"Kata orang, mereka yang pernah dekat dengan kita akan membawa sebagian jiwa kita saat mereka pergi. Demikian juga meninggalkan sebagian dari dirinya di hati kita. Itu sebabnya, suatu saat mereka akan merindukan kita seperti kita merasa kehilangan mereka." ~ Desember, Fidelis R. Situmorang.
Mungkin benar kata-kata di atas. Pasti benar. Karena saya tidak pernah bisa melewati hari tanpa terusik oleh ingatan akannya.
Dia pergi dalam pelukan saya, di lantai dekat dapur. Setiap lewat, saya selalu langkahi bagian lantai itu. Saya tidak mau menginjaknya. Saya merasa seolah-olah saya akan menginjak badannya kalau melakukannya.
Dia dimakamkan di dekat garasi. Setiap kali mau berangkat atau pulang, saya selalu sebut namanya. "Nino, Mami pergi ya," atau "Nino, Mami udah pulang...".
Dia, Nino, jelas-jelas sudah membawa sebagian dari diri saya pergi bersamanya. Saya tidak pernah merasa utuh lagi. Tidak, tanpa sehari pun menyapanya.
Saya tunggui kelahirannya di tengah malam di penghujung Agustus 2001. Sejak itu, dia menunggui setiap detik hidup saya.
Percaya atau tidak, dia satu-satunya yang paham ada sesuatu yang salah di dalam rumah ketika saya tidak lagi bekerja di sekolah. Melihat saya balik kembali setelah mengantar adik ke sekolah, dia membuntuti saya. Dia duduk di dekat saya ketika saya mulai mengetik. Padahal dia bukan tipe penempel. Seolah dia bertanya-tanya, apa yang terjadi. Sampai kurang lebih seminggu ia menunggui saya mengetik lalu ia kembali ke tempat dia biasa tidur. Mungkin akhirnya dia mengerti: Mami tidak lagi ke sekolah.
Saya sendiri malah senang. Saya jadi lebih sering jalan pagi bersamanya tanpa kawatir terlambat kerja. Nino adalah petualang sejati. Dia pintar menemukan tempat-tempat baru yang "eksotis": padang rumput liar dengan bunga-bunga liar yang cantik atau rawa kecil yang penuh kodok. Kami berdua pulang dalam keadaan kelelahan tapi segar dan gembira. Tak ada yang bisa menggantikan saat-saat saya bersamanya itu.
Lalu, waktu berlalu. Begitu cepat. Juga bagi Nino.
Saya heran ketika suatu malam ia menghampiri saya, minta dipangku. Seperti saya bilang, dia bukan tipe "penempel". Saya elus-elus dia. Saya elus badannya yang besar berbulu hitam tebal. Andai dia manusia, pasti dia seorang anak yang sangat tampan.
Tak lama setelah itu, ia jatuh sakit.
Di hari ketujuh sakitnya, matanya yang kemarin-kemarinnya suram, tiba-tiba berbinar. Ia berlari kecil keliling rumah, seolah mau mengecek untuk terakhir kalinya. Padahal sudah seminggu ia lumpuh.
Saya tahu. Saya mengerti.
Nino. Mariano lengkapnya, anakku yang tampan itu, akhirnya pergi duluan. Dan dia pergi dengan membawa sebagian jiwaku.
Namun, saya yakin, dia sedang menunggu saya. Nanti kami akan jalan pagi berdua, mencari padang rumput penuh bunga liar atau rawa kecil penuh kodok. Saya menunggu saat itu tiba.
Nino, tunggu Mami ya.... Mami kangen kamu....
***
Mengenang Mariano
Dumai, 31 Agustus 2001 - Pekanbaru, 26 April 2013
Sunday, 26 April 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment