Minggu, 17 November 2019, kami (Bapak Robert Bumma, Louis,
dan saya) menuju ke Benteng Rambe Manu.
Rambe Manu sebenarnya benteng pertahanan terakhir sebelum Wona Kaka menyerah.
Namun, karena beberapa benteng di antara perang di Natara Koki (benteng
pertama) dan Rambe Manu belum diketemukan tempatnya, kami mendahulukan Rambe
Manu.
PERJALANAN DAN TOILET
ALAM
Rambe Manu terletak di sisi Utara Kodi, tepatnya di Kampung
Kambappa. Perjalanan ke sana sebenarnya tidak terlalu jauh dari Homba Karipit
(tempat saya tinggal) hanya saja, biasa deh, jalannya… neraka! Hahaha….
Kalau saya pernah “mengeluh” karena kondisi jalan
sebelumnya, maka yang kali ini saya tidak sempat mengeluh. Saya ketakutan dan
kecapekan! Jalannya seperti jalan tanah yang akan diaspal tapi prosesnya baru
sampai pada penanaman batu-batu besar. Nah, bukannya diratakan, batu-batu itu
dibiarkan menonjol di sana sini begitu saja. Jadi, sepanjang jalan kurang lebih
3-4 kilo sepeda motor harus meliuk-liuk tajam di antara bebatuan yang rapat
atau terbanting-banting di atasnya. Sebagai pembonceng, saya mengandalkan
tangan saya untuk berpegangan pada jok motor. Dan itu rasanaya puegeeel banget!
Saya sampai merasa mual. Bener lho, saya tidak bohong. Seumur hidup, baru
sekali ini saya merasa mual naik sepeda motor… Wkwkwk….
Nah, setelah disiksa oleh jalanan cukup lama (eh, tapi,
suasana di sisi-sisi jalan sendiri sebenarnya asri lho; suasana pedesaan asli
dengan pepohonan yang masih rapat.) sampai juga kami di Dusun Kambappa. Kami
singgah di rumah Bapak Kaka yang akan mengantarkan kami ke Benteng Rambe Manu.
Eh, sampai di dusun ini, saya kan kebelet pipis. Jadi, saya minta
izin menggunakan kamar mandi. Oleh Asti (putri Bapak Kaka) saya diantar ke
kebun belakang. Awalnya pikir saya kamar mandinya jauh dari rumah (ada di
kebun). Trus, setelah agak jauh masuk ke dalam kebun, Asti memberhentikan saya
di sebuah pohon yang guede banget. Akarnya tinggi sehingga membentuk seperti
dinding seukurang setengah meter gitu. Lalu Asti mempersilakan saya buang air
di situ.
Wkwkwkwkkkk… saya tuh malah geli bukannya takut atau risih.
Seumur-umur, baru sekali ini saya pipis di alam terbuka seperti ini. Seru juga
lho! Untung saya terbiasa membawa “peralatan perang” seperti tissue basah,
tissue kering, dan sanitizer. Jadi, biarpun tidak ada air, saya tidak kesulitan
membersihkan diri. Sambil pipis, saya mikir, kalau kebelet pup, trus gimana ya?
BENTENG BATU YANG
GAGAH PERKASA
Oke deh, balik lagi ke Rambe Manu.
Kami berjalan kaki menuju benteng yang lokasinya tidak jauh
dari situ. Saya membayangkan, di zaman dahulu, lokasi ini pastilah isinya
pepohonan lebat dan liar. Sekarang ada satu dua rumah yang terlihat di
sela-sela hutan bambu. Sambil jalan saya membathin dengan pahitnya, pantas
benteng ini aman dari jarahan. Lokasinya memang relatif sulit ditembus.
Bandingkan dengan Natara Koki yang sagat terbuka.
Kami pun sampai di mulut jalan masuk benteng. Sampai di
sini, jujur, bentuk benteng Rambe Manu itu tidak kelihatan. Yang kelihatan
adalah jalan menanjak tajam ke atas. Tidak ada anak tangga. Yang ada adalah
akar-akaran atau bebatuan di beberapa tempat. Itulah yang akan jadi anak
tangganya.
Oke deh. Bring it on!
Dengan dibantu Asti, saya menaiki jalan masuk itu. Deuh,
kesannya sepertinya saya ini suka mengeluh banget ya… hehehe… tapi jujur, medan
itu terasa buerattt banget buat saya. Capek banget menaiki jalan masuk yang terjal
itu. Beberapa kali saya minta berhenti karena kecapekan. Dan yang bikin “kesel”,
saya sudah mau putus napas, e… warga yang mengantar saya tuh masih
tenang-tenang aja. Anak-anak malah menaiki tangga dengan melompat-lompat. Aduh,
Gusti!
Setelah “jalan salib” yang lumayan bikin putus napas, sampai
jugalah saya di mulut benteng. Benteng ini ternyata adalah bukit karang asli,
bukan buatan tangan manusia seperti Natara Koki. Benteng ini hanya punya satu
jalan masuk yakni jalan masuk yang baru saja saya naiki tadi. Sementara itu
sekelilingnya adalah dinding batu karang yang sulit ditembus.
Pintu masuk ini sebenarnya semacam gua dengan mulut yang agak
besar. Di dalamnya ada beberapa liang (gua kecil, mungkin anak kecil bisa masuk
ke sana). Konon, dari mulut gua inilah pasukan Wona Kaka dulu menghujani
pasukan Belanda dengan batu-batu karang dan balok kayu.
Di gua depan yang sepertinya berfungsi sebagai teras ini ada
balai-balai kayu (sebenarnya terdiri dari jajaran batang pohon yang diletakkan
di atas dudukan batu). Konon, balai-balai itu berasal dari zaman Wona Kaka.
Namun demikian, hal ini tentu harus dibuktikan dulu dengan menyelidiki umur
batang pohon tersebut.
Oh ya, nasib Rambe Manu lebih baik daripada Natara Koki.
Pemerintah sudah menetapkan situs ini sebagai tempat yang dilindungi. Itu tadi,
menurut saya sih sebenarnya, Rambe Manu melindungi dirinya sendiri karena
sulitnya dijangkau. Namun, salut juga dengan perhatian pemerintah atas
peninggalan sejarah ini. Semoga pemerintah juga mau memperhatikan tempat-tempat
yang lain.
Sedikit melenceng, mumpung lagi ngomongin ini: padang Pahandango Kalulla yang disebut juga Hamati To Danga, tempat pertempuran
besar-besaran satu lawan satu antara pasukan Wona Kaka dan Belanda, sudah
hilang. Sudah berganti menjadi jalan aspal dan areal perkampungan serta
sekolah. Tidak tampak satu tugu atau
prasasti apapun yang menandai bahwa itu tempat bersejarah. Kalau bukan
orang yang mengerti sejarah, mereka tidak akan tahu bahwa tanah yang mereka
lewati bernilai sejarah. Amat sangat sayang sekali.
Oke, balik lagi ke Rambe Manu.
Dari teras depan itu kami masuk ke semacam lorong pendek.
Lalu dari situ, mulai lagi perjalanan uji nyali!
Jadi, sebenarnya kami menyisir dinding tebing karang itu. Di
bawahnya jurang… hahaha… Tidak ada jalan lain selain jalan itu.
Jujur, saya tidak merasa takut. Entah kenapa. Padahal saya
penakut. Hanya saja, ya itu, gerakan saya lambat dan harus dibantu (dipegangi,
ditarik, dicengkiwing, dll). Kami menyisiri dinding bukit/benteng sampai ke
belakang. Nah, di belakang ini ada “jalan naik” menuju ke pelataran atas. Kata
“jalan naik” saya beri tanda kutip karena bukan jalan tapi dinding bukit batu berikutnya
ke atas. Melihat kondisinya, saya langsung menyerah. Dinding itu benar-benar 90
derajat dengan permukaan tanah! Tidak kelihatan sedikitpun tonjolan batu yang
bisa dijadikan pijakan. Saya menyerah. Ini sudah harus yang professional nih!
Kalau ada apa-apa, saya malah merepotkan orang sekampung!
Jadi, saya menyerahkan kamera saya pada Louis. Saya menunggu
di pertengahan dinding benteng, di sebuah pelataran yang lumayan besar, cukup
untuk berpijak 3 – 4 orang.
Di atas katanya ada semacam pelataran dengan dinding batu.
Dari tempat itu jugalah pasukan Wona Kaka menghujani Belanda dengan
lembing-lembing tajam. Dari atas, kita bisa melihat dari kejauhan
pantai/pelabukan Weekalogho (dibaca: Waikelo). Waktu tinggal di Rambe Manu,
Wona Kaka mendapat pasokan mesiu dari orang-orang Ende yang ada di Weekalogho.
Sementara itu, dari pelataran kecil tempat saya menunggu,
saya bisa melihat sendiri hutan lebat yang mengelilingi benteng batu karang
ini. Tidak kelihatan tanah di bawahnya sehingga tidak tahu berapa jauhnya
jurang di dalamnya.
Tidak berapa lama, tim yang naik ke pelataran atas turun.
Saya memperhatikan dengan begidig bagaimana mereka menuruni dinding batu yang
tegak lurus itu… hehehe… Lalu, kami pun sama-sama turun, melewati jalan yang
kami lewati pertama tadi. Maka, dimulai lagi, saya dituntun, ditarik, ditopang,
dicengkiwing, segala macem deh… hahaha….
Ketika mau masuk ke mulut lorong gua, HP saya terjatuh
(kesalahan saya. Saya kantongi di jaket tanpa memikirkan bahwa saya akan
pencilakan). HP itu terbanting di batu karang sehingga layarnya retak. Hikkss….
Namun, masih beruntung karena HP tidak meluncur begitu saja ke jurang.
Kata Bpk. Robert Bumma: itu
sambutan dari Wona Kaka. Hehehe… iya deh, bersyukur sudah diterima dengan
baik di Rambe Manu.
Setelah duduk-duduk di teras gua buat melepas lelah
(terutama saya. P.S. Saya mandi keringat sementara yang lain biasa aja… deuh!)
kami pun menuruni benteng.
Naiknya susah, ternyata turun juga ga gampang! Andaikan bisa
merosot seperti plurutan begitu, saya memilih memerosotkan diri deh! Jalannya
licin, susah banget saya mendapat pijakan batu. Asti yang membantu saya pun
jadi kebingungan melihat saya. Untung banget Louis berbaik hati membantu. Dia
memberi instruksi: injak yang ini, Mama. Injak itu! Jadi, dengan berpegangan
kuat-kuat pada Louis, saya pun “meluncur” sesuai dengan instruksi Louis. Dan
selamat sampai di bawah!
Dalam perjalanan kembali ke rumah Asti kami berhenti
sebentar untuk… memetik mangga! Sekarang sedang musim mangga. Mangga melimpah
ruah di Kodi. Mangga itu kami makan bersama di rumah Asti. Masih ada sekantong
besar untuk dibawa bagi para Pater dan Romo di Pastoran Homba Karipit. Sip!
Kami pun berpamitan pada keluarga Bpk. Kaka.
PULANG DENGAN SELAMAT
Pulangnya?
Iya, saya sudah stress berat memikirkan perjalanan pulang.
Apalagi badan saya capek berat. Ternyata, Bpk. Robert memilih pulang lewat
jalan lain. Dan Puji Tuhan, jalan ini jauh lebih baik. Hanya saja, ada sepotong
jalan yang belum jadi. Jalan ini masih berupa tanah kapur yang belum dikeraskan,
licin, dan agak curam sehingga agak
mengerikan bila dikendarai menurun. Inilah tadi yang dihindari oleh Pak Robert.
Namun, di luar jalan kapur itu, jalanan yang kami lewati dalam perjalanan
pulang jauuuuuh lebih halus dan rata. Syukurlah! Tak terkira leganya saya.
Hari itu adalah hari yang berat buat fisik saya tapi hati
saya gembira dan excited. Oh iya, biarpun tertatih-tatih, saya mendapat pujian
dari Bpk. Robert lho. Katanya, saya lebih berani daripada beberapa tamu pria
yang datang ke sini. Katanya, ada tamu pria yang takut menyisiri dinding bukit
setelah melihat medannya. Saya masih lebih berani, kata Pak Robert. Syukur deh…
heheheh….. Btw, Bpk. Robert sampai menjuluki saya “Warat Wona” karena berani
ambil bagian menyisiri sampai batasnya (biarpun tentu saja julukan ini
berlebihan dan ketinggian… hihihihi…)
Itulah cerita perjalanan saya hari itu ke Benteng nan
perkasa, Rambe Manu. Terima kasih pada Bpk. Robert Bumma, Louis, dan tentu saja
keluarga Bpk. Kaka.
***
Homba Karipit, 25 November 2019
@agnes_bemoe
No comments:
Post a Comment