Ternyata, sepeda motor Bpk. Robert Bumma, bapak yang menjadi guide saya, mengalami masalah.
Makanya, sampai sepuluh hari setelah kami mengunjungi Parona Bongu tidak ada
kabar dari beliau. Saya pun memutuskan ke rumah Bpk. Robert. Dan persis saya tiba
sore itu, barusan saja sepeda motor Pak Robert diperbaiki dan sudah pulih keadaannya.
Siipp! Maka, kamipun merencanakan untuk pergi ke tujuan berikutnya: Benteng Natara Koki.
KE BENTENG NATARA
KOKI
Benteng Natara Koki
terletak di sebelah Utara, sekitar 5 km dari Parona Tossi (Parona Tohikyo).
Perjalanan ke sana… ya gitu deh… hehehe… kami melewati jalan aspal tipis berlubang-lubang
besar di sana-sini. Sambil terbanting-banting di jok sepeda motor, sama mikir
sendiri, seandainya saat ini saya sedang hamil, pasti langsung keguguruan nih!
:D
Setelah jalan buruk yang lumayan panjang, kami pun masuk ke
jalan raya yang agak halus. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya “Jalan
Pantura”. Sedikit dapat jalan halus Pantura, eeh, kami masuk lagi ke jalan
buruk. Ga tanggung-tanggung, kali ini malah jalan tanah… hahaha… adudah!
Yang penting, tidak lama kemudian sampailah kami di lokasi
Benteng Natara Koki. Di luar pengetahuan saya, lokasi benteng ini ternyata
persis di sebelah lokasi danau wisata, Danau
Weekuri.
SISA-SISA KEPERKASAAN
Yang kami dapati adalah sisa-sisa Benteng Natara Koki.
Nyaris tidak tampak lagi bekasnya. Artinya, kalau orang datang ke sana begitu
saja, mereka tidak akan tahu bahwa itu
adalah sebuah benteng. Secara kasat mata yang terlihat adalah hamparan
ladang/kebun dengan beberapa onggokan batu atau sisa tembok batu di sana sini.
Konon, bebatuan dari tembok Natara Koki habis diambili untuk
pembangunan, termasuk pembangunan jalan Pantura mulus yang barusan kami lewati
tadi. Ini menyebabkan benteng hanya tersisa mungkin sekitar 10% dari
keseluruhannya.
Sebenarnya menyedihkan sekali ya, tempat yang begitu tinggi
nilai sejarahnya, menjadi hanya seperti itu. Sedih saya….
Tapi, okelah, mudah-mudahan –entah bagaimana caranya- akan
ada perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Btw, balik lagi ke benteng bersejarah ini, Natara Koki.
Jadi, setelah Rato Loghe
Kandua dan Wona Kaka menyerbu Jembatan Bondo Kodi dan menewaskan
banyak pasukan Belanda, Belanda membalas dendam. Belanda melakukan bumi hangus.
Sekian banyak perkampungan (parona), mulai dari Parona Bondo Kodi di dekat
Jembatan Bondo Kodi sampai ke Parona Tossi dibakari oleh Belanda. Harta
berharga seperti emas, mamoli, serta benda-benda pusaka dijarah. Karena
pembumihangusan ini warga kampung lari mengungsi. Mereka mengungsi ke arah
Utara. Di sanalah Wona Kaka menemukan tempat untuk berlindung. Maka dibangunlah
sebuah benteng.
Nah, di arah Utara itu, di sebuah lokasi persis di bibir Samudera Hindia, dengan hutannya yang
masih tebal dan padat inilah Wona Kaka membangun bentengnya. Karena pada
dasarnya untuk tempat mengungsi sekian banyak warga kampung, maka benteng yang
dibangun itu luas sekali. Kalau “dikonversikan” dengan jumlah kampung, mungkin
bisa memuat 8 – 12 kampung. Saya kurang tahu persis berapa hektar lokasi
benteng itu. Yang jelas, luas bangettt! Di dalam benteng yang luas itu, masih
dibangun lagi beberapa benteng-benteng yang lebih kecil. Dugaannya, dahulu,
satu kampung mendapat 1 benteng kecil (seukurang kampung).
Kalau bicara benteng, jangan dibayangkan seperti
benteng-benteng bikinan Portugis atau Belanda. Benteng yang dibangun Wona Kaka
adalah seperti benteng di area Keraton Yogyakarta, yakni berupa tembok tebal
melingkari sebuah area. Hanya saja, bila yang di Yogyakarta dibangun dari batu
bata, yang di Sumba dibangun dari batu karang yang besar-besar.
Kami mendapati di beberapa tempat masih ada sisa-sisa tembok
benteng; di sisi Selatan (sisi jalan masuk benteng), sisi Barat, dan Utara. Di
sisi Timur sepertinya benteng sudah nyaris habis. Sisi inilah yang persis bersebelahan
dengan lokasi danau Wisata Danau Weekuri. Sayangnya, saya tidak bisa menyusuri
semua tepian benteng. Selain karena amat sangat luasnya, juga karena
semak-semak yang masih cukup tebal.
Dari empat sisi itu, sisi yang paling indah (kalau kita ke
sana untuk menikmati pemandangan alam) adalah sisi Utara. Sisi Utara ini
langsung berbatasan dengan Samudera Hindia. Tanpa pantai. Jadi di bawah
karang-karang terjal (yang sepertinya digunakan oleh Wona Kaka untuk tembok
pelindung) langsung laut samudera. Konon, di salah satu bagian di sisi Utara
ini ada sebuah gua tempat pasukan Wona Kaka berlindung. Konon lagi, di gua itu
masih ada benda-benda bekas peninggalan Wona Kaka. Sayang sekali, hal ini tidak
bisa dikonfirmasi atau kami buktikan sendiri. Gua itu letaknya jauh di bawah
karang curam. Hanya dengan cara yang profesional dan aman saja orang bisa
sampai ke sana.
Di dalam benteng kami dapati sebuah mata air. Mata air sudah
ada sejak zaman Wona Kaka dahulu. Biarpun jalan masuk ke mata air ini menurun
dan curam, mata airnya sendiri indah dengan air yang jernih. Di beberapa sisi,
di bawah bebatuan karang, tampak ikan-ikan kecil berenang. Indah dan asyik
banget kalau misalnya kita niat duduk bengong di mata air itu.
Selain mata air, kami juga menemukan sisa-sisa tempat aktivitas warga benteng zaman dulu, seperti tugu batu untuk persembahan dan tugu batu tempat menggantungkan hasil panenan. Peringatan: penjelasan setelah ini agak sadis. Bagi yang sensitif, lompati saja paragraph ini ya. “Natara Koki” sendiri artinya “tugu persembahan musuh”. Jadi, pada zaman dahulu, zaman perang suku, suku-suku yang kalah perang akan dipenggal kepalanya di sebuah meja batu. Meja itulah yang disebut sebagai “natara koki”.
![]() |
Mata Air Benteng Natara Koki |
Selain mata air, kami juga menemukan sisa-sisa tempat aktivitas warga benteng zaman dulu, seperti tugu batu untuk persembahan dan tugu batu tempat menggantungkan hasil panenan. Peringatan: penjelasan setelah ini agak sadis. Bagi yang sensitif, lompati saja paragraph ini ya. “Natara Koki” sendiri artinya “tugu persembahan musuh”. Jadi, pada zaman dahulu, zaman perang suku, suku-suku yang kalah perang akan dipenggal kepalanya di sebuah meja batu. Meja itulah yang disebut sebagai “natara koki”.
Balik lagi ke bentengnya, menurut Bpk. Robert, tempat ini
dulunya tidak seterbuka ini. Dulunya adalah hutan yang tebal dan lebat. Dengan
hutan yang lebat di sisi Selatan, Timur, dan Barat serta Samudera Hindia di
sisi Utara, Natara Koki menjadi benteng yang ideal untuk pertahanan dan
persembunyian.
Sayang sekali, setelah pertempuran di Natara Koki, Wona Kaka
dan pasukannya harus meninggalkan benteng itu karena dirasa sudah tidak aman
lagi.
HARAPAN
Jujur, saya sedih sekali melihat kondisi benteng bersejarah
ini. Entah kepada siapa ya saya harus menyampaikan ini. Benteng ini adalah
benteng bersejarah. Saksi bisu beratnya perjuangan para pahlawan mempertahankan
tanah pusaka. Pembangunan setiap batunya adalah moment berharga yang tidak bisa
diulang lagi. Kalau sekarang kita sudah merdeka, lalu kita abaikan tempat
bersejarah ini, apakah kita tidak menjadi orang yang tidak tahu berterima
kasih?
Kita bisa menikmati lancarnya pembangungan (termasuk
membangun jalan raya dan tempat wisata) berkat kemerdekaan, yang di antaranya
diperjuangkan oleh para pahlawan. Lalu, mengapa kita meremehkan peninggalan
perjuangan para pahlawan itu? Apa yang kita pertanggungjawabkan kepada anak
cucu kelak? Bagaimana mungkin peninggalan nenek moyang mereka ini direnggut
dari mereka? Apakah mereka tidak berhak tahu dan ikut memiliki benteng ini?
Di zaman yang serba matre ini orang memang menghitung segala
sesuatunya dengan dasar hitungan ekonomis. Yang dianggap tidak bernilai
ekonomis, dihancurkan. Sedih sebenarnya ya pemikiran ini. Tapi begini,
sebenarnya kita bisa mengambil nilai ekonomis dari benteng ini (kalau saja
tidak keburu habis dijarah dan dihancurkan).
Saya pernah ke Monkey
Forest di Ubud. Itu sebenarnya area hutan asli tempat monyet hidup. Nah, di
hutan itu dibangun semacam jalur untuk pejalan kaki. Para pejalan kaki
(pelancong) bisa menikmati hutan asli dengan para monyet sebagai “aktor”
utamanya. Kalau sudah pernah ke Monkey
Forest, pasti tahu begitu berjejalnya turis internasional dan domestik
menikmati suasana hutan yang sejuk dan asri, serta monyet yang lucu dan nakal
itu.
Melihat “Natara Koki” saya langsung terpikir tentang Monkey
Forest. Sebenarnya kosep Monkey Forest ini bisa diterapkan untuk Natara Koki;
dibangun sebuah jalur menyusuri tembok-tembok benteng ini. Sambil menikmati
hutan (yang tentu saja harus dibangun kembali), para pelancong bisa disuguhi
tentang sejarah perjuangan Wona Kaka. Tracking ini bisa memanfaatkan sisi Utara
yang memang secara alam tampak indah. Area wisata budaya ini pada akhirnya bisa
bekerja sama dengan wisata alam Danau Weekuri di sebelahnya. Hanya membangun
lokasi wisata Danau Weekuri dan mengabaikan Natara Koki menunjukkan betapa
dangkalnya pengetahuan dan penghargaan kita terhadap sejarah bangsa. Saya
kurang mengerti, kualitas bangsa yang bagaimana yang hendak dibangun kalau kita
mengabaikan sejarah.
Maaf kalau saya agak nyolot. Jujur, sedih, gemas, cenderung
geram, melihat begitu minimnya perhatian dan penghargaan terhadap situs sejarah
ini. Bagaimana masyarakat luas (dalam hal ini nasional) mau menghargai Wona
Kaka, kalau kita sendiri abai terhadap peninggalannya? Mudah-mudahan pemerintah
daerah mau lebih berusaha keras untuk menyelamatkan situs sejarah ini.
Baiklah, itulah hasil perjalanan saya hari itu bersama Bpk.
Robert Bumma dan Louis (yang menjadi supir ojek saya) ke Benteng Natara Koki. Hari
itu kami masih mampir ke rumah Raja Hermanus Rangga Horo (RIP), raja terakhir
Kerajaan Kodi. Namun, itu saya ceritakan di artikel tersendiri ya.
***
Homba Karipit, 11
November 2019
@agnes_bemoe
Most bettors FOX 5 spoke to said they plan to benefit of|benefit from|reap the advantages of} mobile. Saracenresort.com must review the safety of your connection earlier than proceeding. After 온라인카지노 a radical analysis of the business implications of the pandemic and its induced financial crisis, growth in the Betting segment is readjusted to a revised four.4% CAGR for the next 7-year interval.
ReplyDelete