AWALNYA DARI RASA KESAL
Ya,
saya suka kesel kalau murid-murid saya (dulu) alpa minta maaf, atau menyebutkan
kata “tolong”, atau bilang “terima kasih”. Ketika sudah tidak lagi menjadi guru
dan banyak “bergaul” di media sosial saya juga menjumpai hal yang sama.
Parahnya, ini terjadi pada orang-orang yang sudah bukan anak-anak lagi.
Berapa
kali saya menemukan seseorang yang bertanya pada saya menghilang begitu saja
setelah diberi jawaban (yang biasanya cukup panjang lebar). Atau, bila ada
perselisihan, jarang sekali ada yang lebih dulu minta maaf dengan tulus dan
berusaha memperbaiki situasi. Kebanyakan saling adu otot untuk membuktikan
dirinya benar.
Di
dunia nyata sangat sering saya jumpai orang-orang yang enggan antre. Perilaku
yang abai dan menyebalkan ini sialnya bukan hanya kasuistis, tapi sudah menyebar,
nyaris menjadi karakter bangsa ini. Bener nggak sih? Karenanya, saya prihatin
(hadiih, kok kayak Pak Mantan Presiden yah). Jelas sekali, sopan santun tidak
dianggap penting.
Kekesalan
itulah yang memicu ide membuat kumpulan cerita ini.
SETTING,
KARAKTER, DAN “SUNGAI SEY”
Lalu
saya mulai menulis. Suwer, relatif gampang karena saya mencontek kejadian yang saya
alami atau saya lihat. Awalnya saya menggunakan tokoh-tokoh real. Setelah saya baca
lagi, rasanya kurang cute.
Ketika
mencari penggantinya, saya langsung terpikir tentang komunitas sungai. Rasanya setting ini belum banyak digunakan. Saya
membayangkan sungai-sungai asli Indonesia tempat hewan-hewan seperti kodok,
itik, atau buaya tinggal. Dari situlah tokoh Bonnie buaya pink, Edo si kodok
oranye, atau Lucy si angsa ungu lahir.
Nama
“Sungai Sey” muncul ketika saya kebingungan mencari nama sungai yang berbau
Indonesia. Saya lalu teringat, masyarakat Riau menyebut “sungai” sebagai “sei”.
Jadi “Sei Siak” adalah “Sungai Siak”. Tara! Kenapa tidak memakai kata “sei”
saja. Kebetulan sekali berima dengan kata-kata lainnya, semuanya diawali dengan
huruf “S”: Suatu Hari di Sungai Sey.
Bukti terbit |
JALAN
PANJANG DARI MENULIS SAMPAI TERBIT
Naskah
“Sungai Sey” ini sebenarnya naskah lama. Saya tulis awal tahun 2012. Tapi dasar
saya, bukannya dikirim ke penerbit, naskah itu malah saya pendam.
Saya
lalu mengerjakan naskah lain yang memang direncanakan untuk dikirim ke
penerbit. Itulah naskah “Kumpulan Kisah Santo Santa”. Kemudian saya menulis
naskah ini dan itu, “Sungai Sey” benar-benar “tenggelam”.
Bulan
Maret 2014 saya mendapat tawaran menulis dari Tiga Ananda. Sambil mengumpulkan
naskahnya, saya memberanikan diri mengirimkan “Sungai Sey”. Syukurlah, pertengahan
Juni 2014 saya mendapat kabar kalau “Sungai Sey” diterima dengan perubahan.
Mbak Yenni dari Tiga Serangkai meminta supaya naskah yang tadinya terdiri dari
lima cerita terpisah ini dibuat menjadi satu buku.
Agustus
2014 saya diminta memangkas “Sungai Sey”. Revisi belum sempat saya kerjakan,
saya malah jatuh sakit. Saya terkena HNP (Herniated Nucleus Pulposus) atau
syaraf kejepit untuk kedua kalinya. Selama Agustus – September 2014 saya keluar
masuk RS tiga kali. Jangankan mengerjakan naskah, menggerakkan badan pun saya
tak bisa. Sekeluar dari RS saya masih harus bed-rest sampai sekitar awal
November. Saya sudah pasrah. Kalau Tiga Serangkai tidak jadi menerbitkan “Sungai
Sey”, saya bisa mengerti.
Syukurlah,
saya diberkati dengan editor yang baik. Mbak Yenni ternyata membantu
memangkaskan “Sungai Sey”. Terima kasih, Mbak Yenni! Selanjutnya adalah proses
ilustrasi bersama InnerChild Std. Untungnya, ketika mengajukan proposal naskah,
saya sudah menyertakan deskripsi ilustrasi per halaman. Jadi, saya bisa sakit
dengan “tenang” (Halah! Gimana toh maksudnya :p)
Selama
kurun waktu itu pikiran saya terkuras oleh penyakit. Bisa dikatakan saya “lupa”
pada “Sungai Sey”, InnerChild Std, dan Mbak Yenni. Maka, sebuah surprise yang amat sangat menyenangkan
ketika pada bulan Februari saya diberi tahu kalau “Sungai Sey” sudah terbit.
Yeay!
TERIMA
KASIH
Karena
sakit yang berkepanjangan (dari November 2013), saya kira tahun 2015 ini tidak akan
ada buku saya yang terbit. Teman baik saya sudah menghibur, “Tidak apa-apa,
yang penting sehat dulu. Nanti kan bisa menulis lagi.” Iya sih, tapi jujur,
sedih juga membayangkan tidak ada buku yang terbit.
Ternyata
dugaan saya keliru! “Suatu Hari di Sungai Sey” membuat tahun 2015 saya cerah.
Tata, 7 th, asyik baca "Suatu Hari di Sungai Sey" |
Karenanya,
saya mau berterima kasih pada banyak pihak. Pada Penerbit Tiga Serangkai, Tiga
Ananda, dan terutama pada Mbak Yenni Saputri. Terima kasih juga pada InnerChild
Std. (ilustrasinya bener-bener cuuuute to the max!).
Tak
lupa saya ucapkan terima kasih pada yang sudah membeli “Suatu Hari di Sungai
Sey”. Tidak sedikit di antaranya yang memberikan umpan balik yang positif,
seperti “gambarnya khas Indonesia”, “anak saya asyik baca, tidak mau berhenti”,
“saya terbantu mengingatkan anak saya lewat ceritanya”, dll. Sangat
menyenangkan menerima umpan balik seperti itu.
Harapan
saya, buku ini diterima baik oleh anak-anak Indonesia. Harapan saya juga, saya
cepat pulih, dan bisa “menumpahkan kekesalan yang lain” lewat cerita… hehehe….
***
Pembatuan, 21 Maret 2015
@agnes_bemoe
Info detail tentang "Suatu Hari di Sugai Sey" bisa dibaca di sini
Tonton video imutnya di sini
No comments:
Post a Comment