Follow Us @agnes_bemoe

Monday 29 November 2010

Advetorial: Serial "PITA, SI PIPIT KECIL"

November 29, 2010 0 Comments

AJARKAN LEWAT CERITA! Benar sekali, cerita merupakan sarana yang efektif untuk mengajarkan anak tentang nilai-nilai kehidupan. "PITA, SI PIPIT KECIL" mengandung cerita-cerita yang tidak hanya menarik, tapi juga bermakna. Ditulis dalam dua bahasa; Indonesia dan Inggris. Pesan sekarang juga melalui inbox fb: www.facebook.com/leutikaPrio.

Pita, Si Pipit Kecil
(Pita, the Little Sparrow)

Fabel bilingual karya Agnes Bemoe
88 hal + vi, Rp 30 rb

+ ongkir flat Jawa Rp 10 rb, luar jawa Rp 15 rb

Rekening:
1. No rekening (bisa pilih salah satu):
- BCA JOGJA 0371744257 a.n hery setyo purnomo
- BSM 0307012170 a.n hery setyo purnomo
- BANK MANDIRI JOGJA 1370007360585 a.n hery setyo purnomo
2. Jumlah yg ditransfer bisa dihitung sendiri oleh pemesan:
harga buku + ongkos kirim (per eks seperti aturan 10 rb Jawa, 15 rb luar Jw).
3. Setelah transfer harap konfirm kirim ke bank yg mana, harap menyertakan no hape penerima saat konfirmasi (aturan baku pihak ekspedisi)

Sertifikasi Membawa Rejeki (Tapi, tetap Harus Hati-Hati) - Pengelolaan Keuangan bagi Guru

November 29, 2010 1 Comments


Minggu-minggu terakhir bulan November ini tunjangan Sertifikasi Guru sudah dapat dicairkan. Saya mengetahui ini dari salah seorang teman yang menjadi guru. Tentu saja saya ikut senang mendengarnya. Namun, belum lama ini saya membaca salah satu tulisan kawan saya, seorang guru, yang mensinyalir bahwa meningkatnya tunjangan guru diikuti dengan meningkatnya daya konsumtif guru. Ini tentu sah-sah saja, mengingat itu adalah uang pribadi mereka. Namun, bila tidak berkeberatan saya bermaksud membagikan sedikit pengalaman saya ketika masih menjadi guru, berkaitan dengan penghasilan yang saya dapatkan.

Sebagai guru, saya pernah merasakan gaji yang lebih dari kebutuhan (terutama pada tahun-tahun pertama mengajar), dan juga merasakan beratnya perjuangan membagi penghasilan untuk sekian banyak kebutuhan (terutama setelah krisis moneter tahun 1998).

Perjuangan saya berjibaku dengan penghasilan itu membuat saya kemudian mencari cara untuk tetap survive di sepanjang bulan; awal, tengah, dan akhir. Saya (akhirnya) sampai pada pemahaman bahwa yang saya perlukan tidak hanya gaji yang layak, tetapi pengelolaan keuangan yang benar!

KONDISI KEUANGAN GURU
Untuk kepentingan pembinaan guru baru, pada tahun 2007 saya melakukan pengamatan yang sederhana dan jauh dari ilmiah tentang kondisi keuangan guru. Berikut hasilnya:
 Keluarga Amir di Pekanbaru, suami gol. 3 C, istri 3 B, anak 2: pemasukan Rp. 2.300,000,- sedangkan pengeluaran Rp. 2.600.000,-
 Keluarga Budi di Pekanbaru, suami gol. 3 a, istri bekerja di sebuah PT, anak 1. Suami memberikan les privat. Penghasilan Rp. 2.500.000,- pengeluaran Rp. 3.300.000,-
(Terus terang, topik tentang penghasilan ternyata masih menjadi topik yang sensitif, sehingga agak sulit dibicarakan di sebuah forum, bahkan forum sesama guru. Saya memahami keengganan para guru untuk membicarakannya, namun demikian, saya juga jadi kesulitan mengumpulkan data. )

Tahun 2009, kembali saya melakukan pengamatan tentang hal yang sama (sekali lagi sangat sederhana dan jauh dari ilmiah!), hasilnya adalah:
 Keluarga Amir di Pekanbaru, suami gol. 3 D, istri 3 C, keduanya memberikan les sore, anak 2, usia SD: pemasukan Rp. 5.500.000,- sedangkan pengeluaran Rp. 6.100.000,-
 Keluarga Budi di Pekanbaru, suami gol. 3 a, istri bekerja di sebuah PT, anak 1, usia TK. Suami memberikan les privat. Penghasilan Rp. 6.000.000,- pengeluaran Rp. 6.900.000,-

Jika pembaca memperhatikan data mentah ini, kita dapat menduga bahwa baik pada tahun 2007 maupun pada tahun 2009 kedua keluarga ini memiliki pengeluaran yang jauh lebih besar daripada pendapatannya. Pepatah mengatakan: besar pasak daripada tiang. Pada tahun 2009 take home pay kedua keluarga ini meningkat, namun, meningkat pula pengeluaran mereka.

Dan, ternyata keluarga-keluarga yang saya amati ini sama sekali tidak menyadari bahwa selama ini neraca keuangan mereka tidak seimbang. Mereka merasa berhemat, merasa tidak belanja apa-apa, tapi akhir bulan selalu kebingungan karena tidak ada uang di tangan… Akibatnya berbagai perasaan negatif selalu menghantui mereka setiap menjelang akhir bulan; putus asa, frustrasi, bingung, bahkan ada juga yang sampai-sampai berpikir untuk berdemo, minta penghasilan tambahan. Walaupun demikian, ada juga yang melarikan diri pada sikap cuek…

Dalam kesempatan itu, setelah sama-sama menghitung ke mana larinya penghasilan mereka, ditemukan bahwa beban keuangan berlebih pada hutang (angsuran rumah, kendaraan, dll). Tidak hanya pada barang kebutuhan pokok saja, ternyata hutang juga meliputi barang-barang sekunder, namun dijadikan primer karena faktor prestise sosial , contohnya peralatan rumah tangga merek tertentu atau perhiasan.

Penghasilan juga bisa tergerus oleh hal-hal kecil yang kadang diremehkan karena jumlahnya yang kecil, namun kemudian menjadi berpengaruh karena berulang-ulang, misalnya ongkos kendaraan umum, rokok, atau pulsa.

Dan, yang paling mengerikan, teman-teman guru yang saya amati ternyata hidup tanpa tabungan! Biasanya mereka memiliki emas, tetapi sebatas sebagai perhiasan, bukan investasi. Mereka memiliki akun rekening di bank, tetapi untuk fasilitas kredit. Seperti juga mereka bergabung dalam Credit Union (CU) untuk fasilitas kredit dan bukannya untuk menabung.

Yang juga mengerikan menurut saya adalah adanya pemahaman yang keliru tentang gaya hidup. Gaya hidup hemat dianggap kuno, kampungan, dan merepresentasikan kelemahan dan ketidakberdayaan. Sementara gaya hidup berhura-hura a la sosialita dianggap jauh lebih menyenangkan, menimbulkan semangat, dan menaikkan gengsi. Saya melihatnya dengan cara lain; mengelola keuangan membuat keuangan saya lebih sehat dan selanjutnya membuat saya merasa lebih tenang dan stabil. Penghasilan saya boleh jadi sangat kecil (yang mana sudah menjadi rahasia umum), tetapi saya tidak mau memperparahnya dengan menipu diri, berusaha berteriak-teriak pada dunia luar bahwa saya mampu, saya kaya, dengan baju, sepatu, tas, berlian yang saya beli di luar kemampuan saya.

MENGELOLA KEUANGAN
Pertama-tama harus dipahami bahwa yang penting bukannya berapa besar take home pay kita, tetapi berapa tepat kita mengelolanya. Cara-cara berikut ini mudah-mudahan bisa membantu:
1. Catat pemasukan dan pengeluaran setiap bulan. Hal ini membantu kita mengontrol pengeluaran.
2. Dahulukan membayar diri sendiri dengan tabungan. Kita sudah bekerja keras, maka orang pertama yang harus kita bayar adalah diri kita sendiri. Kita “membayarnya” dengan menyisihkan tabungan. Bila kita berpikir bahwa menabung adalah sisa dari pengeluaran kita, maka sudah saatnya menghilangkan pemikiran seperti itu. Gunakan rumus ini:

GAJI - TABUNGAN = BELANJA

Dan bukannya:

GAJI – BELANJA = TABUNGAN

3. Bagi penghasilan dengan prosentase sebagai berikut:
10 % = tabungan
35 % = kebutuhan rumah tangga
15 % = pendidikan (atau hal-hal yang sedang anda prioritaskan)
25 % = kebutuhan lain-lain
15 % = hutang
Pembagian ini merupakan rambu-rambu umum, yang butuh kedisiplinan untuk menjalankannya. Perhatikan bahwa pembagian ini cukup akomodatif untuk kebutuhan kita. Hanya saja, kita dibantu untuk mengenal batas bagi pemenuhan kebutuhan itu.

Contoh:
Bagi Keluarga Amir, dengan penghasilan (di tahun 2007) Rp. 2.300.000,- maka sebaiknya pembagian pengeluarannya adalah sebagai berikut (dalam rupiah):
10 % = tabungan : 230.000
35 % = kebutuhan rumah tangga : 805.000
15 % = pendidikan (atau hal-hal yang sedang anda prioritaskan) : 345.000
25 % = kebutuhan lain-lain : 575.000
15 % = hutang : 345.000

Coba bandingkan dengan pengeluaran riil keluarga ini (tahun 2007 dalam rupiah):
0 % = tabungan : 0
46 % = kebutuhan rumah tangga : 1.035.000
11 % = pendidikan (atau hal-hal yang sedang anda prioritaskan) : 217.000
5 % = kebutuhan lain-lain : 94.000
42 % = hutang : 917.000

Dari pemaparan contoh ini kita bisa melihat betapa tidak sehatnya pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh Keluarga Amir; pengeluaran lebih besar daripada penghasilan, dan tanpa tabungan sama sekali.

4. Perlu konsensus bersama dengan keluarga, dengan kata lain keluarga perlu tahu tentang penghasilan mereka. Bahkan saya sangat yakin, anak-anak pun perlu diajak serta mengetahui dan membahas penghasilan ini.
Konsensus ini termasuk bila ayah atau ibu ingin mencari penghasilan tambahan, misalnya.

5. Seperti yang disarankan sejak mula: catat pemasukan dan pengeluaran, dan berdisiplinlah dengan itu.

6. “Rayakan” bila keluarga berhasil mengelola pendapatan dengan baik. Tentu saja tidak dengan cara yang berlebihan, karena itu sama saja mengkhianati semangat pengelolaan keuangan ini.

7. Pertimbangkan untuk menginvestasikan uang kita, entah dalam bentuk emas, atau tanah, atau apa saja. Dalam hal ini tentu saja butuh saran orang yang lebih ahli.

SHARING PENGALAMAN
Beberapa teman guru ternyata mencoba mempraktekkan metode ini. Berikut ini adalah beberapa pengakuan dari mereka:
 Mereka mengaku BERAT menjalaninya! Berat, karena tidak saja menahan diri untuk ini dan itu, tetapi juga REPOT, karena sebentar-sebentar harus mencatat. Tentu saja, kita mudah untuk bersikap keras pada orang lain, tetapi sangat sulit melakukannya pada diri sendiri. Tetapi, mereka juga mengaku sangat LEGA. Seolah-olah menemukan obat bagi penyakit yang sudah meraja lela.
 Selain lebih lega, ternyata ada perasaan positif lain yang juga mendominasi, yaitu lebih TENANG. Tenang karena semuanya terkontrol dengan relatif baik. Tenang, karena sedikit demi sedikit punya tabungan.
 Tentu saja godaan selalu ada, terutama godaan untuk belanja memuaskan lapar mata. Namun, harus diingat bahwa tujuan awalnya adalah untuk menyelamatkan keuangan keluarga. Boleh saja berbelanja, asal masih dalam pagu yang sudah ditentukan.
 Selanjutnya, pengakuan yang membuat saya sendiri tercenung waktu mendengarnya: mudah bersyukur ternyata meringankan segalanya. Wah, saya sampai tidak bisa berkomentar, karena sharing yang satu ini sudah lebih dari tepat.

PENUTUP
Mudah-mudahan secara finansial penghargaan terhadap guru semakin tahun bisa semakin membaik. Mudah-mudahan pemerintah tidak hanya bergantung pada tawar-menawar politik dalam perencanaan pemberian tunjangan kepada guru. Dan masih banyak harapan lain. Namun, besar juga harapan semoga kita semua semakin bijaksana dalam pengelolaan keuangan. Bagi teman-teman yang sudah jauh-jauh hari memiliki kiat-kiat khusus dalam pengelolaan keuangan, semoga bisa ikut berbagi dengan yang lainnya.

Terakhir, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menggurui siapa pun. Bila pengelolaan keuangan menjadi masalah bapak-ibu, maka mudah-mudahan sharing sederhana ini bisa membantu.
***
Pekanbaru, 30 November 2010
Agnes Bemoe


Sumber Gambar:
http://www.google.co.id/imglanding?q=teacher+in+stress&um=1&hl=id&client=firefox-a&sa=G&rls=org.mozilla:id:official&channel=np&biw=1280&bih=663&tbs=isch:1&tbnid=PJUEDKbB01xMBM:&imgrefurl=http://productivedowntime.blogspot.com/2010/04/remember-teacher-appreciation-week-is.html&imgurl=https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6tTse6Sek-9iIVmQxzbhuYleb-y48HYVDzso6KeAIOikgcCMSbnxub2Ei0nS2KZgsDnGwXg0NTqrdeUAl63mMSdBlhdmPeNK6Mh-ePx9L-yJAvpzkSlDWkMqcD5m7OBtJJ0gutyahCmFL/s1600/teacher.jpg&zoom=1&w=1125&h=750&iact=hc&ei=PYD0TOGsI4WssAOMzsmmCw&oei=63z0TMJdhrqxA4WP2LYJ&esq=24&page=1&tbnh=132&tbnw=176&start=0&ved=1t:429,r:9,s:0

http://www.google.co.id/images?q=money&oe=utf-8&rls=org.mozilla:id:official&client=firefox-a&channel=np&um=1&ie=UTF-8&source=og&sa=N&hl=id&tab=wi&biw=1280&bih=663

Catatan:
• Materi dalam tulisan ini pernah disampaikan dalam kegiatan Pelatihan Guru Baru di SMP Santa Maria Pekanbaru, tahun 2007 – 2009 oleh Agnes Bemoe.

Monday 22 November 2010

QUIZ ON TYPE OF TEXT

November 22, 2010 0 Comments
Kathereine Marie Heigi was born in Washington, DC, on November 24, 1978, to Nancy and Paul Heigi. A short time afterwards the family moved to New Canaan, Connecticut, where Katherine was to spend the majority of her childhood. The youngest member of her family, Katherine, or “Katie” as she is nicknamed, has two elder siblings, John and Meg. Tragically, her older brother Jason died in 1986 of brain injuries suffered in car accident.
Katherine was first thrust into the limelight as a child model. An aunt, visiting the family in New Canaan, took a number of photographs of her niece then aged nine, in a series of poses to advertise a hair care product she had invented. Upon returning to New York and with permission from Katherine’s parents, she sent the photos to a number of modeling agencies. With in a few weeks Katherine had been signed to Wilhelmina, a renowned international modeling agency. Almost immediately she made her debut in a magazine advertisement, and soon followed this with an inaugural television appearance in a national commercial for cheerios breakfast cereal.
Taken from Hello magazine 2007

1. This is a kind of … text.
a. narrative
b. report
c. recount
d. descriptive

2. The purpose of the text is ….
a. to describe who Katherine is
b. to give a report about a model
c. to entertain the reader
d. to inform how to be a model

3. “Kathereine Marie Heigi was born in Washington, DC, on November 24, 1978, to Nancy and Paul Heigi.” This part of the text is called ….
a. Introduction
b. Orientation
c. Identification
d. Evaluation

4. What is Katherine?
a. A nurse
b. A lecture
c. A housewife
d. A model

5. How many brothers and sisters does Katherine have?
a. 2
b. 3
c. 4
d. 5

Twenty years ago things that were used for household work were still traditional such as a broom, a mop, and dust cloth. They were only cleaning tools. Only a few people had electric refrigerators, vacuum cleaners, or other appliances that people now consider almost a necessity.
Today many people own appliances from the big ones like refrigerators and washing machines to the small ones like electric razors and can openers.
There are two basic kinds of electric appliances: those that provide heat and those that provide motion, such as tractors and seeders.
Modern household appliances are refrigerators, washing machines, dishwashers, electric clocks, electric stoves, vacuum cleaners, air conditioners, electric irons, hair dryers, television sets, mixer or electric beaters, radios, sewing machines, electric fans and so on.

6. The writer wrote the text ….
a. to describe what home appliances are
b. to entertain people of middle class
c. to inform what happened in Indonesia
d. to educate people how to use home appliances

7. The text is a/an … text.
a. procedural
b. narrative
c. descriptive
d. report

8. “Twenty years ago things that were used for household work were still traditional such as a broom, a mop, and dust cloth.”. This part is called ….
a. description
b. general statement
c. introduction
d. Orientation

9. When did we begin to use traditional home appliances?
a. 12 years ago
b. 20 years ago
c. 21 years ago
d. 22 years ago

10. “…other appliances that people now consider almost a necessity.” (par. 1). The word closest in meaning to the underlined word is ….
a. seeds
b. tools
c. food
d. stones

Lapis Benggala

The dish is believed to have come to Indonesia during the turn of the 20th century. As beef was consumed more than lamb or goat, the Lapis Benggala is made out of beef. The word Lapis Benggala is a very interesting mix of Dutch and Malay. “Lapis” from Dutch lapjes (fillet) turned into lapis in Malay and Benggala is Malay for Bengal.

Ingrendients:
• 500 g beef, mutton or lamb, cut into 5 X 7 cm pieces
• 6 shallots
• 3 cloves of garlic
• A slice of ginger
• A slice of galangal 10 g
• 15 cm lemon grass
• 2 tsp roasted trassi
• ¼ tsp ground nutmeg
• 1 tsp salt or to taste
• ½ tsp ground pepper
• 2 Tbs margarine, for stir frying
• 300 ml beef, mutton, or lamb broth
• 3 daun jeruk purut (kaffir lime leaves)
• 3 Tbs sweet soy sauce
• 400 ml thick coconut milk

Method:
• Grind shallots, garlic, ginger, galangal, lemon grass and trassi into a paste. Then add the meat slices. Season with nutmeg, salt and pepper. Mix and let stand for 20 minutes.
• Heat margarine or butter and add the spiced meat slices. Cook over medium heat until meat changes color.
• Pour the meat broth and add the live leaves, sweet soy sauce and coconut milk.
• Continue cooking until meat is tender

Makes 5 servings

11. What is the purpose of the text?
a. to entertain the readers
b. to describe a Lapis Benggala
c. to tell how to make Lapis Benggala
d. to inform what the Lapis Benggala is

12. The grammar used mostly in the text is ….
a. The Simple Present Tense
b. The Simple Past Tense
c. The Present Continuous Tense
d. Imperative

13. The text above is a/an … text.
a. procedural
b. narrative
c. report
d. recount

14. According to the text, we need … kinds of materials to make a Lapis Benggala.
a. 15
b. 16
c. 17
d. 18

15. Which statement is correct?
a. A tsp is bigger than a Tbs
b. A tsp is smaller than a Tbs
c. A tsp is as big as a Tbs
d. A tsp is longer than a Tbs

It all happened when I was walking home from school. Two kids from my class decided to pick on me. They started yelling stupid names like spazzo, pigface, etc. I didn’t mind this. I also didn’t mind Kelly punching me in the shoulder. What I did mind was that Kelly kept me occupied while Matthew (better known as Roberts) rode my bike around the cul de sac of the street.
This was harmless. But, still riding, he kicked off my bag and jumped off the bike leaving it to fall. This made me sore. I gave into my temper. When Matthew saw this he took off. So it was me and David Kelly to battle it out. I chased him around and around the street. When I finally caught up to him I threw punches galore. Most of them missed. Kelly managed to escape and run home. I think I was the victor, but if I was, I don’t think it was worth it.

16. What is the most suitable title for the passage above?
a. How to be a good boy
b. The Fight
c. Roberts and Me
d. My Experience

17. The text is a/an … text.
a. Recount
b. Report
c. Descriptive
d. Narrative

18. “But, still riding, he kicked off my bag and jumped off the bike leaving it to fall. This made me sore.” (par. 2). This part is called ….
a. Record of events
b. Conclusion
c. Complication
d. Description

19. Grammar mostly used in this text is ….
a. The Simple Present Tense
b. The Simple Past Tense
c. The Present Continuous Tense
d. Reported Speech

20. The moral lesson we can take from this text is ….
a. Fighting is useless
b. We can bully people weaker than us
c. We have to help our friends
d. People will respect us if we win the fight

Last year, I left New Zealand for Bunaken Island. I went there with a group of New Zealand divers. Getting there was not quite easy.
Soon after our arrival at Bunaken, we got general briefing. It concluded a description about how to take pictures under water.
Then, we began our diving. In our diving, we saw groups of tiny fish. In order to identify them, we need a good guide. Without some knowledge of their habitat and behavior, it was difficult to identify.
In summary, the trip was mostly enjoyable. This place is so impressive with its marine life.

21. It is a/an … text.
a. narrative
b. report
c. descriptive
d. recount

22. The generic structure of the text is:
a. orientation – record of events – evaluation – reorientation
b. orientation – complication – resolution – coda
c. goal – material needed – procedure
d. general statements – description


23. What is the purpose of writing this text?
a. To tell how to take pictures under water
b. To retell series of events
c. To entertain readers with shocking ending
d. To describe about Bunaken

24. What is the best title for this text?
a. Trip to Bunaken
b. How to take picture under water
c. The trip
d. My Hobby


25. This could be a title of a descriptive text:
a. The Earthquake
b. Jenna, My Puppy
c. Trip to Siak Palace
d. My Teacher and Me

***

Items collected by Agnes Bemoe
Pekanbaru, 22 November 2010

JENIS-JENIS TEKS

November 22, 2010 1 Comments
Terdapat 5 jenis teks:
1. Recount
2. Narrative
3. Procedural
4. Report
5. Descriptive

A. Teks Recount
1. Ciri-ciri Utama:

Tujuan:
Teks Recount hanya bertujuan untuk mendokumentasikan serangkaian kejadian.

Struktur Generik:
Bagian-bagian teks Recount adalah:
a. Orientasi, yang memberi informasi tentang “who”, “where”, dan “when”
b. Rekaman kejadian, biasanya disusun sesuai dengan kronologinya
c. Komentar pribadi dan atau evaluasi
d. Rekaman kejadian
e. Reorientasi untuk menutup seluruh kejadian

Grammar:
Pola umum yang digunakan dalam teks Recount adalah:
a. Penggunaan noun dan pronoun untuk mengidentifikasi orang, binatang atau benda yang ada dalam teks
b. Penggunaan action verb untuk menunjukkan suatu kejadian
c. Penggunaan Past Tense
d. Penggunaan conjunction (kata penghubung) dan time connective
e. Penggunaan adverb dan adverbial phrase
f. Penggunaan adjective

2. Contoh teks Recount

An Excursion to the Botanic Gardens


On Thursday 24 April we went to the Botanic Gardens. We walked down and boarded the bus.

After we arrived at the gardens we walked down to the Education Centre. Year Three went to have a look around. First we went to the First Farm and Mrs. James read us some of the information. Then we looked at all the lovely plants. After that we went down to a little spot in the Botanic Gardens and had morning tea.

Next we did sketching and then we met back at the Education Centre with Year Four to have lunch. Soon after it was time for us to go and make our terrarium while Year Four went to have their walk.

A lady took us into a special room and introduced herself, then she explained what we were going to do. Next she took us into a pyramid terrarium and another one. It was most interesting. Later we went back and made our terrariums.

Soon after we had finished we went back outside and met Year Four. Then we boarded the bus and returned to school.


Language Features

• Penggunaan kata-kata tertentu untuk memberi informasi, misal: Botanic Garden, plants

• Penggunaan action verb, seperti: walked, went, marked

• Penggunaan Past Tense, seperti contoh di atas

• Penggunaan kalimat majemuk, seperti: “when we were there we hopped off the bus”

• Penggunaan conjunction dan connective untuk memilah-milah kejadian sesuai waktu, seperti: when, then, first, next

• Penggunaan keterangan waktu dan tempat, seperti: On Thursday, 24 April, on the bus

• Penggunaan Reported Speech, seperti: “she explained what we were going to do”

• Penggunaan saying verb, seperti: explained.




B. Teks Narrative
1. Ciri-ciri Utama

Tujuan:
Teks narrative berisi serangkaian kejadian yang memuat konflik dan atau akhir yang tidak terduga. Konflik dan akhir yang tidak terduga inilah yang menghibur pembaca.

Struktur Generik:
Teks Narrative biasanya terdiri dari:
a. Orientation – tahap ini memperkenalkan pembaca pada apa yang akan terjadi, biasanya dengan cara memperkenalkan tokoh utama, seting waktu dan tempat.
b. Complication – pada bagian ini, mulai muncul permasalahan, misalnya kunjungan ke sebuah rumah kosong menjadi masalah ketika si pencerita menyadari ia telah terkunci sendirian di rumah tersebut.
c. Resolution – pada bagian ini permasalahan yang muncul diselesaikan
d. Coda – bagian ini tidak harus ada. Bagian ini menunjukkan bagaimana pelaku berubah dan telah belajar dari kejadian yang dialaminya.

Grammar:
a. Penggunaan kata benda untuk menggambarkan orang, benda, dan hewan dalam cerita
b. Penggunaan kata sifat untuk menggambarkan orang, benda, dan hewan dalam cerita
c. Penggunaan time connective dan conjuction
d. Penggunaan kata keterangan dan frasa kata keterangan (adverbial phrase)
e. Penggunaan past tense
f. Penggunaan saying verb dan thinking verb untuk menunjukkan apa yang dirasakan dan dikatakan oleh pelaku

2. Contoh Teks Narative

Three Year Old Adventure


One Morning, Mrs. Murphy took her three year old son, Peter, for a walk in Green Park. There she saw some people playing with radio-controlled boats. Hr son, in the meantime saw some ducks and geese near the water and chased them. He went further and further away from his mother.

After sometime, Mrs. Murphy decided to return home. She looked for Peter all around the lake. There was no sign of Peter. She rang Mr. Murphy in his office and he rushed to the Park. He decided to call the police and they searched all around the lake. They were looking for footprints near the water. The policeman thought that he might have fallen into the water.

Late in the afternoon, a passer-by, noticed a boy lying under a bush fast asleep. He told the policeman what he had seen. The policeman found the boy and carried him to his parents. Peter was hungry and thirsty and he was frightened. But Mr. and Mrs. Murphy were so delighted to find their son.

They thanked the policemen and the passer-by who spotted Peter. It was a happy family that returned home.



Language Features

• Penggunaan kata-kata yang sesuai untuk membangun informasi, seperti: son, Green Park, ducks, geese

• Penggunaan kata kerja aksi (action verb), seperti look for, rang, rushed

• Penggunaan past tense

• Penggunaan Noun-Phrase, seperti: He told the policeman what he had seen

• Penggunaan adjective, seperti: hungry, thirsty, frightened, delighted.

• Penggunaan Adjective Clause, sepert: …and the passer-by who spotted Peter. It was a happy family that returned home.


C. Teks Procedural
1. Ciri-ciri Utama

Tujuan:
Teks procedural berisi serangkaian langkah-langkah untuk membuat sesuatu

Struktur Generik:
a. Goal – apa yang jadi tujuan (apa yang akan dibuat)
b. Materials needed – bahan dan alat apa saja yang dibutuhkan
c. Prodecures – Langkah-langkah yang harus ditempuh

Grammar:
a. Penggunaan Imperative
b. Penggunaan kata benda, frasa kata benda
c. Penggunaan kata sifat
d. Penggunaan linking adverb (first, second, third, finally… atau first, next, then, finally)

2. Contoh Teks Procedural

FRIED RICE


Ingredients:
a plate of rice
2 tablespoons oil
1 tablespoons soybean sauce
1 egg
5 shallots
2 cloves of garlic
some salt and pepper

Equipments:
a knife
a frying pan
a spatula
a plate

Steps:
1. Slice the shallots and garlic
2. Pour the oil into the pan and heat it
3. Cook the shallot and garlic until it smells nice
4. Put the rice into the pan
5. Season with some salt and pepper
6. Stir the rice until all the ingredients are mixed well
7. Put the rice on a plate




Language Features


• Penggunaan kata benda dan frasa kata benda (Noun Group).

• Penggunaan Countable dan Uncountable Nouns

• Penggunaan Imperative

• Penggunaan action verb



D. Teks Report
1. Ciri-ciri Utama

Tujuan:
Teks report bertujuan untuk menyampaikan informasi tentang sesuatu. Pada umumnya teks report menggambarkan hampir semua kelompok benda, baik alami maupun buatan, mamalia, planet, bebatuan, tanaman, komputer, negara, transportasi, dll.

Struktur Generik:
a. Sebuah pernyataan umum yang menggambarkan subyek yang akan dilaporkan, bisa berupa definisi atau klasifikasi
b. Deskripsi (serangkaian informasi tentang subyek, misal ciri-ciri, perilaku, atau tipe)

Grammar:
a. Penggunaan kata benda umum, contoh: “Hunting Dogs” dan bukan “My Dog”
b. Penggunaan kata kerja penghubung (relating/linking verb) untuk menggambarkan ciri suatu benda
c. Penggunaan beberapa action verb untuk menggambarkan perilaku, seperti: emus cannot fly
d. Penggunaan timeless present tense untuk menunjukkan kebiasaan, contoh: some sharks attack humans
e. Penggunaan istilah-istilah teknis, seperti: sharks have cartilage instead of bones
f. Penggunaan paragraph yang berisi kalimat topik untuk menata serangkaian informasi
g. Pengulangan penyebutan topik


2. Contoh Teks Report

Shark Report



A shark is a type of fish that lives in the sea. It is one of the largest sea creatures. There are over 350 species. A shark is shaped like a torpedo. It has rough skin like sandpaper. Instead of bones it has elastic cartilage which helps them to move easily. It can grow up to 8 meters.

Shark are found in all oceans around the world. The type of shark found will depend on the water’s temperature. A shark has to keep moving en it is asleep because it will sink or suffocate. It has to keep moving because it needs to breathe through its gills to keep alive.

When sharks are hungry, they look for food. Different sharks eat different food. Harmless sharks eat plankton but harmful sharks eat meat.

Sharks have up to forty two babies (which are called pups) at a time. When the pups are born, they leave straight away because the mother shark does not have teats.

Some sharks have their pups in different ways, some lay eggs while others have them alive. When they are born they need to defend themselves because they have no one to help them.




Language Features


• Penggunaan Present Tense

• Penggunaan istilah-istilah teknis: elastic, cartilage, plankton.

• Penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan subyek untuk membangun informasi: shark, fisk, sea, species, oceans, water, gills, plankton

• Penggunaan “shark” sebagai fokus utama

• Penggunaan kelompok kata benda (noun groups) untuk menggambarkan sesuatu: different sharks, harmless sharks

• Penggunaan relating/linking verb, contoh: A shark is a type…, it has rough skin




E. Teks Descriptive
1. Ciri-ciri Utama

Tujuan:
Teks descriptive berfokus pada karakteristik benda tertentu, contoh: “Toby the Mongrel” (bandingkan dengan teks report yang menggambarkan benda-benda yang lebih umum, seperti “Hunting Dogs”. Subyeknya bisa saja seseorang, seperti “Granpa”, tempat, seperti “Our House”, atau benda, seperti “My favourite Game”. Isinya bisa berupa imajinasi, seperti deskripsi sebuah puisi. Isinya juga bisa berupa penggambaran yang obyektif, seperti “Robery Suspect”

Struktur Generik:
a. Introduction – pengenalan terhadap subyek yang dideskripsikan
b. Ciri-ciri subyek – seperti bentuk fisik, sifat dan perilaku, ciri-ciri khusus

Grammar:
a. Penggunaan kata benda khusus, seperti: My Teacher, The Opera House, Our Cubby
b. Penggunaan kelompok kata benda yang lebih rinci, seperti: It was a large open rowboat with a tall fron and a tall back (like a Viking boat of old), and it was of such a shining sparkling glistening pink colour
c. Penggunaan berbagai bentuk adjective, seperti describing, numbering, classifying
d. Penggunaan relating/linking verb untuk menjelaskan subyek, seperti: My mum is really cool.
e. Penggunaan kata kerja yang menunjukkan pikiran dan perasaan 2210297 pribadi penulis tentang subyek yang diceritakan, seperti: Police believe the suspect is armed. Kata kerja seperti ini digunakan juga untuk menggambarkan apa yang dipikirkan atau dirasakan subyek, seperti: My friend Amanda adores chocolate ice-cream
f. Penggunaan action verb: seperti, Our new puppy nips at our heels and wrestles with our slippers.
g. Penggunaan kata keterangan untuk menjelaskan perilaku, seperti: Our new puppy always nips playfully at our heels.
h. Penggunaan metaphor, simile, dan bahasa-bahasa figurative lainnya, seperti: But Mulga Bill, as white as chalk, sat tight…;that two-wheeled outlaw (Mulga Bill’s Bicycle)

2. Contoh Teks Descriptive

Ahmed



Ahmed was an enormous elephant – the biggest land animal on earth. He was famous because of his tusks which measured at least three meters long. They dug into the ground as he walked and got entangled in vines, so he had to hold his head high. This posture gave him a “royal” appearance.

People loved Ahmed, but poachers from all over the world were boasting and saying they would kill the big tusker. All the wildlife lovers were very worried and sent letters to President Kenyatta. The President wrote a decree that protected the elephant with five armed guards and allowed them to shoot any poachers on the spot.

One day the time came and this beloved creature sank onto his knees, rolled over and died in peace from old age.



Language Features

• Penggunaan komparatif, seperti: biggest

• Penggunaan numbering adjective, seperti three


• Penggunaan thinking verbs, seperti: loved


• Penggunaan saying verbs, seperti: saying


• Penggunaan relating/linking verb: seperti: Ahmed was an …

• Penggunaan kelompok kata benda yang lebih rinci, seperti: five armed guard

• Penggunaan action verb: shoot, rolled, died

• Penggunaan kata keterangan untuk menggambarkan perilaku

***


Ditulis ulang oleh: Agnes Bemoe
Pekanbaru, 23 November 2010

Sunday 21 November 2010

Informasi:

November 21, 2010 0 Comments
Segera terbit dari LeutikaPrio: PITA, THE LITTLE SPARROW, karya Agnes Bemoe....bagi teman2 lain, segera terbitkan karyamu di LeuPrio :)
--- Status Leutika Publisher, Jumat, 19 November 2010

Thursday 11 November 2010

QUIZ ON ADJECTIVE CLAUSE FOR 9TH GRADE

November 11, 2010 0 Comments
CHOOSE THE CORRECT ANSWER!

1. The old man is riding his bicycle. We greet the man. The correct combination of those sentence is:
a. The old man is riding his bicycle who we greet.
b. The old man is riding his bicycle whom we greet the man.
c. The old man whom is riding his bicycle we greet.
d. The old man whom we greet is riding his bicycle.

2. The theater were crowded. My Mom and I saw “Lion King 2” there. The correct combination of those sentence is:
a. The theater were my Mom and I saw “Lion King2” crowded.
b. The theater where my Mom and I saw “Lion King2” were crowded.
c. The theater were my Mom and I saw “Lion King2” where crowded.
d. The theater were crowded where my Mom and I saw “Lion King2”

3. My dog bit a man. I was angry with the man. The correct combination of those sentence is:
a. My dog bit a man whom I was angry with.
b. My dog which bit a man I was angry with
c. My dog which I was angry with bit a man.
d. My dog that bit a man I was angry with

4. Christmas is always awaited. We share love at Christmas. The correct combination of those sentence is:
a. Christmas is always awaited where we share love.
b. Christmas is always why we share love awaited
c. Christmas when we share love is always awaited.
d. Christmas which we share love is always awaited.


5. The cute little girl is looking for her Mummy. Her hair is blond. The correct combination of those sentence is:
a. The cute little girl is looking for her Mummy who hair is blond.
b. The cute little girl whose hair is blond is looking for her Mummy.
c. The cute little girl who hair is blond is looking for her Mummy.
d. The cute little girl whom is looking for her Mummy is blond.


6. The time is now. We have to work hard to pass our examination at that time.
a. We have to work hard to pass our examination when the time is now.
b. The time is now when we have to work hard to pass our examination at that time.
c. The time when we have to work hard to pass our examination is now.
d. When The time is now we have to work hard to pass our examination at that time.

7. My neighbor, _____ is so fussy, is now ill.
a. who
b. which
c. whom
d. what

8. The road, _____ I everyday pass through, is now jammed.
a. who
b. which
c. whom
d. what

9. We like teachers, ______ teach clearly and patiently.
a. who
b. which
c. whom
d. what

10. The teacher, _______ Imelda just met, was very angry.
a. who
b. which
c. whom
d. what

11. Listen to the music ______ has just played!
a. who
b. which
c. whom
d. what

12. Daniel, _______ is a rock-superstar, was my classmate.
a. whom
b. who
c. which
d. what

13. Naomi, __________ hair is long and healthy, won a hair-contest held by “Sunsilk”.
a. who
b. whom
c. whose
d. which

14. Mr. Hutabarat ______________ I met at the party is very kind.
a. who
b. whom
c. whose
d. which

15. I like music _______ is slow and gentle.
a. who
b. which
c. what
d. whose

16. Stanley is a boy _____ always make noise in the class.
a. who
b. whom
c. which
d. whose

17. Put all of your stuff in the place ______ you usually keep your properties.
a. which
b. that
c. where
d. what

18. Complete this dialogue!
Rocky : Who is that girl, Franky?
Franky : Which one?
Rocky : Over there. She is talking with Mr. Ginting.
Franky : I don’t know ______________________
a. who she is talking with Mr. Ginting.
b. who is that girl
c. which one girl is talking with Mr. Ginting.
d. the girl who is talking with Mr. Ginting.

19. The children are so naughty. I think they need families __________
a. that can give them affection
b. where can teach them the manner
c. whom they become the role model to
d. which give them complete facilities

20. Never come to the hotels ____________
a. which you can stay over uncomfortably.
b. that serve no breakfast.
c. which there are many tourist.
d. where is far from airport

21. “My First Love” was sung by a little girl ________________, except:
a. whose age was only 12.
b. who had recorded many albums.
c. that I knew her by myself.
d. Whom every listener loved.

22. Which sentence is correct?
a. Many girls whose lost their boyfriends, will soon feel better by talking with their best friend.
b. The earthquake that reached 7.3 in Richter Scale shocked the citizens in three provinces.
c. “Cap Go Meh” what is celebrated by locals in Bagansiapiapi is celebrated too in Pekanbaru.
d. Black mail is a letter who doesn’t write the name of the sender.

23. Which sentence is incorrect?
a. Forest which supplies oxygen for the earth should be protected.
b. Those who are involved in illegal logging are unfortunately protected by the corrupt law.
c. Riau where used to be the earth’s lung now supplies carbon dioxide the most.
d. Infants who are still very fragile are the first victims of the smoke caused by forest fire.

24. Which sentence doesn’t contain Adjective Clause?
a. I remember the day when for the first time I became a Junior High School student.
b. We should consider when is the best time for playing and fooling around.
c. June is the best time when we can arrange our holiday.
d. Wait a minute! I have to memorize the exact date when Dutch’s Ship harbored in Sunda Kelapa.

25. These sentence are correct, except:
a. Mr. Simanullang whom gave us much homework is now giving us impromptu test.
b. I am about to leave the school where I spent my pre-teenager.
c. Ika will submit to a school that provides many extracurricular activities.
d. The team which never loose received big prizes.

26. Which sentence contains correct Adjective Clause?
a. No one knows who stole Maya’s mobile phone.
b. Who laughs the last, laughs the best.
c. Teachers often think that students who are smart don’t have to study hard.
d. When I was in Kuta I was interested in little colored dolls who is made from wood.

27. “She asked him to put a plastic cup on each bottle, which my dad left out with the bottles.” The word “which” modifies:
a. She
b. Plastic cup
c. Bottle
d. My dad

28. “Eventually, granddad made a wooden box, which opened at the side.” The word “which” modifies:
a. granddad
b. wooden box
c. my dad
d. the side

29. “Once upon a time there was a beautiful girl called Sarah, who lived with her step mother.” This sentence is build by two sentences. They are:
a. Once upon a time there was a beautiful girl called Sarah. Sarah lived with her step mother.
b. Once upon a time there was a beautiful girl. She was called Sarah
c. Once upon a time there was a beautiful girl called Sarah. Her step mother lived with her.
d. Once upon a time there was a beautiful girl. Sarah lived with her step mother.

30. “One day when her father was working out side, the step mother hit Sarah and expelled her from the house.” This sentence is build by two sentences. They are:
a. Her father was working out side one day. The step mother hit Sarah and expelled her from the house.
b. Her father was working out side one day. Sarah expelled her mother from the house.
c. Sarah’s step mother hit and expelled her from the house one day. Her father was working out side on the day.
d. The step mother hit Sarah and expelled her from the house one day. Sarah’s father was working out side at that moment.

Sunday 7 November 2010

BIAR NGGAK MATI GAYA JADI GURU_2. PAHAM KONDISI ANAK

November 07, 2010 0 Comments

Itulah sebabnya calon guru di IKIP (dulu) ataupun FKIP harus belajar Psikologi Pendidikan, yang didalamnya juga mencakup pemahaman tentang fase perkembangan anak dan kebutuhan psikologisnya. Walaupun materi ini hanya diberikan sejauh 1-2 semester, materi ini, menurut saya, malah merupakan materi yang paling penting bagi guru. Setiap saat guru harus menghadapi sekian banyak anak dengan sekian karakter. Sangat riskan kalau guru tidak paham kondisi dan kebutuhan psikologis anak.

Ketidakpahaman akan kondisi dan kebutuhan psikologi anak ini yang terkadang menimbulkan kesemena-menaan guru (sekolah) terhadap anak didik. Anak usia pra-sekolah yang seharusnya masih dalam taraf bermain dan bersosialisasi dipaksa untuk menulis, bermatematika, ataupun berbahasa asing dengan canggih.

Guru juga kadang mengeluhkan anak-anak usia SMP yang “mulai berani melawan, tidak seperti di SD dulu”. Tentu saja anak-anak itu harus demikian, karena usia pertengahan SMP sampai awal SMA adalah rentang usia yang sering disebut “Sturm und Drang” alias topan badai. Anak tumbuh seperti semburan gunung berapi yang tidak bisa ditahan, apalagi dilawan. Seperti terhadap alam, cara terbaik adalah dengan membangun sungai-sungai lava yang menyalurkan lahar panas itu ke tempat yang lebih baik tanpa merusak sekelilingnya. Bagaimana? Yaitu dengan pengajaran yang kreatif, inovatif, dan menantang. Kecerdikan, kecerdasan guru, dan keinginan untuk selalu belajar (lagi-lagi) dibutuhkan di sini.

Selain dari membaca buku-buku tentang psikologi perkembangan, guru bisa paham kondisi anak dengan cara berkomunikasi dengan anak. Dari membaca buku kita mendapatkan gambaran umum tentang anak, sedangkan dari berkomunikasi, kita mendapatkan gambaran yang lebih spesifik. Namun, sebelumnya, perlu saya tekankan bahwa sejatinya guru bukanlah psikolog profesional, jadi, jangan sampai melampaui ranah profesi guru tersebut. Bila kita merasa ada sesuatu yang di luar kemampuan kita, seharusnya kita segera merekomendasikannya pada psikolog atau paling tidak Guru BP/BK di sekolah.

Sebagai guru, kita sering menuntut anak ada pada kondisi prima ketika belajar. Padahal, sama seperti kita, anak juga tidak problem-free. Jangan buru-buru marah pada anak, bila anak bermasalah di kelas. Mungkin itu adalah caranya untuk menyalurkan kemarahan, kesedihan, atau apapun yang ia sedang alami. Saya sendiri tidak lama menjadi guru, namun, dari pengalaman yang singkat itu, saya menemukan bahwa dalam diri anak yang “nakal” pasti ada something wrong yang mau ia keluarkan, ia sampaikan, atau ia tunjukkan. Berkomunikasi membantu anak untuk mengeluarkan kesuntukan pikirannya.

Thursday 21 October 2010

Classroom Today: Menerapkan "Peer Teaching" di Ruang Kelas

October 21, 2010 0 Comments

Setahun yang lalu, ketika masih menjadi guru, saya mencoba menerapkan model belajar “Peer Teaching”. Dalam beberapa buku teks model belajar seperti ini disebut juga “Cooperatif Script”, yang langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Bentuk kelompok beranggotakan 5-6 siswa (kemampuan siswa heterogen)
2. Beri tugas/permasalahan dalam kelompok untuk dipecahkan secara bersama (siswa bekerja dalam kelompok, saling bantu membantu)
3. Beri tes/kuis
4. Beri penghargaan per kelompok
(Adi Wijaya)

Ketika itu saya mengajar di kelas 9 H, dengan jumlah siswa 40 orang. Catatan, siswa kelas 9 H adalah anak-anak yang baik, namun, seperti kebanyakan anak kelas 9 lainnya mereka sulit diam. Namun, saya berani mencoba menerapkan teknik ini karena saya melihat kemauan belajar mereka dari balik perilakunya yang “ribut” dan “tidak bisa diam” itu.

Berikut ini yang saya terapkan di kelas 9 H SMP Santa Maria Pekanbaru T.P. 2009/2010.
Langkah pertama: Saya membagi kelas menjadi 10 kelompok dengan anggota yang heterogen. Saya memilih ketua kelompok. Pertimbangan pertama dalam memilih ketua kelompok adalah anak yang menonjol dalam pelajaran Bahasa Inggris. Pertimbangan selanjutnya adalah anak tersebut cukup punya potensi memimpin.
Lucunya, di kelas 9 H sebetulnya banyak anak yang pandai dalam pelajaran Bahasa Inggris, namun, begitu ditunjuk menjadi ketua kelompok, mereka serta merta menolak. Alasannya macam-macam. Yang jelas, mereka (sama seperti saya pada waktu seusia mereka) merasakan beratnya tanggung jawab memimpin dan mengelola sekelompok orang. Mejadi ketua kelompok terkadang malah jadi korban; diabaikan oleh teman-temannya, dimarahi guru kalau kelompoknya tidak becus, dan lain sebagainya. Akhirnya, dengan berbagai cara (termasuk salah satunya dengan bertangan besi… hehehe…) saya meyakinkan para ketua kelompok itu untuk tetap pada tugasnya.

Di lain pihak, para anggota juga tidak kalah cerewetnya. Karena saya yang menyusun keanggotaan –berdasarkan rangking di kelas-, maka mereka tidak bisa suka-suka memilih teman (dan kemudian nanti mengabaikan belajarnya). Ada yang tidak mau bila mendapatkan ketua Si A, dengan alasan anaknya kejam, egois, blah blah blah… Ada yang tidak mau dengan Si B karena kebetulan sedang bermasalah. Lagi-lagi, saya menerapkan tangan besi saya (suer, istilah “tangan besi” ini lebih banyak kidding-nya dari pada seriusnya….).

Berikutnya, bagian dari langkah pertama yang saya rasa paling penting: aturan main. Saya menerapkan beberapa aturan main lengkap dengan konsekuensinya. Aturan main ini saya sesuaikan dengan kondisi kelas saat itu. Karena anak 9 H pada umumnya bermasalah pada kondusivitas belajar, maka itulah yang saya jadikan point utama. Saya membuat “rapor” di white board, isinya pantauan terhadap kelompok yang tidak kondusif dalam belajar. Namun, dalam prakteknya, saya mengalami bahwa anak-anak 9 H aktif dalam kondisi belajar seperti itu, sehingga “rapor” saya nyaris tidak digunakan. Saya menjelaskan bahwa mereka nanti akan belajar bersama teman-temannya, dan akan diuji. Saya memerincikan apa yang kira-kira akan dibuat dalam kegiatan tersebut.

Langkah kedua: saya memberi tutorial pada para ketua kelompok tentang materi “If-Clause”. Tentu saja dengan kondisi belajar mengajar di Indonesia yang super ketat dan super padat saya harus mencari waktu ekstra untuk itu. Saat itu saya menggunakan waktu saat teman-teman mereka harus mengikuti tes remedi.
Karena kelompok itu adalah kelompok yang cepat menguasai Bahasa Inggris maka tidak terlalu sulit untuk membuat mereka memahami materi. Yang saya tekankan adalah mereka harus membuat teman-teman mereka mampu memahami materi dasar tentang If- Clause itu. Saya sampaikan bahwa dari pemahaman teman-temannya itulah mereka akan dinilai. Hmm… memang berat ya, untuk anak SMP. Tapi, yang saya pahami dari teknik belajar peer teaching ini adalah falsafah berikut ini: dengan mengajar, kita belajar dua kali. Makanya, sebenarnya mendapat manfaat yang lebih daripada teman-temannya.

Langkah ketiga: Para ketua kelompok itu masuk ke dalam kelompok, dan mulai menjadi guru bagi teman-teman sekelompoknya (makanya namanya peer–teaching). Saya sendiri berkeliling untuk mengawasi (dan terus terang, mengambil foto-foto, hehehe….).
Saya ingat, saya sendiri takjub dengan apa yang saya lihat di kelompok-kelompok itu. “Guru-guru kecil” itu saya ingat serius sekali dalam mengajar, lengkap dengan teman-teman mereka yang tidak kalah seriusnya. Ada juga ketua kelompok yang “kejam”, teman-temannya ditanyainya satu per satu sampai hapal (tentang pattern If-Clause). Ada juga ketua kelompok yang telateeeeen sekali menjelaskan sampai hal yang sekecil-kecilnya.

“Para murid” juga tidak kalah menakjubkannya. Tidak ada lagi anak yang ngobrol sendiri. Sebaliknya, mereka memperhatikan dengan tekun, bahkan ada juga yang bertanya! Hhmm… kalau yang menerangkan gurunya, jangankan bertanya, mendengarkan saja pun belum tentu!
Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan mengenai cara belajar itu, tapi yang jelas saya malah merasa sangat surprised dengan apa yang ada di depan saya. Kelas memang buzzing, tapi, itu karena para “guru” dan “murid” yang saling berdiskusi.

Langkah ke empat: di langkah ke empat ini pada dasarnya saya melakukan evaluasi. Evaluasinya bukan tes tertulis, tetapi berupa Cerdas Cermat antar kelompok. Pembuat soal adalah saya. Soal saya sesuaikan dengan materi dasar yang saya tetapkan pada para ketua kelompok untuk mengajarkannya pada teman-temannya. Para ketua kelompok sekarang harus keluar dari kelompok. Mereka menjadi juri dan penentu nilai. Sementara itu, teman-temannya satu kelompoklah yang harus menjawab.

Oh ya, perlu saya jelaskan bahwa saya sudah membedakan tiap-tiap anggota kelompok menurut rangking; jadi, kelompok A ada anak 20 besar (sebut saja “nomor 1”), ada anak 30 besar (“nomor 2”), dan 40 besar (“nomor 3”). Jadi, prinsipnya kelompok itu adalah kelompok heterogen. Saya juga sudah menyiapkan soal dengan tingkat kesulitan yang bertahap; mudah – sedang – sukar.

Jadi, beginilah kira-kira pelaksanaannya: saya menyebutkan bahwa soal nomor 1 ini untuk anak nomor 3 (dari tiap-tiap kelompok). Saya menayangkan soal di proyektor, semua anak nomor 3 (hanya anak-anak nomor 3 saja) yang merasa bisa silahkan maju, menuliskan jawabannya di selembar kertas kecil, menyerahkannya pada para juri. Tentu saja ada batasan waktunya. Selanjutnya juri menilai apakah jawaban temannya benar atau salah, kemudian memberi sekor. Di monitor saya sendiri juga sudah menyiapkan jawabannya. Tapi saya lebih senang menyerahkan pada para juri untuk memutuskan.
Memang mungkin ada kekawatiran para juri tidak jujur. Di kelas 9 H, syukurlah para juri adalah anak-anak yang kompetitif namun punya integritas, sehingga saya tidak menemukan masalah itu. Mereka dengan sportif mengatakan bahwa teman mereka salah dan tidak mendapat nilai. Namun, bila dirasa perlu, mungkin bisa juga mengacak para juri, sehingga mereka tidak bisa menguntungkan kelompoknya atau merugikan kelompok tertentu.

Setelah selesai, tentu semua nilai dihitung, dan dicari juara I, II, dan III. Yang membuat saya terkejut adalah, pemegang juara I adalah kelompok yang ketuanya sejak awal protes karena dirinya ditunjuk sebagai ketua. Si cerewet ini merasa tidak pede menjadi ketua. Dan sebaliknya, teman-temannya juga sedari awal menolak dia dipilih menjadi ketua, karena sifatnya yang “kejam”. Ternyata simbiose yang aneh ini malah membawa kelompok ini menjadi Juara I! Saya tidak tahu persis proses kimiawi apa yang berlangsung selama mereka belajar bersama, yang jelas mereka sama-sama merasa bangga; baik ketua kelompok maupun anggota-anggotanya.

Seingat saya runner-up nya pun dipegang oleh kelompok yang ketuanya agak nyleneh. Paling suka ribut kalau belajar konvensional. Belajar dengan cara ini mungkin menumbuhkan rasa tanggung jawabnya.

Teknik Cerdas-Cermat yang saya pilih nampaknya membuat anak-anak lebih bersemangat. Tidak ada lagi anak yang itu-itu saja yang menjawab, sementara teman yang lainnya “bersembunyi”. Semua tertantang untuk menjawab. Dan, yang saya perhatikan adalah ada anak yang biasanya kurang menonjol, sekarang menjadi bersemangat untuk maju, menjawab pertanyaan, dan jawabannya benar!

Sebagai guru saya merasa sangat excited melihat hasil yang tidak terduga semacam ini! Dibandingkan dengan sekor nilai yang mereka dapat, saya malah jauh lebih bangga dan bahagia dengan hasil kualitatif seperti yang saya lihat di atas; anak bersemangat untuk belajar.

PENUTUP
Ketika itu yang saya rasakan sebagai guru dalam mengajar dengan teknik “Peer Teaching” ini adalah saya malah tidak lelah secara emosional. Saya memang “kelelahan” menyiapkan bahan, kemudian mempersiapkan kelompok inti, dan bahkan kemudian membuat pengajaran ulang, tapi itu malah membuat saya excited.
Saya terbantu dalam mengajarkan teknik ini terutama karena anak-anak yang saya ajar sebetulnya SUKA BELAJAR. Hanya saja selama ini mereka jenuh dengan suasana belajar. Teknik ini merupakan salah satu yang bisa mengusir kejenuhan anak dalam belajar.
Saya tidak sempat menjaring pendapat para siswa tentang kegiatan belajar mengajar yang mereka jalani, namun, saya merasakan atmosfer yang lain pada saat saya menerapkan teknik ini. Saya merasakan adanya semangat, saya merasakan adanya keinginan untuk berkompetisi, saya merasakan kepuasan dan kebanggaan. Hal-hal seperti ini agak jarang saya dapati (secara lebih klasikal) kalau saya mengajar dengan cara konvensional.

Model belajar seperti ini jelas membutuhkan waktu yang banyak. Kondisi belajar mengajar di sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya adalah materi yang membludak dengan waktu yang sedikit (apalagi di kelas 9). Namun waktu itu saya mengambil resiko itu. Saya pikir, tanpa ini juga toh waktu sudah kurang, jadi apa bedanya. Dan ternyata, hasilnya sepadan. Model belajar seperti ini juga membantu membuka paradigma anak, bahwa belajar tidak harus melulu membuka buku dan membaca dengan diam. Belajar juga tidak harus mendengar ceramah dari guru. Dengan model belajar yang sepertinya “rame” ini tanpa disadari mereka menyerap suatu ilmu, dan itu berarti mereka telah belajar sesuatu.

Bagi saya sebagai guru (waktu itu) teknik mengajar seperti ini membuat setiap detik dalam waktu saya di dalam kelas menjadi lebih berharga.(db)

Pekanbaru. 19 Oktober 2010
Agnes Bemoe

Uskup Padang: "Jangan Jadi Virus!"

October 21, 2010 0 Comments
Penulis: Christina Widyarianti, S.S.

Demikian himbauan Uskup Padang Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFMCap. kepada segenap yang hadir di Misa Syukur pemberkatan gedung baru SMA Santa Maria Pekanbaru bertempat di lapangan sekolah, Rabu pekan silam. Himbauan ini disampaikan melalui kotbahnya dalam misa yang dihadiri oleh kurang lebih 700 hadirin yang terdiri dari Pembina, Pengawas dan Pengurus Yayasan Prayoga Riau (YPR); pendidik dan tenaga kependidikan sekolah-sekolah Santa Maria di Pekanbaru; serta para siswa SMA Santa Maria.

Mendasarkan kotbahnya pada bacaan yang diambil dari Injil Matius 7:24-27 Uskup Padang yang sekaligus Ketua Dewan Pembina YPR ini menegaskan bahwa orang katolik hendaknya berlaku bijaksana, seperti orang yang membangun di atas wadas dan bukannya di atas pasir. Orang yang membangun rumahnya di atas pasir adalah orang yang hanya gegap gempita di atas kemilaunya dunia. Orang-orang seperti ini tidak membangun rumahnya berdasarkan perutusan, kasih, dan ketaatan pada Tuhan.

Masih dalam kotbahnya, Bapa Uskup yang juga Ketua KWI ini menekankan pentingnya menjauhi sifat manipulatif, yakni sifat bermegah diri karena hasil kerja atau keberhasilan orang lain. Jangan melakukan sesuatu untuk menyombongkan diri serta memperkaya diri sendiri.
“Kalau kita bersikap seperti itu, maka kita adalah virus-virus di masyarakat yang akan merusak tatanan kehidupan,” tegas Bapa Uskup.
Selain meminta kepada yang hadir untuk tidak menjadi virus, Bapa Uskup juga secara jelas menekankan perlunya sikap peduli apabila ada virus-virus di sekitar mereka.
“Kita harus bertindak sebagai pemain yang selalu peka terhadap lingkungan kita, sehingga virus-virus tersebut tidak semakin merebak ke mana-mana. Janganlah kita mau hanya sebagai onderdil alias pelengkap dalam kehidupan ini. Tuhan mengharapkan kita memegang peranan inti dalam kehidupa demi kemuliaan Tuhan.” demikian Bapa Uskup.

Kepada para pendidik Bapa Uskup mengingatkan untuk mendidik anak-anak mejadi anak-anak yang bukan saja cerdas secara intelektual, tetapi lebih-lebih menjadi manusia yang dapat memberi arti kepada hidup dan imannya. Mendidik manusia yang tidak egois dengan ilmu dan kemampuan serta hartanya; mendidik manusia yang tidak hampa moralitasnya, hampa keadilan, dan hampa kasih. Selain itu, pendidik hendaknya menjauhkan anak didik mereka dari kesombongan, sikap manipulatif dan kemunafikan.
Di lain pihak, para pendidik adalah keluarga yang harus saling mengajar, menghargai, dan menegur, supaya lahan yang digarap dapat tumbuh dengan subur dan makmur, dan bukannya gugur dan hancur.

“Tugas sebagai pendidik bukanlah tugas yang diberikan oleh yayasan, melainkan Tuhan sendiri mempercayakan tugas-tugas tersebut kepada kita, sehingga bukan pada tempatnya kalau kita ingin mencari keuntungan pribadi ataupun kelompok tertentu.” tegas Bapa Uskup.

Di akhir homilinya Bapa Uskup menghimbau kepada pengurus yayasan, pendidik dan tenaga kependidikan agar dapat membangun karya di atas wadas dan hidup di atas keringat sendiri. Dengan itu, Tuhan pasti akan selalu memberi berkat dan rahmat, bantuan, dan anugerahNya.

Misa yang diadakan persis sehari setelah perayaan Kemerdekaan RI ini sendiri berlangsung dengan meriah namun tertib. Misa tidak hanya diramaikan dengan orgen dan panduan suara, namun juga dengan band yang dibawakan oleh siswa-siswa SMA Santa Maria Pekanbaru. Sebelum misa dimulai Bapa Uskup disambut dengan tari-tarian Melayu, Minang, dan Batak Toba oleh sejumlah penari yang adalah siswa-siswi SMA Santa Maria Pekanbaru. Beliau kemudian memimpin misa dengan didampingi oleh P. Antonius Konseng, Pr., M. Sc., P. Emilius Sakoikoi, Pr., dan P. Immanuel Nardelo, S.X. sebagai konselebran.

Misa Syukur kemudian dilanjutkan dengan acara penandatanganan prasasti oleh Bapa Uskup. Prasasti tersebut menandakan telah resmi digunakannya bangunan baru bagi SMA Santa Maria. Bangunan ini sendiri sebenarnya adalah tambahan bagi bangunan yang sudah ada. Bangunan baru ini adalah bangunan tiga lantai yang digunakan sebagai ruang kelas, laboratorium, perpustakaan , dan ruang majelis guru. Dalam dua tahun terakhir ini SMA Santa Maria memang mengalami peningkatan pesat dalam jumlah murid. Tidak heran kalau sekolah ini membutuhkan tambahan gedung. Berbanding dengan dua-tiga tahun lalu tercatat ada kenaikan jumlah murid sebanyak 30%. Kini sekolah ini mengasuh sekitar … siswa dengan 51 pendidik dan tenaga kependidikan.

Dalam kesempatan itu H. Sihombing, S. E., Kepala SMA Santa Maria Pekanbaru menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Pembina, Pengawas, dan Pengurus Yayasan Prayoga Riau yang memperhatikan kebutuhan sarana pendidikan di SMA Santa Maria Pekanbaru. Menurut kepala sekolah yang banyak membawa perubahan positif bagi SMA Santa Maria ini, penambahan gedung ini memberi motivasi baru bagi peserta didik dan para pendidik.

Bagi segenap pendidik dan tenaga kependidikan SMA Santa Maria sendiri, tambahan gedung baru ini merupakan apresiasi atas prestasi-prestasi yang diperoleh belakangan ini. Tidak hanya pertambahan jumlah murid yang merupakan indikator naiknya tingkat kepercayaan masyarakat, namun beberapa prestasi lainnya juga cukup membanggakan, misalnya dalam hal kelulusan. Sudah dua tahun terakhir ini sekolah yang baru-baru ini menyabet gelar Honorable Mansion dalam Olimpiade Sains bidang Fisika Tingkat Asia ini mencatat kelulusan 100% bagi para siswanya. Akreditasi sekolah juga meningkat, dari predikat B mejadi predikat A. Ini belum lagi prestasi-prestasi yang diperoleh siswa baik dalam bidang akademik dan non akademik seperti Juara Umum dua kali berturut-turut dalam Lomba Akuntansi tingkat Propinsi Riau, Juara I DBL 2009 tingkat Propinsi Riau untuk tim putri dan Juara I DBL 2008 tingkat Propinsi Riau untuk tim putra, serta Juara III Tingkat Nasional OSN Bidang Komputer.


Pekanbaru, 21 Agustus 2010
Christina Widyarianti, S. S.
Guru Bahasa Inggris SMA Santa Maria Pekanbaru


Tulisan ini dimuat di Majalah HIDUP, Edisi September 2010 dan Majalah EDUCARE, Edisi Oktober 2010

Sunday 17 October 2010

KEPEMIMPINAN YANG UPTODATE

October 17, 2010 2 Comments
KEPEMIMPINAN SEKOLAH SELAMA INI

Dengan segala hormat terhadap beberapa sekolah yang telah berupaya keras dalam mengembangkan institusinya, harus diakui dengan besar hati, bahwa beberapa sekolah lainnya masih lambat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan terkini, baik dalam hal kepemimpinan, manajemen, ataupun dalam hal isu-isu kependidikan sendiri, yang seharusnya menjadi keahlian sebuah institusi pendidikan.

Pada saat dunia dan institusi-institusi lainnya telah berkembang dan matang dengan suatu perkembangan baru, masih ada saja sekolah yang baru tahu atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang isu tersebut. Contohnya dalam hal manajemen dan kepemimpinan. Masih banyak sekolah yang menerapkan pola kepemimpinan/manajemen lama, seperti terpusatnya kepemimpinan pada sosok kepala sekolah. Tidak ada pengorganisasian, tidak ada pendelegasian, tidak ada diskusi untuk membicarakan sesuatu. Kepala sekolah mengatur semua urusan, dari hulu ke hilir. Dan yang lebih memprihatinkan, masih ada saja sekolah yang dipimpin oleh orang-orang yang tidak memiliki visi tentang kependidikan.

Pada beberapa sekolah, terjadi bahwa penunjukkan kepala sekolah dilakukan oleh institusi di atasnya, misalnya yayasan. Beberapa pertimbangan pragmatis, seperti pengamanan kepentingan orang-orang di dalam yayasan menjadi pertimbangan penunjukkan kepala sekolah. Dampaknya, tujuan utama yakni pendidikan seringkali diturunkan prioritasnya di bawah tujuan mengamankan kepentingan seseorang ataupun sekelompok orang. Untuk kepentingan sesaat dan sangat pragmatis itu, tidak jarang ditunjuk orang-orang yang tidak punya visi kependidikan.

Dengan tidak dimilikinya visi kependidikan ini, orientasi pengembangan sekolah tidaklah diletakkan pada esensi pendidikan, melainkan lebih ke kosmetika-kosmetika pendidikan. Kepala sekolah lebih getol membentuk kelompok-kelompok ilmiah, untuk persiapan olimpiade ini itu, ketimbang menyediakan sarana, waktu dan perhatian untuk kegiatan-kegiatan yang bisa membina lebih banyak anak, misalnya olah raga atau seni. Kepala sekolah juga lebih suka membangun taman, misalnya, daripada membeli buku untuk kekayaan perpustakaan. Membangun taman diangap lebih memberikan daya jual bagi sekolah daripada membeli buku yang malah dianggap pemborosan.

Karena kurangnya visi kependidikan ini jugalah, yang kemudian membuat cara pandang terhadap guru dan murid menjadi jauh berbeda. Guru bukanlah dijadikan aset sekolah, sebagai ujung tombak untuk tercapainya tujuan pendidikan. Guru diturunkan derajatnya hanya menjadi pekerja-pekerja di sekolah itu. Sebagai pekerja, guru dianggap sudah diberi gaji, oleh karenanya guru harus bekerja sesuai dengan tuntutan kepala sekolah. Guru, dalam kacamata seorang kepala sekolah yang tidak punya visi, tidak lebih adalah orang bayaran.

Tidak jarang, kita temukan, kepala-kepala sekolah yang enggan mengirimkan gurunya untuk pelatihan, karena pelatihan-pelatihan semacam itu dianggap hanya menghabiskan biaya. Kalaupun guru mau ikut pelatihan tersebut, guru harus menggunakan biaya pribadi.

Karena menganggap guru adalah orang bayaran, kepala sekolah tidak segan-segan mendamprat, mencaci, bahkan menghina guru yang dianggapnya tidak bekerja sesuai dengan perintahnya. Tidak jarang, perbuatan-perbuatan yang jauh dari pantas ini dilakukan di depan orang lain, entah guru lain, orang tua murid, atau bahkan anak murid sendiri, yang mana lebih menambah luka hati seorang guru. Ini karena kepala sekolah yakin para guru itu derajatnya jauh di bawahnya. Dan karena kepala sekolah merasa diri sebagai penguasa yang berhak melakukan apa saja terhadap para bawahannya.

Kepala-kepala sekolah yang tidak memiliki visi kependidikan cenderung bekerja untuk kepentingan pribadi/prestise pribadi daripada kebaikan sekolah/yayasan. Yang terpenting bagi kepala sekolah seperti ini adalah apakah kepentingannya sudah terpenuhi, tidak perduli apakah kepentingan itu bermanfaat untuk pendidikan di sekolah atau tidak. Ini persis seperti yang diungkapkan oleh Ken Blanchard dan Phil Hodges dalam buku mereka “Lead Like Jesus”, yakni “Hati yang didorong oleh kepentingan sendiri melihat dunia dengan membawa keyakinan “memberi sedikit, mengambil banyak”. Orang dengan hati yang didorong oleh kepentingan diri sendiri menempatkan agenda, keamanan, status dan kepuasan diri sendiri lebih tinggi dari pada urusan oran yang terkena akibat dari pikiran dan tindakan mereka.” (Lead Like Jesus, P. 51)

Mereka juga biasanya tidak punya inisiatif. Inisiatif lebih sering datang dari otorita yang lebih atas lagi. Kepala sekolah seperti ini sebenarnya tidak lebih pekerja bagi otorita yang lebih di atasnya, walaupun kemudian berlagak sebagai penguasa tunggal di sekolahnya. Kepala sekolah tidak berani mengambil resiko atas inisiatif yang diambilnya, oleh karenanya lebih baik tidak berinisiatif. Bila muncul tantangan atas inisiatif itu, dengan mudahnya kepala sekolah dapat mengatakan bahwa itu sudah menjadi keputusan yayasan/ataupun otoritas lain di atasnya.

Hakekat kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Namun pada kepala sekolah yang tidak memiliki keutamaan ini, kesempatan sebagai kepala sekolah dianggap sebagai sebuah legitimasi untuk menguasai orang-orang di bawahnya. Kepala sekolah dianggap sebagai penguasaan. Implikasinya unsur mengontrol sangat kuat, lebih kuat daripada unsur membina. Seorang pemimpin sejati memandang kekurangan bawahannya sebagai bagian dari kekuarangannya sendiri, dan secara bijaksana mengajak bawahannya untuk memperbaiki diri. Seorang pemimpin sejati memiliki kewibawaan untuk melakukan itu. Tetapi kepala sekolah yang berlaku sebagai penguasa lebih senang berlaku sebagai polisi: getol mencari/mencatat sampai sedetil-detilnya kesalahan/kekurangan bawahan. Lebih senang mendapati anak buahnya dalam keadaan bersalah, lebih puas kalau bisa menangkap basah, daripada berupaya menciptakan atmosfer yang kondusif bagi anak buahnya untuk bekerja. Tidak jarang, kepala sekolah seperti ini tega memasang beberapa guru sebagai “telik sandi” untuk mengawasi sesama rekannya, dan menerima informasi-informasi dari “mata-matanya” ini. Kepala sekolah tidak peduli, bahwa hal itu menimbulkan perpecahan dan ketidakpercayaan di antara sesama rekan kerja. Yang terpenting bagi kepala sekolah seperti ini adalah ia bisa mengontrol bawahanya, dia tidak perduli pada rusaknya atmosfer kerja yang kondusif.

Kepala sekolah seperti ini juga tidak memiliki dan tidak peduli pada ketrampilan-ketrampilan manajerial, tidak punya kemampuan mendelegasi, karena mereka tidak percaya anak buahnya bisa melaksanakan kerjanya. Setiap langkah anak buahnya akan dipantaunya, untuk memastikan apakah perintahnya telah dijalankan. Parahnya lagi, kepala sekolah seperti ini hanya bisa menyuruh, dan memberi tuntutan bahwa suruhannya terlaksana dengan baik. Jarang sekali mereka sendiri bisa melakukannya dengan baik atau bahkan lebih baik. Sama juga jarangnya dengan mereka tampil sebagai orang yang bisa diajak berdiskusi untuk membicarakan sesuatu. Mereka takut kewibawaan mereka berkurang kalau mengajak diskusi para stafnya.

Mereka sangat peka terhadap wilayah kekuasaannya. Mereka ketakutan kekuasaannya berkurang kalau mereka mendelegasikan pekerjaan kepada para stafnya. Dalam pandangan mereka, kekuasaan harus mutlak di tangan mereka. Semua keputusan, sampai pada hal-hal teknis yang sangat remeh temeh pun harus keluar dari mulut mereka. Tidak segan keluar dari mulut mereka: “Saya kepala sekolah di sini, bukan Pak A atau Bu B. Sayalah yang mengambil keputusan.”

Mereka suka menjilat ke atas dan menekan ke bawah. Memberi gambaran begitu bagusnya kepada atasannya untuk menyenangkan hati atasan, dan untuk mempertahankan posisi. Padahal di saat yang sama menginjak dan menindas orang-orang yang dianggap bawahannya. Atasan yang cerdas biasanya tidak mudah dikelabuhi seperti ini. Namun demikian, tidak jarang, bahwa atasan kepala sekolah terdiri dari orang-orang yang lebih suka dijilat, dan menerima lapora ABS, daripada mengecek langsung ke lapangan.

Dalam hal keuangan, sekolah dijalankan seperti menjalankan toko, orientasi pada jumlah uang yang masuk, semua pengeluaran yang tidak langsung menghasilkan laba, akan dianggap sebagai expense. Tidak jarang kita temukan kenyataan bahwa kegiatan bina iman, rekoleksi, atau retret di sekolah katolik, malah dianggap menghabiskan dan menghambur-hamburkan biaya. Sama juga nasibnya dengan kegiatan pembinaan guru, ataupun pembelian buku-buku pustaka.

TANTANGAN KEPEMIMPINAN KINI

Pola kepemimpinan seperti yag disebutkan di atas sudah tidak cocok lagi jaman sekarang ini. Ini karena ada beberapa perkembangan dalam dunia pendidikan yang membutuhkan reaksi yang tepat dan cerdas dari pala pelaku pendidikan.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa memimpin sebuah institusi pendidikan katolik membutuhkan tanggung jawab lebih. Ini karena diyakini bahwa institusi pendidikan ini adalah juga perpanjangan tangan Tuhan untuk menyampaikan kabar baikNya kepada umat manusia. Kalimat ini tidak boleh berhenti sebagai jargon saja, tetapi harus dihayati oleh setiap pemimpin. Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh gereja makro harus juga dihayati sebagai tantangan bagi institusi pendidikan katolik.

Selain itu, akhir-akhir ini kita juga diingatkan, secara khusus oleh Steven R. Covey dalam bukunya “The 8th Habit” bahwa dunia tanpa kita sadari mempunyai kecenderungan untuk berubah. Zaman manusia dengan para pekerja pengetahuannya sudah mulai ditinggalkan. Di masa mendatang, manusia-manusia yang bijaksanalah yang survive. Kita sedang memasuki abad kebijaksanaan. Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnyalah menjadi yang pertama dalam menyadari hal ini. Kepala sekolah sebagai pimpinannya seharusnya menjadi motor penggeraknya.

Di Indonesia sendiri, dunia pendidikan baru-baru ini disentakkan dengan disahkan UU BHP. Terlepas dari kontroversinya, mau tidak mau UU yang sudah disahkan ini harus dijalankan. Ini merupakan sebuah tantangan yang tidak ringan bagi institusi pendidikan.

KEPEMIMPINAN YANG SESUAI

Supaya tidak lagi menjadi institusi yang selalu ketinggalan dalam menghadapi isu-isu dan perubahan-perubahan terkini, maka sekolah membutuhkan kepala sekolah yang benar-benar memiliki visi kependidikan. Kepala sekolah yang memahami benar tentang pendididkan, memiliki gambaran yang benar untuk mengarahkan dan mengelola sekolahnya sehingga benar-bebar menjadi tempat pendidikan. Kepala sekolah yang mencurahkan seluruh energinya untuk mewujudkan gambaran tersebut.

Dalam institusi pendidikan katolik, referensi kepemimpinan seharusnyalah pada Sang Teladan Utama, Yesus. Dalam “Lead like Jesus” Ken Blanchard dan Phil Hodges kembali menegaskan bahwa pemimpin yang baik adalah yang melayani dan bukan minta dilayani. Kalimat ini sudah sering kali kita baca melalui Kita Suci. Namun, tidak dapat dipungkiri, relevansinya masih tak tertandingi. Pemimpin yang melayani diri sendiri bereaksi terhadap segala hal yang terjadi pada mereka. Jika Anda berkata sesuatu kepada mereka atau melakukan sesuatu yang menyinggung kesombongan atau ketakutan mereka, mereka memberikan reaksi. Mereka tidak banyak berpikir tentang atau mempertimbangkan kepentingan terbaik dari orang lain atau hubungan mereka. Mereka melihat sesuatu dari posisi mereka sendiri dan kadang-kadang membayangkan diri mereka pada posisi orang lain. Orang yang sombong atau penuh rasa takut cepat melakukan penlaian, cepat melakukan serangan, dan cepat menarik tanggung jawab atas kesalahan dan lamban memuji. Pemimpin sebagai pelayan, sebaliknya, merespons terhadap segala sesuatu yang terjadi terhadap mereka. Sebelum bertindak, mereka selalu mengambil langkah mundur, bahkan satu atau dua langakah, dari emosi sesaat dan menerapkan nilai tertentu untuk mengecek situasi yang tidak sesuai dengan keingan untuk melayani kepentingan umum. Mereka cepat mendengarkan, lamban menilai, lamban marah, dan cepat berbalik memuji orang lain.

Ken Blanchard juga mengingatkan bahwa keutamaan pemimpin ada dalam kematangan karakter personalnya. Sama seperti Yesus yang memulai karyanya dengan menempa dirinya sendiri, sebelum memilih murid-muridnya. Dengan itu, seorang pemimpin diharapkan bisa menjadi pemimpin yang personal transformasional (p. 26). Selanjutnya, Ken Blanchard dan Phil Hodges mengusulkan empat hal yang harus dikembangkan untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, yakni memimpin dengan hati, kepala, tangan, dan kebiasaan (P.40)

Selain itu buku “The 8th Habit” yang ditulis oleh Steven R. Covey, mengingatkan bahwa ada perubahan yang mau tidak mau harus diakui sedang terjadi. Yakni perubahan menuju abad kebijaksanaan. Seorang pemimpin menurut Covey, tidak harus seseorang yang menjadi atasan di suatu institusi. Siapa saja dalam dalam institusi itu bisa mengembangkan kemampuan kepemimpinannya. Semua orang diajak untuk menemukan suara hatinya sebagai sebuah anugerah dan kemudian mengilhami orang lain untuk menemukan suara hati mereka. Inilah yang menurut Covey, tantangan paling berat bagi seorang pemimpin.

Dan, tantangan terbaru yang harus dihadapi oleh institusi-institusi pendidikan di Indoensia adalah dengan terbitnya UU BHP. UU ini secara drastis telah merubah konfigurasi pengelolaan/kepemimpinan di yayasan dan kemudian sekolah. Dengan adanya UU ini, kepala sekolah harus benar-benar menjadi institusi yang otonom dan mandiri. Bila sebelumnya, kepala sekolah hanya menjadi pelaksana dari kebijakan dan keputusan yayasan, maka kini, kepala sekolah harus mengambil alih semua pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh yayasan. Sekolah-sekolah yang telah membiasakan diri dengan atmosfer yang efektif yang diciptakan bersama antara pimpinan dan seluruh karyawannya tidak akan terlalu kesulitan menghadapinya.

PENUTUP
Perkembangan dalam dunia pendidikan berlangsung begitu cepat, sejalan juga dengan perkembangan yang terjadi pada dunia pada umumnya. Penyintas bagi perubahan-perubahan ini adalah mereka-mereka yang mampu beradaptasi secara cerdas, bukan hanya untuk kepentingan sesaat, tetapi untuk suatu kepentingan yang jauh lebih panjang. Bahkan untuk kepentingan terlaksananya karya Allah di tengah dunia.

Sosok strategis dalam menyikapi perubahan-perubahan ini adalah kepala sekolah. Oleh karenanya, sudah saatnya kepala sekolah dikondisikan menjadi motor penggerak, untuk mencapai visi dan misi pendidikan di sekolah. Sudah saatnya kepala sekolah menjadi orang yang paling up-to-date di institusinya. (db)

Pekanbaru, 25 Mei 2009
Agnes Bemoe

Dimuat di Majalah EDUCARE Edisi Oktober 2009

Saya unggah lagi pada hari ini: 18 Oktober 2010 untuk memperingati kembali peristiwa yang saya alami sebagai guru yang suka menulis: dilarang menulis tulisan "yang semacam ini". Tulisan ini dituduh provokatif dan tidak etis.
Sampai saat ini saya tetap menulis walaupun saya sudah tidak menjadi guru lagi. Dan secara khusus, tulisan ini akan tetap saya unggah, karena saya tidak bermaksud memprovokasi dan saya tidak melihat ada yang tidak etis dalam tulisan saya. (Agnes Bemoe)

Thursday 9 September 2010

Salam...

September 09, 2010 0 Comments
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI... Selamat menikmati kemenangan sejati, yang lahir dari perjuangan hati...

(Pekanbaru, 10 September 2010)

Saturday 14 August 2010

Prinsip-Prinsip Pengelolaan Kelas

August 14, 2010 0 Comments
I. PENGERTIAN
Dari sekian banyak ketrampilan yang harus dikuasai oleh guru, mengelola kelas merupakan ketrampilan yang krusial. Banyak guru yang pandai (dalam bidang studinya), namun, itu semua akan sia-sia belaka kalau ia tidak berhasil mengelola kelas, sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman. Yang perlu diketahui oleh guru (dan juga calon guru) yaitu bahwa kepintaran dalam bidang studi tidak memiliki kaitan signifikan dengan kemampuan mengelola kelas. Jadi, sekali lagi, seberapapun pandai guru itu, kepandaiannya tidak akan banyak membantunya kalau ia tidak terampil dalam mengelola kelasnya.

Ketrampilan mengelola kelas adalah ketrampilan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal, serta mengembalikan kondisi belajar apabila terdapat gangguan.

II. PRINSIP PENGGUNAAN KETRAMPILAN MENGELOLA KELAS
Ketrampilan mengelola kelas erat kaitannya dengan kematangan emosional seorang guru. Perlu diingat bahwa yang dihadapi oleh guru adalah sekumpulan anak, dengan kematangan emosional yang seharusnya belum seperti gurunya. Sehingga, hampir mustahil menuntut seorang anak bersikap matang dan dewasa. Sebaliknya, gurulah yang terlebih dahulu menunjukkan kematangannya sebagai seorang dewasa.

Guru yang hangat, akrab, antusias, dan tulus akan lebih mudah mengelola kelasnya, daripada guru yang tegang dan sok jaim. Ada kemungkinan kelas tenang karena tampang sangar dan kemarahan kita, tapi percayalah, cara terakhir ini hanya akan menguras emosi kita, membuat kita lelah secara emosional, dan hanya akan menyimpan bom-bom waktu untuk masa mendatang. Guru yang hanya mengandalkan kemarahan dan wajah streng tidak akan pernah mendapat respek dari murid-muridnya. Guru yang seperti ini juga melenyapkan kesempatan anak untuk belajar bagaimana menjadi lebih dewasa. Ingatlah, bahwa kedewasaan hanya bisa tercapai melalui interaksi yang sehat antara anak dan orang dewasa. Bila interaksi itu interaksi yang diktatoris, maka sebetulnya anak tidak belajar apa-apa.

Salah satu hal yang sering kali diabaikan oleh para guru adalah penekanan pada hal-hal positif. Harus dengan jujur diakui bahwa guru lebih sering menegur, daripada memuji. Guru lebih peka pada kesalahan anak, daripada kebaikan anak. Guru sering menahan diri untuk berterima kasih atau memberi pujian pada anak. Sebaliknya, tanpa berpikir panjang guru akan marah-marah pada anak yang ribut, misalnya. Padahal, penekanan pada hal-hal positif akan sangat membantu guru menimbulkan aura positif bagi kelasnya, sehingga memudahkan ia dalam mengelola kelasnya itu.
Berikut ini adalah cara memelihara suasana positif:
1. Memberi penekanan terhadap tingkah laku positif dan menghindari ocehan atau celaan terhadap tingkah laku negatif
2. Memberikan penguatan terhadap tingkah laku positif
3. Menyadari akan adanya kemungkinan kesalahan-kesalahan yang bisa dibuat oleh guru sendiri

Selanjutnya, prinsip yang paling penting dalam pengelolaan kelas adalah keteladanan. Hal ini sering kali dibicarakan dan sering kali dibahas. Dalam tataran verbal pun setiap guru pun pasti menyetujuinya. Namun, jarang sekali guru mau mencoba keampuhannya. Penanaman disiplin akan jauh lebih mudah dengan cara memberikan contoh dan teladan tentang pengendalian diri dan disiplin melaksanakan tanggung jawab. Guru kadang merasa bahwa “anak tidak akan tahu” atau “anak akan mengerti”, bilamana mereka melakukan suatu tindakan tidak terpuji. Namun, siswa jelas mengerti dan siswa bisa mengukur dan menilai sendiri bagaimana guru mereka itu. Di lain pihak, guru tidak perlu berlelah-lelah “berkotbah” bila ia sendiri sudah jadi contoh hidup bagi anak muridnya.

Selanjutnya, yang penting juga adalah pendekatan, metode, dan teknik yang dipakai olehguru. Walaupun merepotkan dalam mempersiapkannya, namun, penggunaan variasi media, gaya dan interaksi belajar mengajar akan sangat membantu guru dalam mengelola kelasnya. Sebabnya sangat sederhana: anak yang mencari gara-gara adalah anak yang bosan dengan suasana belajarnya. Oleh karenanya, perkecil kemungkinan anak merasa bosan dengan cara memvarasi pendekatan mengajar kita. Dalam hal ini, jangan segan-segan merubah strategi mengajar, bila memang diperlukan. Kecerdasan guru untuk membaca situasi kelas sangat diperlukan. Oleh karenanya guru juga dituntut untuk luwes dalam bertingah laku dan mengambil keputusan.

Pada dasarnya anak memiliki rasa ingin tahu yang besar. Namun, rasa ingin tahu ini sering kali keburu mati oleh kebosanan dan kejenuhan. Oleh karenanya, guru juga mesti cerdik dalam menggunakan kata-kata, tindakan, dan bahan yang menantang. Daripada menerangkan suatu materi secara liner, misalnya, ada baiknya sesekali mencoba memecah-mecah materi dan menyuruh siswa “menyusun” materi itu. Ini akan merangsang anak untuk “mengalahkan” materi tersebut.


III. PENUTUP
Ketrampilan mengelola kelas merupakan ketrampilan yang wajib dimiliki oleh setiap guru. Bila tidak, setiap usaha guru di depan kelas akan menjadi sia-sia, dan ini memicu rasa frustrasi.

Agar dapat mengelola kelas dengan baik, guru harus melatih diri, menempa kematangan pribadinya, dan terus menerus ingat untuk menjadi teladan bagi para siswanya. Selain itu, guru juga perlu mengembangkan teknik, metoda serta pendekatan yang menarik dan menantang.

Di atas segalanya, perlu dipahami bahwa teori sederhana ini tidak akan banyak artinya bila guru berhenti pada tataran “tahu”. Guru harus sesegera mungkin masuk pada tataran “lakukan”, karena ketrampilan mengelola kelas adalah ketrampilan yang diasah oleh waktu, situasi dan kondisi. Ketrampilan mengelola kelas adalah ketrampilan seumur hidup bagi guru. (db)

Sumber bacaan:
Bolla, John I..1984. Keterampilan Mengelola Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Severe, Sal. 2000. Bagaimana Bersikap pada Anak agar Anak Bersikap Baik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama


Pekanbaru, 14 Agustus 2010

Thursday 22 July 2010

PERANAN KEPALA SEKOLAH DALAM AKREDITASI SEKOLAH

July 22, 2010 5 Comments
PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM AKREDITASI SEKOLAH

Saya tergolong orang yang apatis dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, termasuk Akreditasi Sekolah. Apalagi, saya pernah mengalami sendiri, ketika sekolah yang saya pimpin waktu itu (tahun 2000) diakreditasi. Sekolah saya memang mendapat predikat DISAMAKAN (yang pada saat itu merupakan jenjang tertinggi), sehinga sebagai sebuah sekolah baru, bisa langsung mengadakan Ujian Akhir Nasional sendiri. Namun, mendapat prestasi bagus tidak menghalangi pandangan saya tentang beberapa hal yang perlu dikritisi. Menurut saya, proses akreditasi sekolah saat itu tidak mencerminkan bagaimana dinamika sekolah yang sesungguhnya. Saat itu sebagian besar butir pemeriksaan adalah administrasi Kepala Sekolah. Saya merasa, sekolah jauh lebih kompleks daripada sekedar administrasi kepala sekolah.

AKREDITASI SEKOLAH, YANG DULU DAN SEKARANG
Tahun 2010 ini kebetulan sekolah saya tempat saya bekerja sekarang*) akan menjalani Akreditasi Sekolah. Saya berangkat dengan pemikiran yang sama, bahwa akreditasi ini pasti tidak jauh berbeda dengan yang pernah saya alami dulu. Namun, pendapat saya berubah ketika saya mulai mempelajari petunjuk teknis pelaksanaan Akreditasi Sekolah. Terdapat beberapa perubahan yang mendasar dalam akreditasi sekolah yang sekarang ini.
Perubahan yang paling terasa mengejutkan buat saya adalah pada peranan kepala sekolah. Pada akreditasi sebelumnya kepala sekolah memiliki peran sentral karena hampir sebagian besar yang dinilai adalah administrasi yang dikerjakan oleh kepala sekolah. Bila sebuah sekolah memiliki kepala sekolah yang menguasai administrasi dan kemudian tertib menjalankan administrasi itu, maka bisa dipastikan sekolah itu akan mendapat nilai yang baik. Pada akreditasi yang sekarang ini titik berat peranan bergeser dari kepala sekolah ke para wakil kepala sekolah dan guru.
Pada akreditasi yang sekarang ini sekolah harus bisa memenuhi 8 standar, yakni Standar Isi, Standar Proses, Standar Pengelolaan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pembiayaan, Standar Sarana dan Prasarana, dan Standar Penilaian. Delapan standar itu sama sekali bukan kerja tunggal kepala sekolah. Dari ke-delapan standar itu, lima diantaranya adalah pekerjaan yang banyak melibatkan guru di dalamnya. Standar-standar itu adalah Standar Isi, Standar Proses, Standar Pengelolaan, Standar Kompetensi Lulusan, dan Standar Penilaian. Sedangkan tiga standar yang lain adalah tanggung jawab kepala sekolah dan para wakil, yang pada porsi tertentu juga membutuhkan keterlibatan guru.
Perbedaan berikutnya adalah terletak pada cara menjawab kuesioner. Pada akreditasi sebelumnya pertanyaan diajawab dengan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ oleh kepala sekolah, ataupun dengan membuat centang di bawah kolom ‘ada’ atau ‘tidak ada’. Sedangkan pada akreditasi yang sekarang sekolah tidak cukup hanya menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ saja. Sekolah akan dinilai menurut jenjang A, B, C, D, dan E untuk setiap butir pertanyaan. Setiap jenjang mewakili rentang sekor tertentu. Repotnya, sekolah harus melengkapi jawaban tersebut dengan bukti fisik yang sah dan berterima. Dari jawaban yang disertai dengan bukti fisik itulah sekolah kemudian akan dinilai. Perlu diketahui bahwa bukti fisik ini berupa sekian tumpuk (bahkan gunung) berkas yang tidak mungkin disiapkan oleh kepala sekolah sendirian, apalagi dalam waktu singkat.
Selanjutnya yang saya rasakan berbeda adalah pada pembimbingan dari Dinas Pendidikan setempat kepada sekolah. Tahun 2000 dulu, waktu saya mengalami akreditasi sekolah, saya seperti orang buta dilepaskan di tengah kota. Benar-benar bingung karena tidak arahan khusus. Dengan demikian saya harus banyak bertanya, baik pada sekolah induk, maupun pada bapak/ibu kepala sekolah se-yayasan yang sudah menjalani akreditasi. Seingat saya, memang sama sekali tidak ada pembimbingan dari Dinas Pendidikan setempat dalam proses akreditasi itu, walaupun sekolah saya menjalin hubungan yang baik dengan Dinas Pendidikan setempat. Namun, hal yang berbeda saya temui sekarang. Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru ternyata sangat aktif dalam memberikan bimbingan melalui Pengawas Sekolah. Asal sekolah mau terbuka dan menjalin hubungan yang baik dengan Dinas Pendidikan setempat sekolah akan terbantu dalam “mengalahkan” akreditasi yang memang berat ini.
Satu hal lagi yang berbeda adalah adanya keharusan menyiapkan bukti fisik, wawancara, dan visitasi kelas. Bila pada akreditasi sebelumnya, asesor hanya akan menanyai kepala sekolah, dengan sedikit meminta bukti, sekarang tidak lagi. Asesor akan meminta bukti fisik untuk semua kegiatan yang disebutkan, bahkan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya. Bukti fisik tidak lagi hanya berupa papan data, namun juga sampai pada foto-foto kegiatan/barang. Asesor juga akan melakukan wawancara langsung dengan guru ataupun pihak-pihak lain yang diperlukan, selain juga melakukan visitasi kelas. Dengan kata lain, dalam proses akreditasi sekolah yang sekarang ini kepala sekolah tidak lagi menjadi sumber informasi satu-satunya bagi para asesor.

PERANAN KEPALA SEKOLAH
Apakah berarti kepala sekolah berkurang tugas dan peranannya dalam proses akreditasi yang sekarang ini? Tidak sama sekali. Sebaliknya, kepala sekolah pada saat ini harus membuktikan kemampauannya yang lain, yakni kemampuan kepemimpinannya dalam mengkoordinasikan kerja yang cukup kompleks dan membutuhkan partisipasi segenap warga sekolah ini.
Kepala sekolah dituntut untuk memiliki cukup kecerdasan intelektual sehingga mampu bekerja mulai dari tataran visi sampai pada implementasi. Kedelapan standar yang ditetapkan itu benar-benar berangkat dari hulu ke hilir, dari tataran perencanaan sampai pada pelaksanaan. Akan sangat baik sekali bagi sekolah itu, bila memiliki kepala sekolah yang mempunyai visi dan menerjemahkan visinya menjadi program kerja, dan kemudian mampu mengajak segenap warga sekolah untuk bersama-sama mengimplementasikan program kerja. Kepala sekolah juga dituntut memiliki keceradasan emosional menghadapi tekanan akreditasi sekolah yang tidak ringan. Perlu disadari bahwa persiapan akreditasi sekolah tidak hanya meliputi persiapan fisik, namun yang lebih penting adalah proses pengelolaan manusia yang bekerja di dalamnya.
Selain hal-hal yang sangat fundamental di atas, saya menyarankan agar kepala sekolah memperhatikan beberapa hal “kecil” berikut ini:
1. Ke dalam: Komunikasi-Kerjasama-Koordinasi
Akreditasi sekolah merupakan kerja yang tidak ringan, yang harus ditanggung oleh segenap warga sekolah. Akreditasi sekolah bukan pekerjaan satu atau beberapa orang. Sehingga, semua pihak harus berpartisipasi secara aktif bahkan proaktif. Satu saja pihak tidak mau terlibat, maka rusaklah seluruh kerja berat semua warga sekolah. Ibaratnya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Untuk itu sangat dibutuhkan kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, dan berkoordinasi.
Asumsinya tentu harus ada atmosfer yang mendukung terbentuknya komunikasi yang sehat, kerja sama yang penuh semangat, dan koordinasi yang cepat serta tepat. Dan ujung-ujungnya, di sinilah peran kepala sekolah sangat menentukan. Kepala sekolah yang hanya terbiasa memerintah (apalagi dengan cara-cara dan kata-kata yang kasar) pasti akan langsung mematikan atmosfer ini. Kepala sekolah yang terbiasa menjadi boneka manis bagi instusi di atasnya pasti tidak terlatih untuk mengambil insiatif yang cepat dan tepat. Kepala sekolah yang tidak punya wibawa pada wakil kepala sekolah atau guru pasti tidak akan mampu melakukan koordinasi dan komunikasi yang sehat. Ini akan sangat mengancam proses persiapan akreditasi sekolah.
Kerja menghadapi akreditasi bukan hanya kerja menulis di atas kertas, namun, seperti yang saya uraikan di atas, merupakan kerja berat dari hulu sampai hilir. Diakui atau tidak, kepala sekolah memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam memompa semangat anak buahnya dalam menghadapi kerja yang tidak ringan ini. Di saat seperti ini kepala sekolah benar-benar harus ing madya mangun karsa. Harus bisa memahami benar bagaimana membangun dan memelihara kerja sama dalam kelompok. Kemampuan kepemimpinan kepala sekolah akan sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Saya sendiri menemukan buktinya pada situasi di sekitar saya. Sebuah SMA di kota Pekanbaru pada akreditasi terakhir hanya memperoleh nilai B. Padahal sekolah itu tergolong sekolah favorit. Tahun kemarin, ketika kepala sekolah berganti, dan kembali diadakan akreditasi, SMA ini bisa mendapatkan predikat A. Gedung tetap sama, guru-guru juga tidak jauh berbeda, namun, pergantian kepala sekolah ternyata memberi sumbangan yang signifikan bagi prestasi sekolah tersebut.

2. Keluar: Jejaring
Beberapa yayasan dan sekolah saya ketahui sangat alergi berhubungan dengan pihak luar, seperti Dinas Pendidikan setempat. Saya juga bukan orang yang setuju bila Dinas Pendidikan terlalu mendikte kebijakannya pada yayasan/sekolah, namun di lain pihak, menarik diri sama sekali juga bukan merupakan tindakan bijaksana. Yang sering saya temui adalah yayasan/sekolah yang sama sekali tidak mau menjalin hubungan dengan Dinas Pendidikan setempat. Salah satu akibatnya adalah pada proses Akreditasi Sekolah.
Sejauh yang saya alami, informasi-informasi tentang Akreditasi Sekolah banyak diperoleh dari Dinas Pendidikan setempat. Bila kita mau menjalin silaturahmi, maka tidak hanya informasi saja, melainkan sampai kepada edukasi/pembimbingan yang sistematis dan mendalam tentang akreditasi akan kita dapatkan.
Akan sangat bagus juga kalau sekolah menjalin hubungan dengan Badan Akreditasi Nasional setempat. Walaupun mungkin tidak semendetail dari Dinas Pendidikan, namun informasi yang berguna tetap didapat.
Dalam hal ini, tentu saja sosok yang diharapkan mampu menjalin hubungan dengan banyak pihak adalah kepala sekolah. Kepala sekolah yang luwes dan pandai bergaul akan memberikan poin tambahan bagi sekolah. Sebaliknya kepala sekolah yang kuper malah akan membuat sekolahnya menjadi seperti katak dalam tempurung.

Proses akreditasi yang terkini ternyata malah menuntut peran yang lebih dari seorang kepala sekolah, tidak hanya sebagai administrator, tetapi lebih jauh lagi sebagai inspirator, motivator, fasilitator. Oleh karenanya, perlu sangat hati-hati dalam penunjukkan kepala sekolah. Kalau kepala sekolah tersebut dipilih oleh institusi yang lebih di atasnya, maka institusi ini harus benar-benar serius dalam penunjukkan seorang kepala sekolah. Akan sangat beresiko bagi segenap warga sekolah kalau kepala sekolah ditunjuk bukan atas dasar kompetensi dan prestasi. Jikalau memang mempedulikan kelangsungan hidup sekolah, institusi di atasnya pasti akan mengalahkan pertimbangan ego, kedekatan, nepotisme dan lain sebagainya di atas pertimbangan prestasi dan kompetensi dalam penunjukkan kepala sekolah.
Berkaitan dengan akreditasi,saya teringat kata-kata Drs. Alman, Bapak Pembina Sekolah yang membimbing kami dalam persiapan akreditasi sekolah: “Bila kita tidak serius, maka empat tahun ke depan kita akan menanggung malu.” Yang saya tangkap, keseriusan tentu juga termasuk dalam hal penunjukkan kepala sekolah. (db)

Pekanbaru, 25 Juni 2010
Agnes Bemoe

*) Artikel ini ditulis ketika saya MASIH menjadi guru (Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum/Ketua Tim Akreditasi) pada SMP Santa Maria Pekanbaru. Sekarang, ketika saya mengunggahnya, saya TIDAK LAGI menjadi guru (Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum/Ketua Tim Akreditasi) pada SMP Santa Maria Pekanbaru. Dengan demikian pernyataan di artikel di atas yang menyebutkan bahwa “…sekolah saya tempat saya bekerja sekarang…” adalah relevan bagi situasi pada saat saya MULAI menuliskan artikel ini. (Agnes Bemoe)