NINO berjalan sambil
menghentak-hentakan kakinya dengan kesal. Air mukanya masam dan bibirnya
cemberut. Ia menyusuri halaman gereja meninggalkan papa dan mama di
belakangnya.
“Biar saja! Aku tak mau lagi ke
gereja bersama papa dan mama!” pikir Nino kesal.
Karena asyik dengan pikirannya
sendiri, tanpa sadar Nino menabrak seseorang. Ah, ternyata itu Frater Edu.
“Maaf, Frater!” Nino terlonjak
kaget.
Frater Edu tertawa.
“Kenapa, Nino? Sampai-sampai tidak
lihat jalan…”
Nino langsung cemberut lagi.
“Huh! Aku tadi dimarahi sama mama
dan papa! Padahal aku nggak nakal. Aku cuma
ngobrol sama Hans.”
Nino masih melanjutkan omelannya
dengan panjang lebar ketika dilihatnya Frater Edu malah asyik bersiul-siul dan
bernyanyi-nyanyi sendiri dan bukannya mendengarkannya!
“Ih! Frater! Kok aku dicuekin sih!”
Nino bertambah kesal!
Frater Edu menoleh dengan wajah
kaget.
“Eh, kamu lagi bercerita ya? Wah,
Frater nggak dengar….”
“Ya iya lah! Habis, Frater malah
nyanyi sendiri!” sungut Nino. Frater Edu
tertawa.
“Nino, apa yang kamu rasakan tadi
waktu Frater tidak mendengarkan kamu bercerita dan malahan asyik bernyanyi
sendiri?”
“Ih, Frater! Masih nanya lagi!”
“Kamu pasti jengkel, ‘kan? Tidak
enak dicuekin, ‘kan?” Frater Edu terdiam sejenak. “Nah, begitu juga perasaan
Tuhan Yesus kalau kamu pergi ke rumahNya dan malah bercerita sendiri dengan
temanmu, dan bukannya mendengarkan Ia berbicara…”
“Tapi, Frater, aku tadi ngobrolnya
pas misa belum mulai kok….”
“Waktu misa belum mulai itulah saat
untuk tenang. Itu namanya saat hening. Kita duduk dengan tenang dan menysukuri
berkat dari Tuhan yang sudah kita terima.”
“Ooh… aku kira, karena belum mulai
kita masih boleh ngobrol….”
Frater Edu tertawa.
“Tidak. Sebaliknya, kita siapkan
hati kita dengan suasana tenang.”
Nino mengangguk-angguk. Sementara
Frater Edu melanjutkan.
“Selain sebelum misa, kita juga
harus hening sesaat sebelum pernyataan tobat. Kita diam sejenak menyadari dosa
dan kesalahan kita. Kalau kita benar-benar hening dan bertobat, kita bisa
merasakan betapa baiknya Tuhan Yesus itu kepada kita yang berdosa ini.”
“Pada saat sebelum doa pembukaan kita juga
harus hening. Di sini kita boleh menyampaikan ujud pribadi kita supaya
disatukan dengan doa pembukaan misa. Senang kan, kalau doa kita bisa disatukan
dengan doa seluruh umat di dalam misa?”
“Aduuh! Aku tak pernah berdoa waktu
doa pembukaan!” Nino menepuk jidatnya.
“Nah, sekarang, pergunakanlah
kesempatan itu untuk berdoa. Oke?”
Nino mengangguk-angguk.
“Lalu, setelah mendengarkan bacaan
pertama, bacaan kedua, dan setelah kotbah dari pastor kita juga harus hening.
Kita resapkan dalam hati apa yang tadi Tuhan katakan melalui bacaan-bacaan
tadi. Terakhir, setelah menerima komuni kita juga harus hening. Tujuannya adalah untuk bersyukur
atas Komuni yang baru saja disambut. Kita juga berdoa untuk membiarkan Tuhan
Yesus berbicara dalam hati dan siap melakukan kehendak-Nya.”
“Eh, Frater, bukannya setelah komuni
biasanya ada nyanyian? Kapan heningnya?”
“Benar. Saat hening ini bisa diganti dengan
sebuah madah syukur atau nyanyian pujian. Nah, bisa saja kita hening sesudah
ajakan “Marilah berdoa” pada Doa Sesudah Komuni. Jelas, Nino?”
“Ya,
ya, ya! Sekarang aku paham. Harus hening dan tak boleh ngobrol!”
Frater
Edu tertawa.
***
Pekanbaru,
8 November 2011
Agnes
Bemoe
Terinspirasi oleh tulisan Onggo Lukito tentang “SAAT
HENING” di http://www.facebook.com/groups/162150777177813/doc/230207130372177/
No comments:
Post a Comment