Judul Buku : Melukis Senja
Genre : Fiksi - Kumpulan Puisi
Penulis : Tantrini Andang dan Yusup Priyasudiarja
Penerbit : Penerbit Pohon Cahaya, 2016
Tentang
hal-hal yang tak terungkapkan,
aku
ingin punguti apa-apa yang kau tinggalkan,
sajak
cinta, senja, dan hujan,
lalu
satu demi satu,
akan
kueja bersama waktu,
karena
selalu akan ada yang tak sama,
dalam
setiap langkah kepergian,
yang
menjadi rahim dari rasa kehilangan.
(Tentang
Kehilangan, Hal. 89)
Puisi di atas seolah menjadi
ringkasan atasantologi bertajuk “Melukis Senja”. Cinta, senja, dan hujan
ditaburkan dengan indah di sepanjang buku 182 halaman ini. Dari ketiganya,
senja seolah mendapat porsi sedikit lebih banyak sehingga tidak berlebihan
kalau kumpulan puisi yang ditulis oleh Tantrini
Andang dan Yusup Priyasudiarja
ini terasa sebagai sebuah panggung untuk senja.
Seratus empatpuluh
puisi kamar; sembilanpuluh karya Tantrini Andang selebihnya karya Yusup
Priyasudiarja mengalir dengan indah dan lembut sejak dari “Senja Tanpamu” sampai “Gerimis
atau Hujan”. Konsistensinya sungguh patut diacungi jempol. Kelihatan sekali
penulis memilih diksinya dengan cermat dan merangkaikannya dengan terampil. Tidak
hanya konsisten dalam kualitas puisi, namun juga dalam hal penuturan. Saya
kagum dan salut kepada kedua penulisnya. Puisi-puisi di buku ini seolah ditulis
oleh satu orang yang sama! Karena menyangkut rasa, saya pikir hal ini tidak
mudah.
Namun demikian, yang
jauh lebih penting daripada diksi dan teknik pemuisian adalah kesediaan penulis
untuk membuka diri secara jujur dan otentik, membiarkan pembaca masuk pada
ruang batin si aku liris di setiap puisinya, dan karenanya membiarkan pembaca
untuk ikut merasakan apa yang dirasakan si aku liris; entah rindu, rapuh, ataupun
penuh harap.
Saya bersyukur atas
terbitnya kumpulan puisi ini. Dunia tulis-menulis sekarang ini saya rasa sedang
dirajai oleh tulisan yang bertabur kata-kata indah namun lebay tanpa makna. Antologi ini menunjukkan kepada kita bahwa kita
bisa menggunakan kata-kata dengan indah dan anggun sambil menitipkan makna yang dalam di setiap
kata-katanya.
Selain karena puisi-puisinya
yang seolah-olah membawa para pembaca terbang dengan awan-awan, saya salut
dengan tata tulisnya. Tidak sedikit penulis –bahkan yang mengaku penyair- abai
tentang tata tulis ini. Akibatnya, puisi yang sebenarnya indah menjadi
berkurang nilainya. Syukurlah, puisi-puisi dalam antologi ini tidak mengalami
penurunan nilai karena tata tulis yang ceroboh.
Namun demikian, ada beberapa
hal yang mengusik saya. Yang pertama, tentang tema dan para penulisnya. Apa
yang mengikat mereka? Apa bedanya kalau Tantrini Andang dan Yusup Priyasudiarja
menulis sendiri-sendiri dalam buku masing-masing? Saya teringat akan “Tiga Menguak Takdir”, karya besar tiga
orang penyair Rivai Apin, Chairil Anwar, dan Asrul Sani. Mereka mengikat diri
dalam tema mendobrak kekunoan pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana saat itu dalam
menginterpretasikan sastra. Kembali kepada “Melukis
Senja”. Tentu saja tidak wajib ada semacam tema kuat pengikat
keseratusempatpuluh puisi di dalam buku ini. Namun, saya pikir akan lebih
kental seandainya Tantrini Andang dan Yusup Priyasudiarja bersedia menyortir
lagi puisi-puisinya ke dalam sebuah tema yang lebih sempit.
Hal berikutnya adalah cover. Saya tidak mempermasalahkan ilustrasinya
(saya dengar, cover bahkan digambar
sendiri oleh Tantrini Andang, yang mana ini merupakan nilai lebih bagi kumpulan
puisi ini). Hanya saja, untuk selera pribadi saya, cover terkesan suram. Endorsement Joko Pinurbo yang diterakan
di bagian cover pun seolah tenggelam
dan agak sulit ditangkap. Dan ini, menurut saya, sangat disayangkan.
Namun demikian,
terlepas dari itu, antologi puisi ini adalah buku yang sangat berharga untuk
dimiliki dan dikoleksi. Saya sangat menikmati puisi-puisinya dan saya
merekomendasikannya pada siapa saja yang gemar membaca atau menulis puisi.
***
Pekanbaru, 12 November 2016
@agnes_bemoe
terima kasih mbak Agnes sudah bersedia mereview karya kami....luar biasa!
ReplyDelete