Follow Us @agnes_bemoe

Saturday 8 May 2010

"dead poet society"


Hari Minggu, tanggal 2 Mei 2010, tanpa sengaja saya menemukan “Dead Poet Society” diputar di Star Movies. Ini film lama besutan sutradara Peter Weir yang bercerita tentang seorang pengajar bahasa Inggris bernama John Keating (diperankan oleh Robin Williams). Saya ingat, film ini pertama kali tayang waktu saya masih mahasiswa di Jogja. Di Twenty One, saya ingat, saya melihat Alm. Rm. Dick Hartoko, S.J. dalam antrian…

Ups..! Jadi bernostalgia…

Balik lagi ke filmnya. John Keating mengajar di sebuah sekolah khusus laki-laki pada 1950-an, yang sangat teguh memegang motto “Tradisi, Kehormatan, Disiplin, dan Prestasi”, yang dipahami sebagai tidak adanya ruang untuk perbantahan dan kelemahan. Dalam situasi seperti itu Guru Keating memberi inspirasi kepada muridnya untuk selalu membuat perubahan dalam hidup dan mengajak mereka tertarik puisi. Pada masa itu, puisi dipahami hanya sebagai kerangka fisik. Tapi, lebih jelek lagi, puisi (juga drama, dan sastra pada umumnya) dianggap lemah dan tidak prestisius. Pandangan ini tumbuh subur dalam atmosfer yang membenarkan kekerasan dan kediktatoran dalam pendidikan. Tradisi, Kehormatan, Disiplin, dan Prestasi yang menjadi idealisme Sekolah Walton dijalankan dengan begitu ketatnya, sampai-sampai digambarkan bahwa murid yang melanggar salah satunya bisa saja dikenai hukuman berupa pukulan dengan papan kayu di pantat…

Saya tidak tahu, apakah Star Movies tahu bahwa hari itu adalah Hari Pendidikan Nasional. Tapi sepertinya, film itu cocok sekali diputar saat itu.
Sekolah-sekolah sekarang ini memang sudah tidak banyak lagi yang menerapkan bentuk-bentuk kekerasan fisik sebagai sarana untuk mendidik. Namun, sejauh yang saya amati, masih sangat banyak kekerasan lain yang jauh lebih mengerikan efeknya, yakni kekerasan psikis yang diderita anak, bahkan sejak masa-masa awal ia berkenalan dengan sekolah.

Sedari TK, anak sudah hidup dalam paksaan, target, tuntutan, dan tekanan. Anak yang seharusnya masih dalam masa bermain itu dipaksa untuk bisa menulis huruf dengan benar. Tangan-tangan kecil mereka yang seharusnya lebih banyak dipakai untuk menggambar atau bermain pasir, sekarang diikat dengan pensil dan pena.
Daya kreasi dan sosial mereka yang seharusnya bisa berkembang maksimal melalui permainan, dimatikan begitu saja dengan keharusan belajar berhitung, belajar bahasa Inggris, atau belajar komputer. Ibarat benih, sejak awal mereka sudah disiram dengan air keras…

Orang tua semakin bangga, kalau anaknya kecil-kecil “sudah pintar baca”, “pinter berhitung”, “pinter komputer”. Sebaliknya, orang tua sangat ketakutan dan cemas kalau anaknya belum bisa baca atau tulis, padahal masih di TK. Saya banyak mendengar keluhan teman-teman yang anaknya sama sekali “tidak serius” kalo diajari baca.
Dan sekolah, bukannya berusaha mengkoreksi pandangan yang keliru ini atau bahkan mengedukasi orang tua murid, malah ikut-ikutan larut dalam jor-joran untuk “memintarkan” anak ini… Terus terang, kalau saya saat ini punya anak usia TK, saya sangat takut memasukkan anak saya ke TK. Virus “memintarkan anak” ini sudah menjalar di hampir semua TK. Kayaknya sedikit sekali yang masih kebal terhadapnya.

Perhatikan bahwa, sebelum masuk TK, anak sangat bersemangat dan sangat ingin bersekolah, tapi, coba lihat ketika ia mulai masuk SD, anak jadi angot-angotan, tak mau belajar. Di SMP ia meluap dalam kenakalan, dan di SMA ia meledak dalam keliaran… (Lalu kita sibuk berkeluh kesah menyalahkan mereka…)

Biarpun film DPS bersetting 50 tahun yang lalu, saya kok melihat bahwa issue yang diangkat masih sangat relevan dengan issue pendidikan di Indonesia, sekarang ini. Saat itu, murid dikerangkeng dengan berbagai aturan dan hukuman fisik (dan John Keating berusaha menginspirasi murid-muridnya untuk keluar dari kerangkeng, melalui puisi). Sekarang ini, di Indonesia, pendidikan rawan mencetak orang-orang yang terkerangkeng – tak punya cipta, rasa, karsa… Cuman mesin-mesin berbentuk manusia, mesin untuk mengejar predikat “lulus”, mengejar gelar sarjana, mengejar uang, dan mengejar kedudukan…

Keutamaan dan keindahan seorang manusia yang terpancar pada etika, norma, dan moralnya, sama sekali tidak diberikan perhatian serius. 

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2010

Sumber Gambar: http://www.google.co.id/imglanding?q=dead poet society&imgurl

Pekanbaru, 2 Mei 2010

1 comment:

  1. I'd love if you add more writing assignment in either Indonesian or English subjects.
    I'm not a great writer myself, i just happen to love writing.
    By the way, you wrote in your facebook profile "Hoping madly to become a writer". Haven't you realize, by owning this blog, you're a writer already? Look at those great articles scattered in this blog! Who write them?

    As for school failed to utilize its student's talents, if i may, look at those blogs owned by Saint Marie students. You'll be amazed on how a fresh graduate from junior high could manage a site that ranked in 300.000.000 of the world, a home of tales and dreams, and many more.

    In Saint Marie we often send the same person over and over to many competitions, without cultivating more.

    I started writing because Ivy and Julia's influence, i have my own blog in www.heavenundermoonlight.blogspot.com ,and the one making the layouts is Lisa. I'll change it to my own soon.

    Our school houses so many talents.
    It's just a shame not all of them get the chance.

    ReplyDelete