Follow Us @agnes_bemoe

Monday 5 August 2013

Ngobrol yang "sesuatuh" dengan Eva Nukman

Paparon's, 5 Agustus 2013
Nyaris tak jadi bertemu karena saya menyangka Eva sedang istirahat ketika telepon saya tak berjawab. Ketika saya sudah di daerah Gramedia, Eva balik menelpon. Oke, saya pun putar haluan, kembali ke daerah Awal Bros.

Ini merupakan pertemuan kedua saya dengan Eva. Pertemuan pertama waktu di Singapura Mei lalu. Waktu itu kami (tentu saja) tidak sempat ngobrol panjang lebar. Kali ini ternyata berbeda.

Sehabis mencari oleh-oleh khas Riau di Mekarsari, kami nongkrong di Paparon's Pizza.

Untuk early warning (hehehe...) saya ini sebenernya bukan tipe pembicara. Intinya, kemampuan tulis saya lebih bagus daripada kemampuan lisan. Kalau menulis mungkin (mungkin lho) saya kelihatan luwes gitu ya. Padahal, kalau ketemuan untuk bicara, saya suka mendadak gagu.

Eh, ternyata, berhadapan dengan Eva, rasanya seperti lupa kalau saya pengidap gagu akut! Hehehe....

Banyak point penting dan menarik yang saya pelajari dan saya resapkan. Banyak hal bisa saya buat untuk bahan refleksi saya. Beberapa di antaranya saya sharing-kan di sini ya.

  1. Ada tanggung jawab yang tidak ringan, ada idealisme yang harus terus dihidupkan dalam menulis cerita anak. 
  2. Bersinergi dengan semua pihak adalah cara yang paling masuk akal untuk meningkatkan kualitas bacaan anak di Indonesia.
  3. Ke dalam, penulis (saya, maksudnya) harus terus menerus belajar. Jangan pernah puas dengan keberhasilan sesaat. Jangan terjebak dalam euforia semata. --> Untuk point ini, kedengarannya sudah sering disebutkan ya. Yang menjadi masalah adalah daya refleksi dari masing-masing orang dan keingingan untuk menginternalisasikannya.
  4. Anak adalah proyek hidup yang tidak main-main (karena tanggung jawabnya kepada Tuhan). Bila kepada anak ditanamkan yang jahat (dengan bungkus yang "indah") maka suatu saat kelak kita semua akan menuai banyak kejahatan (atau, sudah ya?). Itu berarti berlaku pula sebaliknya. 
Mungkin ada beberapa hal yang terlewat. Namun, itu tidak menutupi kenyataan bahwa obrolan sore itu benar-benar obrolan yang sangat saya nikmati. Point-point di atas mungkin terasa biasa. Memang benar. Yang luar biasa adalah detil-detil pembicaraan (yang sayangnya off the record untuk kepentingan FBI.... bhwahahaha....!!)

Andaikan, andaikan saja, lebih banyak orang Indonesia berpikir dengan pola pikir Eva Nukman, mungkin kita bisa mendapatkan lebih banyak anak-anak yang lebih cerdas (dalam artian yang sangat luas, bukan sekedar tahu calistung, atau pintar berbahasa Inggris).

Ada empati, ada kerendahhatian, ada wawasan, ada perpektif yang bervariasi dalam pembicaraan sore itu. Saya rasa, atmosfer semacam inilah yang perlu terus dihidupkan. Tidak hanya dalam pembicaraan antara orang dewasa, tetapi juga dalam cerita-cerita anak yang kita tulis. Atau, mungkin dibalik yah? Jangan hanya gagah dalam tulisan anak, tapi sebaiknya hidupkan dulu dalam penerapan pribadi penulisnya.

Sayangnya, waktu jualah yang memisahkan kita (cie! klise berat!) Malam itu Eva berangkat ke Padang menuju ke rumah orang tuanya. Saya sendiri harus menjalankan tugas negara sebagai supir pribadi. 

Saya tutup tulisan ini dengan sepenggal lirik sebuah lagu Minang berjudul "Pasan Mandeh". Liriknya tidak ada hubungannya dengan isi pembicaraan. Saya tuliskan hanya karena potongan lirik ini adalah potongan favorit saya:

Nan bak pasan Mandeh, usah takuik, Nak, jo ombak gadang
Riak nan tanang, oi Nak Kanduang, mambawo karam
Biar luko dek sambilu, cek gak diubek nan jo pilarang
Ratok malereng, oi Nak Kanduang, bisonyo tajam

 
***

Pekanbaru, 6 Agustus 2013
Agnes Bemoe
@agnesbemoe

No comments:

Post a Comment