Follow Us @agnes_bemoe

Tuesday 10 June 2014

BEHIND THE SCENE [BTS]: BO & KAWAN-KAWAN DI PETERNAKAN KAKEK ARS

PITA DAN BO




Membicarakan “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars” mau tidak mau harus menyinggung buku pertama saya, judulnya “Pita, Si Pipit Kecil”. Buku bilingual ini terbit secara indie pada 1 Desember 2010. “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars” sebenarnya kelanjutan dari “Pita, Si Pipit Kecil”.

Tanggal 1 Juli 2010 secara resmi saya bukan lagi seorang guru. Saya langsung mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu, apa saja, asal tidak menganggur di hari itu. Kegiatan pertama yang terlintas adalah menulis. Jadi, pukul 8.00 persis saya sudah ada di balik laptop.

Kebetulan di saat yang sama, saya sedang punya banyak hal untuk dicurhatkan. Entah bagaimana curhatan saya itu terluahkan dalam bentuk cerita anak. Catatan: saya tidak pernah membayangkan diri saya sebagai penulis cerita anak. Saya belum pernah menulis cerita anak sebelumnya. Saya lebih banyak menulis artikel pendidikan atau puisi/cerpen dewasa.

Nah, dengan membiarkan kepala saya dibawa oleh takdir, jari-jari saya mengetikkan sejumlah cerita anak. Paling tidak sehari satu cerita. Ceritanya tentang apa? Tentang seekor burung pipit yang menerima perlakuan tidak adil dan kejam dari Raja Kishin dan antek-anteknya (sebetulnya bukan konsumsi anak-anak ya? :D ). Pita diusir dari istana Raja Kishin. Ia mengembara di Hutan Kumalama. Dalam pengembaraannya ia bertemu banyak teman dan membagikan kebaikan serta kebijaksanaan bagi teman-temannya.

Waktu cerita-cerita itu saya unggah di facebook, beberapa teman bilang “bagus”. Beberapa lagi menyemangati untuk diterbitkan. Singkat cerita, sepuluh dari beberapa cerita Pita itu saya terbitkan secara indie di Penerbit LeutikaPrio.

DARI MANA IDENYA?




Seperti saya katakan di atas, cerita-cerita Pita sebenarnya curcol saya. Kegetiran saya melihat orang (dewasa) tidak segan melakukan hal-hal rendah (memfitnah, menuduh semena-mena, atau bersikap sombong dan sok kuasa, bahkan sampai membunuh karakter seseorang) hanya demi kekuasaan atau kedudukan. Orang dewasa yang saya maksud ini bahkan ada di lingkungan pendidikan dan dekat dengan kehidupan rohani spiritual.

Sudut pandang saya langsung teralih pada para korbannya. Bagaimana kalau para korbannya tidak punya kekuatan mental untuk menghadapi situasi sulit seperti itu? Dan, yang lebih mencemaskan saya lagi, bagaimana kalau korbannya adalah anak-anak? Apakah mereka siap? Sebagai seorang (mantan) guru, saya tahu persis, sekolah tidak persis betul mempersiapkan anak-anak untuk hal-hal seperti ini.

Ada pada situasi ini membuat saya seperti kedatangan ide. Berbagai cerita sepertinya langsung menari-nari di kepala saya, minta ditulis. Dan memang langsung saya tulis. Asli, benar-benar ditulis mentah, tanpa tahu bagaimana sebaiknya struktur tulisan untuk anak-anak. FYI cerita di Pita, satu cerita bisa sampai 1.200 kata! Setelahnya baru saya tahu bahwa untuk anak sebaiknya jumlah kata berkisar antara 500 – 600 kata.
Selain itu, bahasanya juga masih berat sekali untuk anak-anak. Okelah, there always be the first time for everything kan? :D

KE PENERBIT MAYOR
Waktu sudah mengenal penerbit mayor, saya berniat menerbitkan sisa cerita yang belum sempat terbit. Saya kirimkan lima buah cerita. Tokohnya saya ubah, tidak lagi seekor pipit kecil di sebuah rimba, melainkan tokoh hewan-hewan laut (penyu laut, cumi-cumi, barakuda, dll).

Ceritanya juga saya lengkapi dengan permainan untuk mengenali emosi a la buku Emotional Intelligence – Daniel Goleman. Kebetulan, waktu masih menjadi guru, saya sering menuliskan artikel pendidikan. Artikel-artikel itu sebenarnya “perpanjangan” (atau potongan) dari buku-buku pendidikan yang saya baca, salah satunya buku-buku Emotional Intelligence Daniel Goleman. Nah, beberapa dalil dalam buku Daniel Goleman inilah yang saya sisipkan di masing-masing cerita.

Memupuk kecerdasan emosional inilah yang menurut saya sangat kurang diperhatikan dalam sistem pendidikan formal. Di dalam keluarga, kita sepertinya belum sepakat tentang bagaimana mendidik anak (contoh sederhana: dalam hal buang sampah, TIDAK semua keluarga mengajarkan hal ini, apatah lagi bila bicara kecerdasan emosional). Ini lebih mendorong saya untuk menuliskan cerita-cerita ini.

Saya ingin para pembaca kecil bisa mengidentifikasikan diri mereka dengan masing-masing tokohnya. Bila kebetulan mereka menjadi sasaran perlakuan kurang menyenangkan, mereka mendapat contoh bagaimana mengambil tindakan yang tepat. Bila kebetulan mereka bukan yang menjadi sasaran, paling tidak mereka bisa ikut merasakan atau berempati. Empati adalah salah satu indikator kecerdasan emosional yang sejak dini harus dilatih.

Atas dorongan dari Dian Kristiani (tidak perlu saya jelaskan siapa), saya mengirimkan lima cerita tersebut ke Penerbit BIP. Syukurlah konsepnya diterima. Hanya saja dengan beberapa pertimbangan, karakternya diganti, tidak menggunakan hewan laut. Disarankan untuk mengganti dengan hewan di peternakan atau di hutan. Karena hewan di hutan sudah tertuang dalam PITA maka saya memilih hewan di peternakan: sapi, kambing, kuda, domba, ayam, itik, keledai, bahkan tikus dan kecoak. Saya memasukkan tokoh manusia yaitu Kakek Ars, pemilik peternakan.

Sebagai tokoh sentral saya memilih seekor sapi yang saya beri nama Bo. Tidak ada alasan khusus kenapa harus sapi dan harus Bo. Tercetus begitu saja. Saya pikir, cute juga nama Bo.

Disarankan juga menambah cerita menjadi delapan. Usulan ini malah menimbulkan ide di kepala saya: kenapa tidak dibuat setting negara empat musim, masing-masing musimnya dua cerita. Jadi seolah-olah sepanjang tahun ada cerita. Ini menggambarkan bahwa setiap saat kita pasti menghadapi tantangan.

Maka, saya tulis tiga cerita tambahan dan merevisi cerita sebelumnya. Salah satu ide untuk cerita tambahan saya dapatkan dari… usulan seorang pembaca kecil PITA! Iya benar. Saya punya teman fb, Vincensia Naibaho namanya. Ia punya seorang putri bernama Liwen. Setelah selesai membaca PITA ia tanya pada mamanya: kenapa tidak dibuat cerita tentang Pita yang menolong seseorang (atau seekor) yang buta? Wah, ide itu langsung saya tangkap. Dan jadilah cerita “Yuk, Nyanyi!” –cerita pertama di “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars”- Terima kasih Liwen atas usulan idenya. Bangga sekali bisa memenuhi permintaan seorang pembaca cilik.



Pendek cerita, cerita tambahan dan revisi diterima.

Langkah selanjutnya: illustrator.
Saya bersyukur sekali kenal dengan InnerChild Std (Kang Dwi dan mbak Maya cs). Tanpa banyak kesulitan ilustrasi dibuat oleh InnerChild Std. Hasilnya juga imuuut banget! Saya sampai amazed sendiri! Melihat previewnya saja sudah ternganga-nganga, apalagi melihat dummy-nya. Dan, apalagi melihat bukunya langsung!

LEMBAR DEDIKASI
Lembar ini adalah lembar yang saya usulkan di last minute. Last, but not least pastinya. Sebagai penulis baru saya tentu masih segan mengajukan penambahan halaman, dll. Padahal keinginan untuk mendedikasikan buku ini pada seseorang sudah terbit sejak pertama kali diajukan ke penerbit.

Nah, pada last minute itulah saya mengajukan lembar dedikasi ini pada mbak Putri (editor waktu itu). Syukurlah ternyata usulan ini diakomodir.

Buku ini saya dedikasikan untuk seorang penulis terkenal yang selama ini sudah begitu baik hati pada saya, menjadi mentor saya, meng-encourage saya, dan segala yang bisa dilakukan sehingga ulat bulu ini survive di kepompongnya... hehehe...

Ya, bila anda melihat halaman pertama di buku ini, anda akan menemukan nama cantiknya di situ. Anda mengerti sekarang, mengapa nama itu yang saya terakan.

TERBIT!




Awal Juni 2014 kemarin saya sedang jalan-jalan ke Padang. Saya menyempatkan diri ke Gramedia. Betapa terkejutnya saya, “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars” ternyata sudah nongkrong manis di rak! Wow!

Mudah-mudahan “Bo & Kawan-Kawan di Peternakan Kakek Ars” diterima oleh pembaca ya…. Terima kasih untuk Penerbit BIP, terima kasih untuk InnerChild Std. Terima kasih buat semuanya. God bless us.

***

Pekanbaru, 11 Juni 2014
Agnes Bemoe

6 comments:

  1. Behind the scene yang menginspirasi ............ Selamat ya mbak Agnes ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Matur nuwun, mbak Astri... gak cuman karena sudah tinggalkan jejak, tapi juga karena mbak Astri banyak membantu aku untuk jadi penulis :)

      Delete
  2. Mbaaaak.... behind the scane-nya seolah menjawab kebingungan saya yg sedang menulis buku anak. Semoga saya segera mengikuti jejakmu, seperti buguru Astri Damayanti, dan juga temen lainnya (Mbak Dhia nisa, mbak Sri widyastuti, semua MP ers dech pokonya). Makasih ya.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Syukurlah kalo bermanfaat :) Ayoo, segera nyusuul... heuheuheu... :)

      Delete
  3. Saya belum beli buku Bo, mau dong intip2 isinya hihiihiii, postingin bbrp halaman dong kak Agnesss biar makin tergodaaa.... ;)

    ReplyDelete
  4. Inspiring semangat mba Agnes....dan teman" behind the scene...berkat luar biasa

    ReplyDelete