Penulis : Dian Kristiani
Ilustrator : Indra Bayu
Genre : Novel Anak
Penerbit : Penerbit Kiddo
Halaman : 110 halaman
Gecho, Gecko Macho, oleh Dian Kristiani |
Tak seorang pun berpikir untuk menjadikan seekor tokek sebagai hewan peliharaannya (pet). Tapi tidak untuk Maretta. Ia malah kegirangan waktu mendapat warisan seekor leopard gecko dari Kakek Suwignya, kakek jauhnya.
Leopard gecko? Ya, leopard gecko. Sejenis tokek yang kulitnya totol-totol cantik mirip leopard.
Secantik apa pun ia, tetaplah seekor tokek, reptil yang tidak semua orang bisa menerimanya. Maka tidak heran kalau Gecho, nama yang diberikan pada si leopard gecko, langsung dapat musuh. Mama dan Kak Angel. Beberapa kejadian membuat Mama dan Kak Angel tidak bisa lagi menerima Gecho di rumah. Papa akhirnya memutuskan untuk menjual Gecho.
Usaha terakhir Etik (panggilan untuk Maretta) inilah yang diceritakan di novel ilustrasi ini.
Novel ilustrasi yang merupakan buku kedua dari empat novel serial Pet-O-Love-Gic ini sangat cocok sebagai "bacaan jembatan" antara membaca cerita bergambar dengan novel. Ilustrasi diintegrasikan ke dalam cerita. Dalam hal ini saya harus angkat jempol pada Indra Bayu, yang ilustrasinya sangat hidup.
Membaca buku ini menjadi tambah menarik karena Dian Kristiani, penulisnya, piawai bercerita. Gaya bahasanya ringan, lucu dan segar. Cerita mengalir tanpa terasa.
Dian Kristiani pandai membesut karaker-karakternya. Etik yang tomboy, mama dan Kak Angel yang lebay, papa yang gaul, serta Bono yang seru dan kompak jadi hidup di tangannya.
Moral cerita berupa menyayangi sesama makhluk, baik manusia maupun hewan, disampaikan tanpa kesan menggurui. Novel ini membawa pembacanya untuk tidak menilai berdasarkan penampilan. Atau dengan lain perkataan, tidak usah terlalu mengangungkan penampilan luar. Gecho yang sangar ternyata menjadi penolong bagi Bono. Etik yang "serampangan" ternyata peduli dan peka terhadap teman. Scary outside, beautiful inside.
Novel ini juga membuktikan bahwa lucu/ringan tidak berarti tidak serius. Atau sebaliknya, keseriusan tidak harus disampaikan dengan "lebay bombay". Adegan Etik berbincang-bincang dengan Bono ketika Bono mengetahui ayahnya tidak lagi bisa bekerja malah jadi adegan favorit saya (halaman 76 - 77). Sangat anak-anak! Yang satu curhat, yang lainnya menanggapi dengan lugu dan spontan. Tidak ada drama yang tak perlu. Tidak ada "mentalitas korban" di sini.
Saya juga sangat menikmati pembicaraan antara papa dengan Etik waktu Etik harus melepaskan si Gecho (halaman 83 - 84). Pembicaraan yang komunikatif, cerdas, sekaligus menyentuh antara ayah dan anak.
Saya rasa anak sangat perlu contoh percakapan yang natural dan sehat seperti itu.
Karenanya, saya sangat merekomendasikan novel yang kavernya eye-cathing ini. Anak-anak tidak hanya terhibur, tetapi juga diberi kesempatan mencerap hal-hal positif; kasih sayang, persahabatan, dan keteguhan hati.
***
Pekanbaru, 3 September 2013
@agnesbemoe
Resensi yang bagus, Mbak Agnes. Suka :D
ReplyDeleteWhoops, ada tamu... hehehe...
DeleteSyukurlah kalau suka, mbak Renny. :)
di rumah mertuaku banyak banget tokek, bener-bener merajalela, sempet berpikir biarin aja deh, kalau ketangkep katanya bisa dijual jutaan. Tapii .. sebelnya pas dia ada di kamar mandi itu lho, takut pas lagi mandi disamber sama si tokek :-p *aih malah curhat
ReplyDeleteWkwkwkw... sekarang ini kok aku jarang ketemu tokek yah... beda sama waktu masih kecil dulu.
DeleteKalo sama tokek, aku ga seberapa takut. Apalgi setelah baca Gecho, terbayang tokek yang kewren gitu.... hihihi...