Follow Us @agnes_bemoe

Thursday 27 August 2015

BOOK THROUGH MY EYES [BTME]: Dari Urat ke Jakarta

Judul Buku                              : Tuan Ringo
Penulis                                     : Fidelis R. Situmorang
Cover                                      : Dapur Naurah
Penerbit                                   : Penerbit Sinar David
Genre                                      : Kumpulan Cerpen
Jumlah Halaman                      : 81 halaman
Tahun Terbit                            : 1 Mei 2011




Keluarga. Apa yang terbayang di benak anda ketika mendengar kata tersebut? Wajah orang-orang tercinta yang selalu setia memberikan pelukan hangat? Ataukah wajah dari orang-orang yang sering membuat anda kecewa dan terluka?
Itu kutipan pengantar di kumpulan cerpen “Tuan Ringo” karya Fidelis R. Situmorang (FRS). “Tuan Ringo” adalah buku kedua penyair berdarah Batak ini.
Bicara mengenai keluarga rasanya masyarakat Batak salah satu yang memiliki sistem kekerabatan yang mapan. Konsep Dalihan Na Tolu dengan tarombo dan marga kait mengait di dalamnya jadi bukti lengkap dan mapannya kekerabatan di masyarakat Batak. Dari prinsip Hagabeon keluarga merupakan salah satu ukuran kesuksesan masyarakat Batak. Walaupun tidak menceritakan kekerabatan Batak dalam setiap cerpennya, kelihatan FRS berangkat dari norma dan nilai tersebut.
Cerpen  “Tuan Ringo” membuka buku berisi sepuluh cerpen ini. Diceritakan dengan gaya pop, cerpen ini menceritakan kembali silsilah marga Situmorang. Unik bahwa silsilah itu malah dipaparkan dari sudut pandang perempuan, dalam hal ini Boru Sitompul, istri Tuan Ringo. Entah apa maksud penulis memakai tokoh perempuan untuk menceritakan sebuah masyarakat yang patriarki ini.
Dalam cerita-cerita selanjutnya konsep Hagabeon seolah bertransformasi menjadi lebih kekinian: pergolakan hidup dalam keluarga -suami-istri, orang-tua anak- dengan permasalahan sehari-hari, dan bukannya melulu pada romantisme masa lalu seperti di cerpen pertama. Namun demikian, sambil membaca kita tetap merasakan sapuan halus pengaruh nilai Hagabeon di kesembilan cerita lainnya itu.
 “I Love You More” adalah salah satu contohnya. Dalam cerpen yang mengaduk-aduk perasaan ini si “Aku” harus merelakan kepergian anak laki-laki satu-satunya. Si “Aku” tidak hanya kehilangan buah hatinya, namun juga kesempatan untuk melanjutkan nama keluarga –hal yang sangat kritikal dalam keluarga Batak-.
Demikian selanjutnya cerpen-cerpen dalam “Tuan Ringo” mengulas satu persatu problema dalam keluarga. Ditulis dengan bahasa yang manis, khas FRS, cerita-ceritanya mengajak kita kembali ke ruang keluarga, dimanapun itu pernah berada.
Tidak selalu, memang, FRS berkisah tentang keluarga baik-baik. Dalam “Lembur” pembaca diberi kejutan yang cukup menyentak. Dikaitkan dengan tema keluarga sebagai hasil peradatan dan budaya, cerpen ini memang seolah-olah “berada di tempat yang salah”.  Namun, saya menilai, cerpen ini mengingatkan kita semua: inilah yang mulai dihadapi keluarga-keluarga sekarang. Konsep keluarga konvensional akan banyak mendapat benturan dari konsep-konsep yang menyelinap muncul, terlepas dari benar salah dan semua pertimbangan moralnya.
Selain mengenai adat istiadat, kesepuluh cerpen di “Tuan Ringo” ini juga membawa kita pada berbagai permasalahan sosial yang sehari-hari kita lihat di masyarakat: dari kekejian pelaksanaan masa orientasi sekolah sampai penculikan anak. Kesemuanya diceritakan dengan gaya bertutur yang sederhana, manis, dan menyentuh tanpa menghakimi pihak manapun. FRS malah mampu menghadirkan sisi humanis yang lembut dalam cerita yang berlatar kelam.  Baca saja “Mei”, yang menyinggung kerusuhan Mei 1998.
Sayangnya, hanya ada sepuluh cerita. Jujur, saya kurang puas. Namun demikian, dengan kepekaan penulisnya akan masalah-masalah sosial sehari-hari, termasuk keluarga, dan keterampilannya mengolah kata, kesepuluh cerita pendek itu tidak hanya membawa pembaca berkelana dari Urat (tempat asal Tuan Ringo) ke Jakarta tapi juga menjadi asupan yang nikmat buat mengisi ruang bathin, apapun situasi keluarga yang dihadapi oleh pembaca.



Pekanbaru, 28 Agustus 2015

Agnes Bemoe

1 comment: