Follow Us @agnes_bemoe

Friday 8 November 2019

CERITA RESIDENSI 2019: MENYUSUR JEJAK SANG PAHLAWAN


29 OKTOBER 2019: MENGUNJUNGI KAMPUNG BONGU, JEMBATAN BONDO KODI, DAN PARONA TOSSI

Di Parona Tossi atau dahulu disebut Parona Tohikyo. Dengan Bapak Rato Marapu. 


Perjalanan hari ini agak panjang karena mengunjungi banyak tempat.

Tujuannya semula adalah Kampung Bongu saja, kampung kelahiran Wona Kaka dan sekaligus tempat beliau disemayamkan. Namun, dalam perjalanan, Bpk. Robert Bammu sebagai penunjuk jalan menyarankan lebih baik dijalani sekaligus Jembatan Bondo Kodi dan Parona Tossi karena relatif dekat.

Kami bertiga (dengan Louis, yang membonceng saya) naik sepeda motor menuju Kampung Bongu, ke arah Selatan Kodi.

Setelah berjalan agak 20 menit, kami meninggalkan jalan aspal (yang sebenarnya juga bukan aspal mulus), menuju ke jalan tanah. Aduh dah, serem jalannya… (buat saya)… hehehe….

Di satu bagian kami harus melewati jalan turun yang agak curam lalu langsung naik lagi dengan kecuraman yang sama. Waktu pulang baru saya ngeh, itu sebenarnya dasar sungai yang kering. Saya menduga seperti itu karena di sebelahnya persis sedang dibangun sebuah jembatan.
Tidak terlalu jauh dari sungai kering itu, setelah sedikit bertanya-tanya (karena kondisi sudah berubah dari terakhir kali Bpk. Robert ke sini), kami pun sampai di Kampung Bongu.

KAMPUNG BONGU

Parona Bongu

Baiklah, inilah Kampung Bongu, kampung kelahiran Wona Kaka, sekaligus tempat Wona Kaka disemayamkan.  
Kampung ini seperti kampung tradisional Sumba lainnya terdiri dari beberapa buah rumah (6 – 12 rumah) yang dibangun berkelliling. Salah satu dari rumah itu adalah rumah tinggal Wona Kaka. Bentuknya sudah sangat tua namun tiang-tiang di dalamnya masih kelihatan kokoh.
Kampung Besar Bongu ini saat ini tidak didiami sehari-hari. Namun, setiap Hari Raya Tahun Baru (Hari Raya Nale (dibaca “Nyale”, sekitar Februari-Maret) kampung besar ini akan didatangi segenap sanak keluarga. Mereka akan berdoa, makan, dan tidur di sana.

Setelah melihat-lihat rumah Wona Kaka, kami jalan turun sedikit, melihat makam Wona Kaka.
Biarpun jauh lebih baik daripada makam Warat Wona, makam pahlawan Perang Kodi ini amat sangat sederhana. Hanya dibeton semen.

Setelah ditangkap oleh Belanda dengan cara licik, Wona Kaka dipindahkan ke beberapa tempat, seperti Kupang, Nusa Kambangan, dan Sawah Lunto. Mengenai meninggalnya Wona Kaka sendiri, ada beberapa versi yang saya dengar.
Pertama, ada yang meyakini Wona Kaka meninggal di dalam tambang batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat. Kedua, Wona Kaka meninggal dalam pembuangan di Nusa Kambangan. Namun, untuk dua versi ini jasad Wona Kaka tidak pernah ditemukan.

Tidak ada catatan kapan persisnya Wona Kaka meninggal. Yang jelas, Wona Kaka tidak pernah kembali lagi ke Kampung Bongu setelah ditangkap Belanda. Keluarganya lalu menguburkan rambut Wona Kaka sebagai ganti seluruh jenazahnya. Bersama rambut Wona Kaka ini dikuburkan pula tulang belulang Warat Wona, istri Wona Kaka.

JEMBATAN BONDO KODI DAN KAMPUNG BESAR BONDO KODI

Parona Bondo Kodi


Nah, karena Pak Robert Bammu memutuskan untuk sekalian meninjau Jembatan Bondo Kodi (dan saya pun setuju), maka dari Kampung Bongu kami menuju ke Selatan lagi, ke lokasi Jembatan Bondo Kodi.

Jembatan Bondo Kodi ini bisa dibilang sama dengan Jembatan Merah-nya Surabaya. Di jembatan inilah pasukan Wona Kaka bertempur mati-matian melawan Belanda. Pertempuran Jembatan Bondo Kodi ini adalah pertempuran pertama Kodi melawan Belanda. Pertempuran ini dipicu oleh kekejaman Belanda terhadap rakyat dan raja Kodi. Belanda memaksa rakyat Kodi untuk bekerja rodi. Tidak hanya rakyat kebanyakan, para bangsawan dan rato yang sedang berkuasa pun dipaksa untuk ikut kerja rodi. Selain itu pasukan Belanda juga melakukan kekejian terhadap perempuan Kodi.

Jembatan Bondo Kodi sendiri melintang di atas Sungai Bondo Kodi, sebuah sungai yang dekat dengan laut sehingga menjadi semacam muara). Sayang sekali, tidak ada catatan persis mengenai tanggal peristiwa Jembatan Bondo Kodi. Yang jelas, Perang Kodi sendiri mulai tahun 1911.
Dari jembatan Bondo Kodi ini kami naik sedikit ke atas. Di sanalah terletak Kampung Besar Bondo Kodi, kampung yang dibakar Belanda sebagai pembalasan atas serangan Wona Kaka ke jembatan Bondo Kodi.

Sama seperti Kampung Besar Bongu, Kampung Besar Bondo Kodi juga tidak didiami sehari-hari. Hanya pada saat hari besar saja para sanak keluarga datang dan menginap di sana.

PARONA TOSSI
Dari Jembatan Bondo Kodi, kamu meluncur lagi menuju ke Parona Tossi. Parona Tossi adalah kediaman Rato Loghe Kandua, raja Kodi yang gigih menentang Belanda dan memilih membela rakyatnya daripada bekerja sama dengan Belanda. Catatan, Parona Tossi ini dulunya disebut Parona Tokihiyo.

Di dekat Parona Tossi –sebelum sampai Parona Tossi- kami melewati padang untuk acara Pasola. Ada dua padang besar yang kami lewati. Semuanya ini terletak tidak jauh dari pantai. Ini karena acara Pasola sendiri selalu diawali dengan kegiatan mencari Nale di pantai serta doa-doa dari Rato Marapu. Padang Pasola itu bernama Bondo Kawango.
Di seberang padang Pasola, di sisi yang menjauhi pantai, terdapat sederetan kampung. Nah, pada zaman perang dengan Belanda dulu, Belanda menerapkan taktik bumi hangus. Jadi sederetan kampung hampir sepanjang 2 – 3  km sampai ke Parona Tossi habis dibakar oleh Belanda.  Ini akibat keputusan Rato Loghe Kandua untuk menolak bekerja sama dengan Belanda dan menjadi kaki tangan Belanda.
Di ujung perkampungan itu terletaklah Parona Tossi.
Parona Tossi secara fisik tidak beda jauh dari kampung besar-kampung besar lain yang sudah saya lihat; terdiri dari beberapa rumah dengan area kosong di tengah untuk upacara dan pemotongan hewan, serta dikelilingi kubur-kubur batu.

Setelah bertemu dengan keluarga yang tinggal di sana kami menunju ke makam Rato Loghe Kandua.
Rato Loghe Kandua sendiri wafat di Mamboro. Setelah ditangkap Belanda, beliau dibawa ke Mamboro. Dikatakan bahwa sepanjang perjalanan Kodi ke Mamboro beliau menerima siksaan yang luar biasa. Sampai di Mamboro, Rato melakukan mogok makan walaupun kondisi beliau sendiri sudah sangat mengenaskan. Beliau bertekad untuk tidak mau makan dan minum karena mengingat penderitaan rakyatnya. Di Mamboro inilah Rato Loghe Kandua wafat.
Setelahnya, -sayangnya tidak ada catatan pasti tentang tanggal dan tahunnya- keluarga memindahkan tulang belulang Rato dan menguburkannya kembali di Parona Tossi. Di samping kubur batu Rato Loghe Kandua diletakkan juga ‘ancik-ancikan’ terbuat dari batu, mirip seperti meja kecil. Benda ini digunakan oleh Rato untuk menaiki kudanya dulu semasa hidupnya.

Saya melakukan semacam ritual yaitu meletakkan sirih pinang dan persembahan dengan didampingi oleh Rato Marapu di kubur Rato Loghe Kandua.
Lalu, dari komplek kubur batu ini kami kembali ke area perumahan. Kami melewati semacam gerbang yang dibuat dari batu-batu alam. Gerbang inilah tempat lewat kuda-kuda yang akan ikut dalam Pasola.
Setelah dari makam, saya (kami) duduk sebentar untuk menerima semacam berkat dari Rato Marapu. Kami didoakan dan diperciki air. Amin deh. Semoga kegiatan penelitian saya berjalan lancar. Semoga tradisi dan budaya di Sumba ini bertahan lebih lama daripada selama-lamanya.
Setelah itu kami pamit pulang.

Suwer, terasa capek juga biarpun hari masih menunjukkan jam 11-an. Mungkin karena berkendara dengan sepeda motor dengan medan yang lumayan. Dan juga mungkin karena matahari Kodi yang ga segan-segan memancarkan panasnya… hehehe….

Tapi percayalah, semua itu tidak sebanding dengan kegembiraan, excitement, dan kekayaan ilmu yang saya dapatkan selama perjalanan hari itu.
Terima kasih semuanya. Terima kasih Tuhan.

***

Homba Karipit, 8 November 2019
@agnes_bemoe


No comments:

Post a Comment