Follow Us @agnes_bemoe

Friday 6 September 2013

AGENSI NASKAH ATAU BERJUANG SENDIRI YA....?

Buku Pertama saya: Pita, Si Pipit Kecil
Sebelumnya saya ingatkan bahwa tulisan ini berlaku pada diri saya sendiri. Saya tidak bermaksud menggeneralisasikan.

Pertama kali mencoba menerbitkan buku di penerbit mayor, saya diberi kuesioner yang terus terang membuat saya cegukan. Selain pertanyaan standar tentang kelebihan naskah, quesioner itu menanyakan apakah saya punya komunitas, pembicara di seminar, dll (yang intinya punya pasar).

Quesioner itu membuat saya begidik. Saya nekad mengirimkan naskah dan memang tidak diterima. Belakangan, setelah saya baca lagi naskah saya itu, saya sangat bisa mengerti mengapa penerbit menolak. Naskah saya memang masih mentah sekali (kecuali kalau saya punya pasar sekian ribu orang yang bisa saya paksa untuk membeli buku saya).

Lalu, saya berkenalan dengan agensi naskah. Ada yang terang-terangan menyebut dirinya agensi naskah, ada yang tidak. Hanya dua agensi naskah yang saya ikuti. Biarpun hanya dua, saya mendapat pengalaman yang banyak sekali.

Dari agensi naskah ini pertama kali saya belajar tentang outline naskah. Tidak dipungkiri, saya juga mendapatkan pertemanan yang tidak sedikit melalui agensi naskah.


Namun, lama kelamaan saya merasakan ada sesuatu yang kurang cocok. Sejak awal didengung-dengungkan bahwa "penulis pemula tidak akan bisa diterima oleh penerbit mayor", "hanya melalui agensi naskahlah penulis pemula bisa menembus penerbit mayor". Tentu saja hal ini diperkuat dengan testimoni beberapa penulis pemula yang "berhasil" menembus penerbit mayor melalui agensi naskah.

Oke, saya memang sempat terhenyak dengan quesioner dari penerbit mayor seperti yang saya ceritakan di atas. Tetapi, saya juga kurang setuju kalau jalan keluarnya satu-satunya adalah dengan mengikuti agensi naskah. Sebagai penulis pemula saya memang butuh belajar banyak. Tetapi, saya keberatan kalau dalam posisi belajar itu saya otomatis dianggap tak berdaya.

Hal lain yang membuat saya mengevaluasi keikutsertaan saya di agensi naskah adalah mengenai peran agensi naskah itu sendiri. Setelah mengikuti beberapa pembicaraan di media sosial, saya setuju bahwa agensi naskah di Indonesia sifatnya tidak lebih dari "calo" naskah.

Kalau memang sudah sama-sama setuju, tidak ada salahnya juga memakai sistem calo seperti itu. Yang menjadi ganjalan buat saya adalah kampanye dari pemilik agensi naskah. Berulang kali dikatakan bahwa naskah akan dikemas sedemikian rupa sehingga layak diterima. Kedengarannya menjanjikan ya? Padahal kenyataannya, jauh panggang dari api. Dalam suatu tanya jawab, pemilik agensi naskah sendiri kebingungan mengelaborasi kata "mengemas". Artinya, yang bersangkutan hanya memakai kata yang kelihatannya hebat tetapi tidak untuk dilaksanakan. Kalau memang ternyata naskah tidak dikemas, sebaiknya dikatakan saja terus terang.

Di awal tulisan saya katakan saya ikut di dua agensi naskah. Di agensi naskah yang satunya lagi, pemiliknya tidak terlalu menggembar-gemborkan diri sebagai agensi naskah. Sistem pembayaran dan lain-lain juga kelihatannya lancar. Terbukti dari tidak adanya komplain atau masalah. Saya merasa lebih nyaman di sini. Sayangnya, jenis tulisan yang ditawarkan sama sekali di luar keahlian saya.

Hasilnya: tidak ada satu pun buku tulisan saya yang terbit melalui agensi naskah.

Buku pertama saya yang tembus penerbit mayor


Saya akhirnya mendapat kesempatan menerbitkan buku di penerbit mayor karena kebaikan hati seorang teman.

Kalau sekarang saya ditanya, apakah mau menerbitkan buku melalui agensi naskah, saya katakan: tidak masalah, selagi agensinya tidak yang bertipe neko-neko. Tetapi, sungguh, bukan bermaksud sombong. Saya hanya ingin membantu beberapa penulis yang serius ingin mengetahui kebenaran tentang ini: ketika satu pintu penerbit mayor sudah terbuka, ternyata pintu penerbit lain lebih mudah ditembus. Percayalah!

Asal kita sabar, terus melecut dan memoles diri, menjalin hubungan dengan sebanyak mungkin pihak, saya yakin kebanggaan menembus penerbit mayor dengan usaha sendiri bisa kita nikmati. 


***

Pekanbaru, 7 September 2013
@agnesbemoe.

No comments:

Post a Comment