29 OKTOBER 2019:
MENGUNJUNGI KAMPUNG BONGU, JEMBATAN BONDO KODI, DAN PARONA TOSSI
Di Parona Tossi atau dahulu disebut Parona Tohikyo. Dengan Bapak Rato Marapu. |
Perjalanan hari ini agak panjang karena mengunjungi banyak
tempat.
Tujuannya semula adalah Kampung
Bongu saja, kampung kelahiran Wona Kaka dan sekaligus tempat beliau disemayamkan.
Namun, dalam perjalanan, Bpk. Robert
Bammu sebagai penunjuk jalan menyarankan lebih baik dijalani sekaligus Jembatan Bondo Kodi dan Parona Tossi karena relatif dekat.
Kami bertiga (dengan Louis, yang membonceng saya) naik
sepeda motor menuju Kampung Bongu, ke arah Selatan Kodi.
Setelah berjalan agak 20 menit, kami meninggalkan jalan
aspal (yang sebenarnya juga bukan aspal mulus), menuju ke jalan tanah. Aduh
dah, serem jalannya… (buat saya)… hehehe….
Di satu bagian kami harus melewati jalan turun yang agak
curam lalu langsung naik lagi dengan kecuraman yang sama. Waktu pulang baru
saya ngeh, itu sebenarnya dasar sungai yang kering. Saya menduga seperti itu
karena di sebelahnya persis sedang dibangun sebuah jembatan.
Tidak terlalu jauh dari sungai kering itu, setelah sedikit
bertanya-tanya (karena kondisi sudah berubah dari terakhir kali Bpk. Robert ke
sini), kami pun sampai di Kampung Bongu.
KAMPUNG BONGU
Parona Bongu |
Baiklah, inilah Kampung Bongu, kampung kelahiran Wona Kaka, sekaligus tempat Wona Kaka disemayamkan.
Kampung ini seperti kampung tradisional Sumba lainnya
terdiri dari beberapa buah rumah (6 – 12 rumah) yang dibangun berkelliling. Salah
satu dari rumah itu adalah rumah tinggal Wona Kaka. Bentuknya sudah sangat tua
namun tiang-tiang di dalamnya masih kelihatan kokoh.
Kampung Besar Bongu ini saat ini tidak didiami sehari-hari.
Namun, setiap Hari Raya Tahun Baru (Hari Raya Nale (dibaca “Nyale”, sekitar
Februari-Maret) kampung besar ini akan didatangi segenap sanak keluarga. Mereka
akan berdoa, makan, dan tidur di sana.
Setelah melihat-lihat rumah Wona Kaka, kami jalan turun
sedikit, melihat makam Wona Kaka.
Biarpun jauh lebih baik daripada makam Warat Wona, makam pahlawan
Perang Kodi ini amat sangat sederhana. Hanya dibeton semen.
Setelah ditangkap oleh Belanda dengan cara licik, Wona Kaka
dipindahkan ke beberapa tempat, seperti Kupang, Nusa Kambangan, dan Sawah Lunto.
Mengenai meninggalnya Wona Kaka sendiri, ada beberapa versi yang saya dengar.
Pertama, ada yang meyakini Wona Kaka meninggal di dalam tambang
batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat. Kedua, Wona Kaka meninggal dalam
pembuangan di Nusa Kambangan. Namun, untuk dua versi ini jasad Wona Kaka tidak
pernah ditemukan.
Tidak ada catatan kapan persisnya Wona Kaka meninggal. Yang
jelas, Wona Kaka tidak pernah kembali lagi ke Kampung Bongu setelah ditangkap
Belanda. Keluarganya lalu menguburkan rambut Wona Kaka sebagai ganti seluruh
jenazahnya. Bersama rambut Wona Kaka ini dikuburkan pula tulang belulang Warat
Wona, istri Wona Kaka.
JEMBATAN BONDO KODI
DAN KAMPUNG BESAR BONDO KODI
Parona Bondo Kodi |
Nah, karena Pak Robert Bammu memutuskan untuk sekalian
meninjau Jembatan Bondo Kodi (dan saya pun setuju), maka dari Kampung Bongu
kami menuju ke Selatan lagi, ke lokasi Jembatan Bondo Kodi.
Jembatan Bondo Kodi ini bisa dibilang sama dengan Jembatan
Merah-nya Surabaya. Di jembatan inilah pasukan Wona Kaka bertempur mati-matian
melawan Belanda. Pertempuran Jembatan Bondo Kodi ini adalah pertempuran pertama
Kodi melawan Belanda. Pertempuran ini dipicu oleh kekejaman Belanda terhadap
rakyat dan raja Kodi. Belanda memaksa rakyat Kodi untuk bekerja rodi. Tidak
hanya rakyat kebanyakan, para bangsawan dan rato yang sedang berkuasa pun
dipaksa untuk ikut kerja rodi. Selain itu pasukan Belanda juga melakukan
kekejian terhadap perempuan Kodi.
Jembatan Bondo Kodi sendiri melintang di atas Sungai Bondo Kodi,
sebuah sungai yang dekat dengan laut sehingga menjadi semacam muara). Sayang
sekali, tidak ada catatan persis mengenai tanggal peristiwa Jembatan Bondo
Kodi. Yang jelas, Perang Kodi sendiri mulai tahun 1911.
Dari jembatan Bondo Kodi ini kami naik sedikit ke atas. Di
sanalah terletak Kampung Besar Bondo Kodi, kampung yang dibakar Belanda sebagai
pembalasan atas serangan Wona Kaka ke jembatan Bondo Kodi.
Sama seperti Kampung Besar Bongu, Kampung Besar Bondo Kodi
juga tidak didiami sehari-hari. Hanya pada saat hari besar saja para sanak
keluarga datang dan menginap di sana.
PARONA TOSSI
Dari Jembatan Bondo Kodi, kamu meluncur lagi menuju ke Parona Tossi. Parona Tossi adalah
kediaman Rato Loghe Kandua, raja
Kodi yang gigih menentang Belanda dan memilih membela rakyatnya daripada
bekerja sama dengan Belanda. Catatan, Parona Tossi ini dulunya disebut Parona
Tokihiyo.
Di dekat Parona Tossi –sebelum sampai Parona Tossi- kami melewati
padang untuk acara Pasola. Ada dua padang besar yang kami lewati. Semuanya ini
terletak tidak jauh dari pantai. Ini karena acara Pasola sendiri selalu diawali
dengan kegiatan mencari Nale di pantai serta doa-doa dari Rato Marapu. Padang
Pasola itu bernama Bondo Kawango.
Di seberang padang Pasola, di sisi yang menjauhi pantai,
terdapat sederetan kampung. Nah, pada zaman perang dengan Belanda dulu, Belanda
menerapkan taktik bumi hangus. Jadi sederetan kampung hampir sepanjang 2 – 3 km sampai ke Parona Tossi habis dibakar oleh
Belanda. Ini akibat keputusan Rato Loghe
Kandua untuk menolak bekerja sama dengan Belanda dan menjadi kaki tangan
Belanda.
Di ujung perkampungan itu terletaklah Parona Tossi.
Parona Tossi secara fisik tidak beda jauh dari kampung
besar-kampung besar lain yang sudah saya lihat; terdiri dari beberapa rumah
dengan area kosong di tengah untuk upacara dan pemotongan hewan, serta
dikelilingi kubur-kubur batu.
Setelah bertemu dengan keluarga yang tinggal di sana kami
menunju ke makam Rato Loghe Kandua.
Rato Loghe Kandua sendiri wafat di Mamboro. Setelah ditangkap Belanda, beliau dibawa ke Mamboro.
Dikatakan bahwa sepanjang perjalanan Kodi ke Mamboro beliau menerima siksaan
yang luar biasa. Sampai di Mamboro, Rato melakukan mogok makan walaupun kondisi
beliau sendiri sudah sangat mengenaskan. Beliau bertekad untuk tidak mau makan
dan minum karena mengingat penderitaan rakyatnya. Di Mamboro inilah Rato Loghe
Kandua wafat.
Setelahnya, -sayangnya tidak ada catatan pasti tentang
tanggal dan tahunnya- keluarga memindahkan tulang belulang Rato dan
menguburkannya kembali di Parona Tossi. Di samping kubur batu Rato Loghe Kandua
diletakkan juga ‘ancik-ancikan’ terbuat dari batu, mirip seperti meja kecil.
Benda ini digunakan oleh Rato untuk menaiki kudanya dulu semasa hidupnya.
Saya melakukan semacam ritual yaitu meletakkan sirih pinang
dan persembahan dengan didampingi oleh Rato Marapu di kubur Rato Loghe Kandua.
Lalu, dari komplek kubur batu ini kami kembali ke area
perumahan. Kami melewati semacam gerbang yang dibuat dari batu-batu alam.
Gerbang inilah tempat lewat kuda-kuda yang akan ikut dalam Pasola.
Setelah dari makam, saya (kami) duduk sebentar untuk
menerima semacam berkat dari Rato Marapu. Kami didoakan dan diperciki air. Amin
deh. Semoga kegiatan penelitian saya berjalan lancar. Semoga tradisi dan budaya
di Sumba ini bertahan lebih lama daripada selama-lamanya.
Setelah itu kami pamit pulang.
Suwer, terasa capek juga biarpun hari masih menunjukkan jam
11-an. Mungkin karena berkendara dengan sepeda motor dengan medan yang lumayan.
Dan juga mungkin karena matahari Kodi yang ga segan-segan memancarkan panasnya…
hehehe….
Tapi percayalah, semua itu tidak sebanding dengan
kegembiraan, excitement, dan kekayaan ilmu yang saya dapatkan selama perjalanan
hari itu.
Terima kasih semuanya. Terima kasih Tuhan.
***
Homba Karipit, 8 November 2019
@agnes_bemoe
Sejarah dan pahlawan yang hilang dan tidak di kelola tentang sejarahnya okeh pemerintah...
ReplyDeleteWona kaka, pahlawan Sumba yang tidak pernah di lupakan orang Sumba..