Naik pesawat bukan hal
baru buat saya. Selama ini saya naik pesawat tanpa ada masalah. Makanya, saya
heran dengan kejadian terakhir yang saya alami ketika mau ke Jakarta, 25 Maret
2015 lalu.
FYI saya berangkat
dengan kondisi super excited. Memang saya ke Jakarta untuk berobat tapi jujur
saya malah tidak mengingat sama sekali tentang pengobatan (Sila baca Berobat ke Jakarta). Karenanya, tidak ada
sedikitpun rasa takut hinggap di pikiran saya. Saya malah senang akan bertemu
dengan adik.
Ketika sudah di pesawat
saya duduk baik-baik seperti biasa, mengucapkan doa, lalu membuka-buka majalah
pariwisata yang disediakan (semua yang saya lakukan normal-normal saja). Begitu
pesawat mau take off, saya tutup
majalah pariwisata yang tadi saya baca lalu melihat ke luar.
Detik itu jugalah
terror itu datang.
At
a sudden. Dalam satu kedipan mata. Tanpa aba-aba. Saya
menoleh ke langit-langit pesawat. Langit-langit seakan menyempit. Napas saya
sesak. Aduh, saya sulit menggambarkannya kembali. Saya ingin lari keluar dari
pesawat.
Tenang, tenang, tenang,
kata saya dalam hati. Kalau ada apa-apa, peluk saja bapak yang ada di sebelahmu
(di sebelah saya duduk seorang bapak-bapak). Saat itu saya butuh pikiran gila
ini untuk mengembalikan kewarasan saya.
Segera saya meraih
majalah pariwisata yang tadi saya letakkan. Saya baca tiap kalimatnya, huruf
demi huruf, dengan seksama. Majalah itu adalah majalah dwi-bahasa. Saya baca
bahasa Inggrisnya berikut bahasa Indonesianya. Saya seperti berlomba lari
dengan pikiran saya sendiri. Saya harus mengalahkan pikiran menakutkan yang
sedang menguasai akal sehat saya. Oh, Tuhan, andaikan saya tidak harus menulis
tulisan ini.
Kuping saya terasa
sesak dan sakit. Perut saya mual. Berulang kali saya minta permen dari
pramugari. Memang diberi sih. Tapi lama-lama saya malu sendiri. Saya isap-isap
lidah saya untuk mengurangi sakit di telinga.
Yang membantu
mengurangi horror di telinga saya adalah sekumpulan ibu-ibu di depan saya.
Mereka bercerita dengan riuhnya sepanjang penerbangan. Suara mereka membantu
saya menyadari bahwa saya tidak tuli (saya takut tuli). Dalam keadaan normal
saya pasti terganggu dengan kebisingan itu. Namun pagi itu, saya bersyukur
sekali ada sekumpulan ibu-ibu dengan suara riuh mereka.
Penerbangan saya isi
dengan membaca. Seperti yang saya katakan tadi, saya baca semua huruf di
majalah tersebut. Tidak bermasud lebay, tapi ini amat sangat tidak nyaman buat
saya.
Sampai di Jakarta,
tujuan pertama saya adalah kamar kecil. Saya langsung muntah (aduh, nggak enak
banget dibaca ya…)
Ini adalah ketiga
kalinya saya merasa ketakutan yang tak beralasan (saya tahu ini tidak
beralasan, tapi rasa takut saya itu begitu mencengkeram sampai-sampai logika
saya tidak mampu menepisnya). Kalau tulisan ini berhasil di-posting maka ini
adalah tulisan kedua yang berhasil saya buat mengenai ketakutan saya ini (yang
pertama ketika saya masuk mesin MRI, sila baca di sini).
Pengalaman tak enak
saya ketika di RS tidak pernah berhasil saya tuliskan :’(
Ya, pasti banyak yang
tidak percaya. Banyak yang menyangka saya mengada-ada. Lebay, manja, dst.
Whatever. Saya tuliskan terutama buat diri saya sendiri. Saya perlu
mengeluarkannya.
Saya tuliskan juga buat
siapa saja di luar sana yang mungkin mengalami hal yang sama. Saya tahu,
pengalaman seperti ini SULIT diceritakan dan dituliskan.
Secara lisan pengalaman
ini hanya saya ceritakan pada adik saya. Puji Tuhan, dia adalah pendengar yang
baik. Dia tidak menunjukkan ekspresi tidak percaya. Dia tidak menuduh saya
mengada-ada (secara verbal maupun diam-diam, melalui air muka). Dia hanya bertanya,
apakah saya takut pesawat jatuh. Saya katakan tidak. Saya takut saja. Takut
pesawat menyempit dan menghimpit saya. Pikiran itu membuat dada saya sesak dan
perut saya mual. Dia tidak memperdebatkan jawaban saya. Dia hanya mendengarkan,
dan itu sudah lebih dari cukup buat saya.
Lalu, bagaimana ketika
pulang?
Itu juga yang langsung
jadi kecemasan saya. Sengaja saya tidak mau memikirkan dan membahasnya. Kalau
saya bahas malah semakin besar kecemasan saya. Namun, mau tak mau terpikir
juga, terutama ketika saya sedang menunggu boarding. Ada waktu sekitar dua jam
sebelum boarding dan saya tidak punya kegiatan untuk mengalihkan perhatian
saya.
Lagi-lagi, adik saya
yang saya mintai tolong. Dia tidak bisa mengantarkan saya sampai bandara
makanya saya sendirian di bandara. Namun, saya membombardirnya dengan obrolan
di Blackberry. Saya ketikkan semua yang ada di kepala. Karena kesibukannya terkadang
adik tidak langsung membalas. Saya tidak peduli. Tetap saya kirimkan
“cerita” melalui Blackberry. Puji Tuhan, tanpa terasa waktu berlalu sampai
tiba-tiba terdengar panggilan untuk boarding.
Biarpun saya merasa
sudah mengantisipasinya, terror itu tetap juga datang.
Saya ambil majalah
pariwisata dan saya baca semua isinya. Sayangnya, majalah pariwisata ini tipis
sekali. Artikelnya juga pendek-pendek. Lebih banyak iklan pendek daripada
artikel. Dalam waktu sekejab sudah selesai saya membacanya.
Syukurlah, sebelum
tidak bisa berpikir karena terlalu panik, saya teringat di tab saya ada game.
FYI, saya bukan penggemar game. Saya benci, malah. Sangat tidak berguna, pikir saya.
Nah, kemarin malam, anak adik saya ingin main game di tab saya. Karenanya, saya
menginstalkan dua buah game kesukaannya: Angry Bird dan Boboiboy.
Saya lalu melakukan hal
yang tidak akan pernah saya lakukan dalam keadaan waras: main Angry Bird!
Dan, Puji Tuhan, Angry
Bird menyelamatkan saya. Saya asyik main sampai tiba-tiba saya mendengar suara
pilot memberi perintah pada pada flight
attendant untuk mempersiapkan
pendaratan. Pendaratan? Benar, saya melihat Sungai Siak yang berkelok-kelok di
bawah. PUJI TUHAN! Lebih bersyukur lagi karena penerbangan kali ini saya tidak
muntah. Saya memang merasakan telinga sakit tapi saya sudah membeli permen
banyak-banyak di Cengkareng untuk menguranginya.
Terpikir oleh saya,
bagaimana nanti kalau saya mau naik pesawat lagi. Saya juga kurang tahu.
Mudah-mudahan terror dan horror ini bisa tertangani. Saya mohon doa dari
teman-teman semua.
***
Pembatuan, 3 April 2015
No comments:
Post a Comment