Follow Us @agnes_bemoe

Wednesday 2 April 2014

PLEASE, JANGAN TIRU KEBODOHAN SAYA! (Bagian 2)

Tulisan ini adalah bagian ke-2 dari 3 tulisan. Bagian 1 sila baca di sini.

DEPRESI?
Ketika tiba waktunya kontrol, saya bacakan ringkasan jurnal saya (mungkin sepanjang kariernya sebagai dokter, baru kali ini dr. Syafruddin bertemu dengan pasien yang membacakan jurnal).


dr. Syafruddin H. SpOT (K) Spine dengan "Aubrye dan The Three Musketeers"

Awalnya dokter menyarankan untuk operasi. Here we go. Tapi, memang sebelum kontrol saya sudah berbicara banyak dengan orang yang sangat baik pada saya. Menurutnya, uang bisa dicari, tapi kalau badan tidak sehat, tidak bisa cari uang. Dengan pemikiran tersebut saya sudah menyerah sekiranya harus operasi.

Ketika suster sedang membantu menanyakan biaya operasi, dll, tiba-tiba dr. Syafruddin nyeletuk: “Atau ibu saya rujuk dulu ke dokter Ang, beliau seorang psikiater. Sepertinya ibu depresi.” Dokter menjelaskan bahwa psikiater bukan berarti gila dan seterusnya. Tidak, saya juga tidak sepicik itu. Saya hanya heran. Saya? Depresi? Lebay amat?

Namun, saya manut juga. Saat itu juga saya berbicara dengan dr. Anggraini Ang, SpKJ. Pendek cerita, dokter Ang membantu saya melihat dengan paradigma lain. Selama sakit, diam-diam saya melihat “ayam hanya dari pantatnya” sehingga yang kelihatan hanya “tahi ayam”. Hal ini menyebabkan saya tidak mampu melihat hal lain dari si ayam tersebut (Catatan: ini bukan kata-kata dokter Ang, saya membuat semacam metaforanya).

Yani, dr. Ang, saya, dan "Kumpulan Kisah Santo Santa"

Penjelasannya adalah bila otak kita terus berpikir bahwa kita sakit maka syaraf akan terpicu untuk “sakit”. Ini menimbulkan lingkaran setan karena kita merasa mendapat bukti bahwa kita sakit.
Artinya, sebenarnya setelah disuntik, kondisi badan saya sudah sembuh. Namun tentu saja tidak bisa kembali ke 100% di empat bulan yang lalu. Pemulihannya tentu bertahap. Sementara saya menganggap sembuh itu berarti kembali ke kondisi saya semula. Perbedaan inilah yang membuat saya merasa kecewa dan memicu depresi.

Saya sempat ngeyel pada dokter Ang (P.S. ngeyel is my middle name): saya pernah mengalami permasalahan yang lebih berat mengapa saat itu saya tidak depresi? Dokter Ang menjelaskan bahwa stressor yang berujung pada depresi tidak punya kelas. Yang berat buat si A bisa jadi ringat buat si B. Semua bergantung pada cara pandang kita masing-masing terhadap permasalahan.

Saya akui, kengeyelan saya takluk di bawah penjelasan dokter Ang. Saya merasa menemukan “AHA moment” dimana saya bisa melihat dengan sudut pandang yang lebih luas.

DUDUK! YEAY!
Lalu, seperti sulap, keesokan harinya saya bangun dan mencoba pelan-pelan duduk. Tidak sakit. Saya bangun dan berjalan. Tidak kesemutan. Bah! Semua gejala yang secara teliti saya tuliskan dalam jurnal lesap satu persatu! Astaga, saya mengalami sendiri the power of mind over body.


Saya mencoba duduk berbaring di tempat tidur sambil mengetik. Bila terasa nyeri, saya berhenti. Karena kata dokter, saya sudah bisa duduk, tetapi harus bertahap. Setiap pagi juga saya berjalan pelan-pelan di depan rumah sambil melihat anak-anak saya berlarian kesana kemari. Yang terpenting saya selalu menjaga pikiran saya untuk selalu positif dan optimis. Kedengarannya sederhana. Namun, dalam keadaan sakit, saya pribadi merasa sulit berpikir positif. Saya jadi super sensitif (padahal sehari-harinya saya sudah sensitif).

Ketika kontrol lagi ke dokter (baik dokter Syafruddin maupun dokter Ang) saya sudah bisa duduk di kursi berhadapan dengan para dokter itu. Biasanya saya berdiri. Dengan dokter Ang saya disuruh berbaring sambil bercerita.

Dokter Ang menyatakan kemajuan saya cukup signifikan. Yang saya sangat senang adalah ketika beliau bilang saya ini seorang fighter, makanya kemajuannya pun memuaskan. Horee! Fighter is my other middle name! :D

Sekarang saya masih dalam perawatan dokter Ang karena menurut beliau kondisi ini bisa turun naik (dan memang benar!). Saya juga masih harus kontrol ke dokter Syafruddin. Tapi, kondisi saya sekarang ini jauuh lebih baik daripada empat bulan yang lalu.

Lalu, dimana letak kebodohan saya? Sepertinya teman-teman mesti baca artikel berikutnya deh. #PLAKK!

bersambung... ke sini

***

Pekanbaru, 3 April 2014
Agnes Bemoe

No comments:

Post a Comment