Bab
I.
SEBUAH PERTEMUAN
Bandung
di bulan April, jalanannya masih ramai dengan pengunjung, biarpun tidak sepadat
bulan-bulan kemarin, waktu orang sibuk merayakan Tahun Baru, Valentine, dan Imlek.
Kota cantik yang dikelilingi gunung Tangkuban Perahu itu tetap diminati
wisatawan, dalam maupun luar negeri. Mereka suka udaranya, mereka suka makanannya,
dan mereka juga suka wisata belanjanya yang murah meriah.
Di sudut butiknya, Rina sedang sendirian
bersama laptopnya. Dipandanginya layar di depannya. Matanya lekat di layar itu,
tapi pikirannya jauh melayang. Ia menghela napas panjang. Butiknya sedang tidak
ramai. Tapi, bukan itu yang meresahkan hatinya. Kembali Rina melirik layar
laptopnya. Mungkin memang keinginannya yang terlalu gila, bahkan untuk jaman
super canggih sekarang ini! Pikirnya sendiri. Ia ingin bertemu dengan Wen.
Rina tersenyum kecil. Setelah
duapuluh tahun tak pernah bertemu bahkan mengingat Wen, sekarang ia tiba-tiba
malah ngebet pingin bertemu dengan
lelaki itu. Wen, lelaki lugu, kakak kelasnya di SMP. Wen yang berwajah imut.
Wen yang… aah… Rina tak sanggup melanjutkan bayangannya di kepalanya sendiri. Sejenak,
ditopangnya dagunya dengan telapak tangannya.
Entah kenapa, akhir-akhir ini benak
Rina hanya dipenuhi dengan Wen, Wen, Wen, dan Wen! Padahal, harus diakui, dalam
kurun waktu dua puluh tahun ini, tidak sedikit pun ia ingat kembali akan Wen.
Begitu banyak lelaki dalam hidupnya, untuk apa juga ia mesti mengingat masa lalunya
itu. Namun sekarang, ada yang kemudian selalu menggelitik relung kalbunya,
membuatnya mau tak mau mengingat lelaki itu. Entah bagaimana awalnya, Rina juga
tidak mengerti.
Sejak Natal tahun lalu Rina
berharap bisa bertemu Wen, yang entah di mana berada. Rina sibuk mencari di facebook-nya. Namun, hasilnya nihil.
Melalui situs jejaring sosial yang ajaib itu Rina sudah bertemu dengan
teman-teman lamanya, bahkan sampai pada teman SD-nya. Beberapa temannya semasa
SMP juga sudah ada di friendlist-nya.
Tapi, tak juga Rina bisa menemukan Wen.
Rina berharap ada keajaiban buatnya
di hari Natal. Nyatanya, Natal dan Tahun Baru berlalu, Wen tak juga bisa
diketemukannya. Rina tak putus asa. Kembali ia berharap semoga ada keajaiban di
saat Imlek, mengingat Wen seorang Tionghoa. Agak aneh dan tidak nyambung memang, tapi Rina mengabaikan
akal sehatnya. Aku ingin sekali ketemu Wen, aku ingin sekali ketemu Wen… itu
doanya.
Imlek berlalu. Lagi-lagi Rina harus
kecewa. Ia tak kunjung bisa menemukan Wen. Bahkan sampai dengan Valentine
kemarin, yang kata orang hari penuh keajaiban kasih sayang. Rina berharap
sesekali keajaiban itu jatuh padanya. Nyatanya, Valentine hanya mitos.
Setidaknya buat Rina saat itu karena ia tetap tidak bisa menemukan Wen di hari
Valentine.
Kembali Rina menggeser-geserkan
kursor laptopnya dengan jemu. Heran, sekian banyak orang di masa lalunya bisa
dijumpainya hanya dengan satu kali klik. Tapi kenapa yang satu itu tak dapat
ditemukannya! Rina menggeram sendiri dalam hati.
“Kamu kenapa sih, Rin? Kok nggerundel
sendiri kayak orgil!”
Rina terkaget-kaget karena teguran
Sisca barusan. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Sisca.
“Nggaaak, hehehe… biasa, inet
lelet!” Rina buru-buru beralasan, dan pura-pura sibuk dengan laptopnya.
“Aku mau ngirim barang nih, kamu
ikut nggak?”
“Ng… nggak ah, bawa’in oleh-oleh
aja… hihihi…!”
“Huh!” Sisca memajukan mulutnya,
sambil berlalu.
Rina memandangi Sisca pergi, sampai
si hitam manis itu menghilang di balik pintu. Segera, ia kembali ke laptopnya
lagi. Ah, jangan-jangan aku ini lagi sibuk mikirin suami orang, Rina menepuk
jidatnya sendiri. Sekian lama waktu berlalu, tidak mustahil Wen sudah punya
istri, bahkan anak-anak yang manis dan lucu. Selintas berkelebat di benak Rina,
bayangan Wen dengan keluarganya. Rina menelan ludah pahit. Aku sendiri yang
tergila-gila. Wen mungkin malah sudah lupa sama aku. Rina menatap lemas pada
layar laptopnya.
Sambil menghela napas berat ia
mulai mengetik.
-
Pengen
ketemu titik titik -
Rina mengklik ikon share. Status yang alay sebetulnya, pikir Rina sendiri. Tapi, Rina tak dapat menahan
diri untuk mengungkapkan keinginannya bertemu Wen. Hanya saja, ia terlalu malu
untuk menuliskan nama Wen di statusnya.
Tiba-tiba:
-
Aiiih,
pengen ketemu sapa sih??? –
Itu Lisa, teman karibnya di SMP.
Rina ngakak sendiri, melihat ada juga
yang peduli pada status gak jelasnya.
-
Ada
ajah! :p Eh, aku inbox yaa… –
-
Manggaaaa….
–
Rina buru-buru membuka message-nya.
-
Lisa,
jangan ngakak ya… Masih ingat sama Wen, nggak?-
-
Wen?
Oo.. Wen SMP?? Ya masih laaa…. Ngapa? –
-
Qeqeqe….
Jangan ngakak lagi… Janji ya! –
-
Iya!
Ngapa sih? –
-
Aku
tiba-tiba pengeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeen banget ketemu sama Wen…-
-
Bwahahahahahaha….
*sori, ga tahan* Udah tobat ya? Mo minta maap??? –
-
Grh…!
Ga usah gitu la yaa…L Aku tiba-tiba teringat aja… pengen
ketemu…. –
-
Emang
kamu udah add dia? –
-
Emang
ada di fb????????? –
-
Ya
ampyuuuuun! Ada laaa…!!! Cari aja: wendy wu. *dung!dung!dung!* –
-
HAAAAAAA!!!!!!
Ya ampyuuun!!? Wendy Wu???????? Sejak kapan dia pake nama itu?? pantesan aku
cari sampe pingsan ga dapat-dapat!!!! -
-
Ya,
udah, cari aja sana… -
Buru-buru Rina mengetik nama “Wendy
Wu” di kotak search-nya. Pantas tak
ketemu juga! Rina hanya tahu nama kecil Wen. Sama sekali tak terbayangkan
olehnya Wen akan berganti nama, dan bahkan memakai nama marganya. Dan, Rina
juga sama sekali tak tahu Wen itu marga apa.
Dengan penuh harap, Rina mengamati
bagaimana mesin pencari di facebook
itu bekerja. Aduuuh, dia masih ingat nggak ya, sama aku? Rina berbisik dengan
cemas.
Di depannya, sekian banyak nama “Wendy
Wu” muncul. Yang mana satu? Pikir Rina kebingungan. Rina mencoba nama yang
pertama. Dengan tak sabar, ditunggunya sampai layar laptopnya menunjukkan profile picture. Ineet, cepatlaaah…!
Rutuk Rina dengan tak sabar.
Dan, pelahan-lahan, layar di laptop
itu menampakkan sebentuk foto, yang agak kurang jelas, menurut Rina. Tapi,
memang foto seorang lelaki, putih, pasti Tionghoa, agak gemuk, berkaca mata
hitam, dengan kaus abu-abu. Keren! Ini Wen?? Rina terbelalak sendiri di depan
laptopnya. Lalu kemudian dikernyitkan darinya tanda tak percaya. Ini Wen???
Kembali ia bertanya sendiri dalam hatinya. Sudah dua puluh tahun ia tak bertemu
Wen. Terakhir yang ia tahu Wen adalah seorang remaja lugu. Imut tapi dingin. Tapi, tampan, bisik Rina sendiri dalam hati.
Dengan tak percaya dipandanginya foto di depannya itu.
Cepat-cepat ditelusurinya info
tentang Wen, atau orang yang disangkanya Wen itu. Benar, lahir di
Bagansiapiapi, tanggal sekian sekian! Tak salah lagi! Ini pasti Wen. Rasanya
tidak mungkin ia mengenal orang lain bernama Wen yang lahir di Bagansiapiapi.
Kembali Rina menelusuri data itu.
Hmm… nampaknya Wen jadi orang sukses. Ia kuliah di Jakarta, dan kemudian kerja
di Singapura. Wow! Hebat amat! Pikir Rina sedikit iri. Kemudian, Rina teringat
satu hal. Sejenak ia menahan nafas. Aku harus siap, seandainya… seandainya ia married. Pria keren seperti Wen, tidak
mungkin lambat menikah. Sesaat Rina menghentikan tangannya. Ia sedang
menghitung, apakah ia akan kuat menerima kenyataan. Kembali Rina menarik napas
panjang.
Dengan berdebar-debar Rina
menggeserkan kursornya. Dan, Rina terhenyak akan apa yang dilihatnya: single.
Rina terbelalak sendiri! Single??
Masak sih?? Single?? Antara senang dan tak percaya, Rina mengamati enam huruf
di depannya itu. Sampai-sampai tangannya bergetar sendiri, tanpa mampu
dikuasainya.
Setelah beberapa saat, barulah Rina
berhasil menenangkan diri. Ah, kali aja dia menyembunyikan statusnya, pikir
Rina. Tapi, kalau Wen belum berubah, rasanya, bukan tipe Wen, berbohong tentang
dirinya.
Dan, masih ternganga dengan layar
di depannya, Rina meng-klik ikon send
request.
***
Selanjutnya, baca di sini ya: Menari di Atas Awan31 Mei 2018
Pace e Bene,
Agnes Bemoe
No comments:
Post a Comment