Follow Us @agnes_bemoe

Wednesday, 3 January 2024

TOLAK SERTIFIKASI PENULIS




Bahwa penulis mesti bermutu, menjaga mutu, dan tidak asal-asalan, saya setuju. Dan semua harus setuju. Tapi apakah penjagaan mutu itu harus lewat sertifikasi, itu yang harus dibicarakan.

Pertama, seperti yang disebutkan di pengantar petisi ini, alat ukur dalam sertifikasi penulis belum reliabel. Kalau belum reliabel, bagaimana saya, sebagai penulis, nyaman menjalaninya.


Kedua, sepenangkapan saya, sertifikasi adalah alat uji, alat untuk memindai kemampuan menulis lalu menempatkannya sebagai (katakanlah) "baik" untuk yang lolos, "belum baik" untuk yang tidak. Itu dengan asumsi alat ukurnya valid dan reliabel. Lalu, di mana di proses ini para "belum baik" ini diubah menjadi baik? Tidak ada. Kalau memang prihatin akan mutu penulis, saya lebih setuju dengan pendapat seseorang yang saya baca di postingan Mas Noor H. Dee (maaf sekali, saya lupa namanya, nanti saya cari lagi 🙏🙏): lebih baik membuat kelas-kelas menulis dengan topik yang luas dan variatif. Saya tambahkan: retret/workshop kepenulisan (seperti Room to Read) atau residensi yang entah kenapa dihilangkan. Itu langsung menyasar pada kebutuhan untuk menjadi penulis yang lebih baik.


Ketiga, lagi-lagi ini saya baca dari sebuah komentar dan saya setuju: ada beda antara kompetensi dan karya (fiksi). Saya setuju ini karena menurut saya kompetensi itu obyektif dan karenanya dapat diukur sedangkan karya itu subyektif. Baiklah, karya bisa dianalisa/diulas. Tapi bagaimana sesuatu yang subyektif bisa distandarkan?


Konon sertifikasi ini mendesak. Baiklah, secara pribadi saya setuju tidak sedikit penulis yang menulis dengan kurang baik. Tapi itu pengamatan pribadi. Saya tidak bisa memaksakannya ke orang lain. Sama juga dengan hal ini. Kalau mau dituangkan ke dalam suatu keputusan (bahkan sudah berbentuk perundangan) yang berdampak pada BANYAK ORANG apa tidak sebaiknya ada penelitian yang mendalam yang menunjukkan tingat kemampuan penulis Indonesia sehingga secara mendesak butuh penanganan, dan penanganannya harus berupa sertifikasi. Ini supaya kita semua yakin, ini yang dibutuhkan. Bahwa ini bukan sekedar opini satu dua orang.


Konon, sertifikasi tidak wajib, paling tidak untuk saat ini (tapi di lain tempat dikatakan "tuntutan undang-undang"). Tapi untuk ikut program peningkatan literasi dari pemerintah seorang penulis mesti punya sertifikat penulis. Ini bukannya bentuk mewajibkan secara halus ya? Seorang penulis jadi tak punya pilihan, mau tak mau ikut program sertifikasi kalau mau terlibat di program pemerintah.


Berikutnya lagi, masalah biaya. Konon berkisar 2 - 4 juta dan sertifikasi mesti diperbaharui per 3 tahun. Harga bisa relatif ya. Dua juta kalau saya dapat hasil yang memadai, akan terasa 'murah'. Berlaku sebaliknya.
Jadi, dengan dua juta ini saya dapat apa? Balik lagi ke atas: saya bayar hanya untuk tahu saya ini penulis baik atau belum baik. Per 3 tahun saya ulangi. Buat saya pribadi, untuk apa? Apa otomatis kalau pegang sertifikat saya lolos GLN atau diprioritaskan? Semoga tidak ya, tambah runyam nanti 🤣 Lalu, untuk apa?
Katanya untuk kerja sama dengan luar negeri. Saya ingin sekali mengetahui contoh kasusnya di dunia penulisan buku anak untuk memahami urgensi dan nilai sertifikasi.


Ngomong2, kalau saya diberi rezeki punya 2-4 juta per tiga tahun, mungkin saya akan ikut kelas menulis Mbak Leila S. Chudori yang biayanya juga sekitar angka itu. Buat saya pribadi itu akan membantu memperbaiki kemampuan menulis saya. Uang yang saya keluarkan setara dengan manfaatnya.


Terakhir, di antara sekian banyak permasalahan, kenapa mesti sertifikasi yang didulukan. Penulis sudah putus urat lehernya berteriak-teriak soal pembajakan. Tak ada tindakan apapun. Beberapa tahun yll malah pembajakan dimasukkan ke delik aduan. Artinya, kalau penulisnya tidak mengadu ke polisi, pembajakan atas buku itu dianggap tidak/belum melanggar hukum. Jadi, penulis (atau siapapun yang berkepetingan) yang mesti tunggak tunggik mengurus masalah hukum atas bukunya. Dengan kondisi hukum di negara ini tidak heran kebanyakan penulis memilih diam. Pencurinya alias pembajaknya boleh tenang-tenang sambil terus membajak buku. Bukannya ini yang perlu kita urus dulu?


Begitulah. Dengan segala hal yang masih belum jelas ini mudah-mudahan sertifikasi penulis ditangguhkan.


Teman-teman bisa membantu dengan ikut menandatangani petisi di link berikut ini: Dukung Penulis Buku Anak Berkarya TANPA Sertifikasi

No comments:

Post a Comment