Follow Us @agnes_bemoe

Thursday, 20 May 2010

Classroom, Today: "Lebih sulit Bahasa Indonesia daripada Matematika!"


Beberapa minggu yang lalu, karena masih hangat suasana pengumuman UN, saya ngobrol dengan murid-murid saya di kelas 8. Saya sampaikan keterkejutan saya tentang banyaknya siswa yang gagal di mata uji Bahasa Indonesia tahun ini.

Saya : Ibu agak prihatin, karena tahun ini banyak yang gagal, bukan karena Matematika, atau IPA, tapi malah karena Bahasa Indonesia. Tanpa bermaksud mengecilkan, pelajaran Bahasa Indonesia kan tidak sesulit matematika, ya toh?

Jawaban atas pertanyaan itu ternyata mengejutkan saya:

Murid : Gak lah bu, lebih sulit bahasa Indonesia lagi…! Mending matematika!

Mereka kompak menjawab.

Saya : LHO! Apa sulitnya? Coba sebutin satu materi aja yang menurut kalian sulit…

Saya tantang mereka, sambil saya tambahkan:

Saya : Kalian bikin ibu sakit hati aja! Bahasa Indonesia tu pelajaran favorit ibu sejak SD lho…

Tau-tau meluncur jawaban dari mulut mereka:

Murid : Majas! Mbingungin! Semua sama aja, bingung nentukan yang mana satu!

Murid : Membaca lagi! Pusing kami! Ga ada jawabannya di bacaannya! Mending matematika, ada rumusnya!

Dan litani keluhan keluar dari mulut mereka


Jawaban murid-murid saya itu membuat saya tidak bisa tenang. Kok mereka anggap berbahasa Indonesia jauh lebih sulit daripada matematika ya?????
Pertanyaan saya itu saya jawab sendiri dengan beberapa kemungkinan sebagai berikut:

MUNGKIN dari kecil, murid-murid saya ini lebih sering dibiasakan dengan cara berpikir konvergen, daripada divergen; lebih diaktifkan belahan otak kirinya yang logis, analitis, kronologis, dan linier, daripada otak kanan yang kreatif dan intuitif.
Ini sebuah kasus kecil yang saya temukan pada anak tetangga saya, Vincent, namanya yang duduk di TK A. Suatu hari kepada Ibunya, ia menunjukkan gambarnya yang mendapat “nilai” kurang. Gambar itu gambar apel. Apelnya sempurna, tapi ada “kesalahan” fatal yang dibuat Vincent. Ia mewarnai apelnya dengan warna hitam! Gurunya langsung menegurnya, dan mengganjarnya dengan “nilai” kurang tadi. Menurut gurunya, tidak ada apel berwarna hitam.
Ketika mendengar cerita itu dari Ibunya Vincent, saya jadi tercenung sendiri. SEANDAINYA, si guru tidak langsung menyalahkan dan member nilai kurang, SEANDAINYA si guru mau membuka cerita dengan bertanya:

(Tanya jawab imajiner)

Guru : Waah, Vincent! Gambarmu bagus betul!

Vincent : (senyum malu)

Guru : Gambar apa ini, Vincent?

Vincent : Apel

Guru : Hebaat! Apelnya besar ya… Hm… Apelnya Rudi warnanya kuning, kok apel Vincent warnanya hitam?

Vincent : Apelnya habis main di tanah bu…

Guru : Oo… dia main di tanah… main apa?

Vincent : Main bola, jadi apelnya kena lumpur… hitam deh…. Hehehehehe….

Guru : Hehehe… apelnya pinter main bola yah…

===

Tanya jawab imajiner itu tidak pernah terjadi. Tapi, MUNGKIN seandainya terjadi, ini bisa jadi awal yang bagus untuk latihan berpikir imajinatif kreatif (yang saya pikir merangsang kecerdasan berbahasa anak).

Kasus lain; sekarang anak SD sangat jarang diajak untuk membaca dan menulis. Saya ingat, waktu saya SD, guru saya bawakan buku bacaan, dan satu jam pelajaran itu kami habiskan dengan membaca. Kami juga sering sekali disuruh membuat karangan. Sekarang, kalau sejauh pengamatan saya, jarang sekali anak SD diajak membaca, dan kemudian menulis/mengarang.

Seorang teman bercerita, materi pelajaran bahasa Indonesia untuk anaknya yang kelas I SD adalah; sinonim dan antonim, dengan kata-kata yang “luar biasa” seperti “asri”, “canggih”, dll…
Kesimpulan sementara saya: anak-anak diajak untuk menghafal serangkaian kata-kata baru, melalui sinonim dan antonim, dan bukan mengeksplorasi kata-kata yang sudah mereka miliki...

Di lain pihak, ada teman saya, seorang guru Bahasa Indonesia SD, mengaku: malas mengajarkan mengarang, karena “Bingung, ujung pangkalnya di mana…”. Wah, kreativitas memang masih jadi kendala buat guru Bahasa Indonesia ya…
Kasus-kasus itu MUNGKIN sangat kecil dan sangat tidak tepat untuk digeneralisasikan. Tapi, MUNGKIN, salah satunya bisa jadi penyebab “alergi”nya murid-murid saya terhadap pelajaran Bahasa Indonesia.

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2010
SELAMAT HARI KEBANGKITAN NASIONAL 2010

Sumber gambar: http://www.google.co.id/imglanding?q=teacher%20cartoon&imgurl

1 comment:

  1. Well, Miss, first of all, would you let anonymous profile comment too, so i don't need to sign in everytime i want to comment?

    Ah, okay, i understand your concern. But actually, Indonesian is not so bad, i think.
    The only reason i it's not my favorite is that because there's always a lot to note down, and only a bit of open discussion.
    I love writing, but what we learn is not about making story, pharagraph, or telling something with the words, but focused on strange grammar and lexicons. Language is fun to learn because we learn it to express ourselves using that very language, something that has gone from Indonesian teachings nowadays(It apply to English too, though)

    On my own opinion, imagination has left the society. Mind you, that if we come upon a 25 year lady reading fairytales, the common phrase to say is 'how childish!" That's disappointing.

    One more thing, one day i found my cousin's textbook and realized that what they learn in the first grade was the same as my third grade material few years ago.

    It's sad to see them meddling with words,numbers,and such while they're still in that age. When i was in the elementary, the real school began at the 4th grade. The first 3 years allow us to experience joyful learning,not too hard but challenging.
    Today as we could see together, Even a first grader seems to suffer from stress.

    Geez, how pitiful.

    ReplyDelete