Singapura

June 04, 2013 0 Comments
Waktu pertama kali ke Singapura tahun 2011 lalu, saya empet banget sama orang Singapura dan sempat berpikir ogah menjejakkan kaki lagi di negeri ini.

Saya sebel sama seorang sopir yang kami naiki dari pelabuhan. Dia tidak tahu dimana letak Merlion (!). Saya bilang, masak anda orang Singapur tidak tahu Merlion? Dia malah bilang dengan judesnya: saya ini sopir, bukan computer!
*pengen rasanya nyakar engkong satu nih!*
Hellow! Komputer nggak harus nyopir nganterin penumpang, dodol!!

Nah, kedua kalinya saya ke Singapur, ternyata saya dapat pengalaman berbeda.
Sebentar, waktu turun dari pesawat, sopir taksi memang dengan ketusnya sempat nanyak dengan sengaknya: “Cash only!!” *beugh!
Tapi, ternyata cuman bawang pritilan yang satu ini yang nyebelin. Selebihnya, oke kok :D

Bukti #1
Saya lagi jalan di jalan besar persimpangan dengan Lavender Street. Jalan bengong, karena nyari tempat antri taksi. Lama saya mondar-mandir kok gak kelihatan. Petugas hostel yang manis bilang, nggak jauh dari hostel, setelah bus stop, bisa antri taksi.

Di depan saya ada semacam gudang gitu. Ada petugas pembersih dan ada seorang security yang udah berumur. Pak Security ini mungkin merhatikan betapa linglungnya saya di jalan itu.
Dia mendekat dan tanya, saya mau cari apa. Setelah tahu kalau saya cari taksi, beliau jelaskan lagi bahwa menunggu taksi itu di Jalan Lavendernya bukan di jalan ini. Owalaaah… pantes!

Eh, ternyata, trus dia berbaik hati nyetopkan taksi. Dia bilang, kali aja sopirnya mau, karena pas berhenti lampu merah. Biarpun ternyata para sopir sangat patuh dan ndak ada yang mau, saya sangat MENGHARGAI bantuan dari bapak security ini. Baik sekali dia mau menolong saya yang o’on dan kebingungan.

Bukti #2
Salah satunya saya ndak mau naik MRT atau bus adalah karena saya ini o’on berat dalam hal angkutan umum. Salah satunya, nyari stasiun MRT Lavender aja gak nemu-nemu! Padahal udah dikasi penjelasan.
Nah, kali ini saya memberanikan diri nanyak sama seorang bapak-bapak yang pakaiannya rapi banget! Kalo disemprot ya terima nasib lah…

Eh, bapak yang perlente ini ternyata baik. Dia bilang menunjuk sebuah tanda dengan latar hijau sambil bilang, lain kali kalau melihat tanda itu, itu pasti stasiun MRT. Dia lalu malah ajak saya jalan bersama karena tujuannya sama.

Bukti #3
Supir taksi yang mengantar saya dari Novena Church ke National Library Building ternyata seorang katolik. Setahu saya, orang Singapura nggak suka berbasa-basi, apalagi ngobrol. Eh, bapak ini dengan sangat ramah malah menjelaskan tentang gereja-gereja katolik di Singapura. Beliau jelaskan tempat-tempatnya termasuk kelebihannya termasuk bagaimana kalau mau ke sana. Komplit!

Beliau juga jelaskan tentang kehidupan masyarakat katolik di Singapura. Andai aku ke Singapura untuk reportase umat katolik Singapura, wah, pasti buanyak info aku dapatkan dari bapak ini.
Ketika tahu aku akan ikut seminar, bapak ini (mungkin menyangka aku dari institusi) berinisiatif ngasi bon taksi ke aku. Katanya, supaya dapat penggantian. Aku terima aja. Aku anggap itu sebagai bentuk perhatian dari bapak itu.

Beberapa kali naik taksi, ternyata mereka nggak bermasalah seperti supir taksi yang aku temui tahun 2011 lalu.

Supir taksi yang nganterin aku ke bandara malah ngebantu banget. Dia tanya, aku naik pesawat di terminal berapa. Hah? Aku gak tau terminalnya. Aku cari-cari di tiket, gak disebutkan terminal berapa.
Bapak itu dengan sabar bilang, dibaca baik-baik, di terminal berapa. Trus, akhirnya, dia bilang mau mberhentikan taksinya dulu untuk bantu ngeliatkan (padahal di Singapura nggak boleh sembarangan mberhentikan mobil kan?)

Dia berhenti, trus bantu ngeliatin tiket. Informasinya memang nggak ada. Trus bapak itu bilang: dia akan memberhentikan saya di Terminal 2. Saya disuruh tanya di informasi, di terminal mana saya seharusnya berangkat. Kalau ternyata terminal 1 atau 3 maka tinggal naik Sky Train dari terminal 2. Bapak itu juga jelaskan bahwa tidak susah cari Sky Train.
Saya sudah nervous berat! Hadoohh!!! Paling gemeter kalo suruh naik angkutan umum! Secara, saya o’on berat!

Tapi, saya senang dengan pertimbangan bapak itu. Dari Terminal 2 ke Terminal 1 atau 3 tidak terlalu jauh, jadi saya tidak perlu terlalu repot.
Saya bilang, waktu datang saya turun di Terminal 2 sih. Bapak itu semakin yakin untuk menurunkan saya di Terminal 2.
Waktu udah nyampe, bapak itu bantu mengintipkan pengumuman tentang maskapai-maskapai mana saja yang turun di terminal itu. Ternyata Mandala di situ! Syukurlah!

Bukti #4
Di bandara. Sekarang saya bingung karena plang yang bertuliskan “MANDALA” nggak ada. Piye iki? Apa salah terminal ya?
Bolak-balik saya periksa, memang benar, Mandala di Terminal 2. Lalu, kenapa nggak ada plangnya? Trus, saya check-in dimana?

Lagi-lagi saya kena panic-attack!
Kalo salah, gimana. Kalo ndak bisa pulang, gimana?

Setelah muter-muter dan bolak-balik kurang lebih 2751 kali, tiba-tiba seorang gadis berseragam merah mendekati saya. Dia nanya, saya mencari apa. Setelah tahu saya mau naik Mandala, dia jelaskan bahwa untuk Mandala check-innya dilakukan di maskapai TIGER. (hadooohh…. Mandala, ngomong kek!)
Gadis itu juga mengarahkan saya ke counter 12, ke tempat early check-in. (Maklum, pesawat pukul 9 malam tapi saya sudah di bandara pukul 5 sore).

Urusan check-in akhirnya beres. Lega! Berkat bantuan gadis manis berbaju merah… :D


Pijetan (gratis) di Changi, sambil ngingat-ngingat orang-orang baik di Singapura :D

***
Baca juga:
Me, Shortlisted in SingTel Asian Picture Book Award 2013
My First International Debute: SingTel Asian Picture Book Award 2-13
Me and Singaporean Cuisine

Pekanbaru, 4 Juni 2013
Agnes Bemoe