Pembaca buku-buku Daniel Goleman pasti hafal ‘sabdanya’: bukan kecerdasan intelektual yang menentukan keberhasilan anak tapi kecerdasan emosional. Di bukunya, Goleman banyak memberikan bukti berdasarkan penelitian. Namun, secara kasar dalam kehidupan sehari-hari, saya menemukan bukti-bukti sabda Goleman itu. Anak yang memegang ranking tinggi di kelasnya atau nilai rapor mengkilat belum tentu lebih sukses daripada yang biasa-biasa saja. Atau sebaliknya, yang kemampuan akademisnya biasa-biasa saja, tidak jarang melesat menjadi orang yang lebih berhasil.
Apakah kecerdasan intelektual itu sesuatu yang mubazir? Jelas tidak. Tapi, jangan didewa-dewakan. Kalau anak mendapat ranking bagus, pintar di sekolah, ya disyukuri, tanpa perlu dibroadcast kemana-mana. Kalau anak tergolong biasa saja di kelas, tidak usah malu apalagi sampai menghajar anak; fisik maupun psikis.
Di lain pihak, karena Kecerdasan Emosional terbukti mampu membawa anak pada kesuksesan, kecerdasan ini seharusnya menjadi hak anak.
Anak perlu dilatih mengenali kondisi emosionalnya atau orang lain, anak perlu belajar berempati, punya motivasi, mengenali dan menerima kekuatan dan kelemahannya, serta dilatih bertanggung jawab atas tindakannya. Berbagai rupa ketrampilan emosional inilah yang seharusnya ditanamkan melalui teladan dan pengajaran orangtua.
Kalau kita masih ada pada fase tergila-gila dengan kepintaran semata, kita akan terus menerus mendapat generasi dan masyarakat yang seperti ini. Namun, bila kita mau mendapatkan lapis generasi baru yang lebih sukses, bahagia, dan terdidik, kita perlu mempertimbangkan penerapan pendidikan dengan kecerdasan emosional.
Selamat Hari Anak Nasional 2018
Agnes Bemoe
No comments:
Post a Comment