Follow Us @agnes_bemoe

Sunday 26 April 2015

Nino

April 26, 2015 0 Comments
"Kata orang, mereka yang pernah dekat dengan kita akan membawa sebagian jiwa kita saat mereka pergi. Demikian juga meninggalkan sebagian dari dirinya di hati kita. Itu sebabnya, suatu saat mereka akan merindukan kita seperti kita merasa kehilangan mereka." ~ Desember, Fidelis R. Situmorang.



Mungkin benar kata-kata di atas. Pasti benar. Karena saya tidak pernah bisa melewati hari tanpa terusik oleh ingatan akannya.

Dia pergi dalam pelukan saya, di lantai dekat dapur. Setiap lewat, saya selalu langkahi bagian lantai itu. Saya tidak mau menginjaknya. Saya merasa seolah-olah saya akan menginjak badannya kalau melakukannya.

Dia dimakamkan di dekat garasi. Setiap kali mau berangkat atau pulang, saya selalu sebut namanya. "Nino, Mami pergi ya," atau "Nino, Mami udah pulang...".

Dia, Nino, jelas-jelas sudah membawa sebagian dari diri saya pergi bersamanya. Saya tidak pernah merasa utuh lagi. Tidak, tanpa sehari pun menyapanya.

Saya tunggui kelahirannya di tengah malam di penghujung Agustus 2001. Sejak itu, dia menunggui setiap detik hidup saya.

Percaya atau tidak, dia satu-satunya yang paham ada sesuatu yang salah di dalam rumah ketika saya tidak lagi bekerja di sekolah. Melihat saya balik kembali setelah mengantar adik ke sekolah, dia membuntuti saya. Dia duduk di dekat saya ketika saya mulai mengetik. Padahal dia bukan tipe penempel. Seolah dia bertanya-tanya, apa yang terjadi. Sampai kurang lebih seminggu ia menunggui saya mengetik lalu ia kembali ke tempat dia biasa tidur. Mungkin akhirnya dia mengerti: Mami tidak lagi ke sekolah.

Saya sendiri malah senang. Saya jadi lebih sering jalan pagi bersamanya tanpa kawatir terlambat kerja. Nino adalah petualang sejati. Dia pintar menemukan tempat-tempat baru yang "eksotis": padang rumput liar dengan bunga-bunga liar yang cantik atau rawa kecil yang penuh  kodok. Kami berdua pulang dalam keadaan kelelahan tapi segar dan gembira. Tak ada yang bisa menggantikan saat-saat saya bersamanya itu.

Lalu, waktu berlalu. Begitu cepat. Juga bagi Nino.

Saya heran ketika suatu malam ia menghampiri saya, minta dipangku. Seperti saya bilang, dia bukan tipe "penempel". Saya elus-elus dia. Saya elus badannya yang besar berbulu hitam tebal. Andai dia manusia, pasti dia seorang anak yang sangat tampan.

Tak lama setelah itu, ia jatuh sakit.

Di hari ketujuh sakitnya, matanya yang kemarin-kemarinnya suram, tiba-tiba berbinar. Ia berlari kecil keliling rumah, seolah mau mengecek untuk terakhir kalinya. Padahal sudah seminggu ia lumpuh.

Saya tahu. Saya mengerti.

Nino. Mariano lengkapnya, anakku yang tampan itu, akhirnya pergi duluan. Dan dia pergi dengan membawa sebagian jiwaku.

Namun, saya yakin, dia sedang menunggu saya. Nanti kami akan jalan pagi berdua, mencari padang rumput penuh bunga liar atau rawa kecil penuh kodok. Saya menunggu saat itu tiba.

Nino, tunggu Mami ya.... Mami kangen kamu....



***

Mengenang Mariano
Dumai, 31 Agustus 2001 - Pekanbaru, 26 April 2013








Wednesday 15 April 2015

39 untuk Fito

April 15, 2015 0 Comments
Saya baru saja membuat sebuah buku kumpulan puisi.
Bukan berarti saya penyair yang mampu menghanyutkan pembaca dengan kata-kata. Saya bukan penulis puisi apalah lagi penyair. Buku itu saya buat sebagai kado ulang tahun bagi seorang teman.

Sebenarnya ini sejenis kado yang berisiko. Teman saya ini seorang yang sangat mahir merangkai kata. Ia penyair, malah. Memberinya sekumpulan puisi karya sendiri seperti memasakkan telor ceplok buat Chef Gordon Ramsey. Saya bukannya tidak menyadari.

Untukmu puisi-puisi ini kutulis.
Kepadamu, puisi-puisi ini kutujukan.

Entah kenapa puisi yang kugubah. Padahal aku bukannya mahir berkata-kata.
...

Itu yang saya tulis di Prolog untuk menunjukkan bahwa saya tahu benar kemampuan (atau ketidakmampuan?) saya menulis puisi.

Lalu, kenapa nekad memberikan kado puisi? Satu buku pula!
Saya tidak tahu. Tidak semua kenekadan bisa dijelaskan. Kalau ada penjelasannya, mungkin malah saya tidak jadi nekad.

Kembali ke buku puisi.

Kenekadan saya itu sudah sampai ke tangan teman sebagai kado. Syukurlah. Mudah-mudahan yang bersangkutan suka :D

Biar bagaimanapun "cerita boleh usai, puisiku pun berbatas kata..." (Epilog), tapi semoga pertemanan bahkan persahabatan ini tidak berbatas. Amin.

***

Pembatuan, 15 April 2015
@agnes_bemoe




Tuesday 7 April 2015

Ndut

April 07, 2015 0 Comments
Ada nggak yang percaya kalau saya pernah dipanggil "Ndut"? Kalau tak ada, saya bisa mengerti. Dengan berat badan 40 kg tinggi 161 cm seperti ini mungkin cuma yang siwer saja yang akan manggil saya "Ndut".

Kenyataannya, saya pernah dipanggil "Ndut". Waktu saya masih berumur 2 tahunan badan saya (katanya) gemuk, gendut, chubby. Makanya Om dan Mama Kecil yang merawat saya memanggil saya "Ndut".

Selanjutnya, pertambahan umur berbanding terbalik dengan berat badan. Saya bahkan tidak pernah mencapai berat badan ideal, apalah lagi gendut. Namun, seingat saya, saya tidak pernah panik dengan kekurusan saya. Yang panik biasanya orang lain. Mereka takut saya sakit. Padahal saya (cuma) kurus.

Mengenai sakit, satu hal yang selalu saya banggakan adalah biarpun kurus saya sehat. Waktu masih sekolah, saya lebih kuat lari (atau olah raga lain) daripada teman-teman yang lebih gemuk. Saya pun relatif jarang sakit.

Jadi, kurus tidak pernah jadi masalah buat saya.

Sampai ketika saya masuk RS Agustus 2014 kemarin. Ketika masuk BB saya 40 kg. Satu bulan di RS BB saya turun 5 kg menjadi 35 kg. Kata Suster, kurangnya berat badan membuat badan saya tidak punya cukup amunisi untuk melawan penyakit.

Saat itu saya melihat diri saya sendiri aja ngeri. Badan saya kuruuuuuus sekali. Kaki saya seperti ranting kering. Mirip media rangka manusia yang biasanya dipajang di laboratorium Biologi di sekolah-sekolah.

Itulah untuk pertama kalinya saya cemas dengan kekurusan saya. Dan untuk pertama kalinya juga saya ingin menambah berat badan.

Saya mendapat banyak saran dari teman facebook yang intinya: makan banyak dan sering. Masalahnya, saya tidak suka makan. Porsi makan saya juga kecil. Meningkatkan nasfu makan adalah perjuangan buat saya.

Tak nyana saya segera menemukan jawabannya. Nafsu makan saya meningkat drastis berkat renang (P.S. Saya berenang karena HNP). Sehabis berenang saya selalu kelaparan. Kalau sudah kelaparan saya bisa makan apa saja! Kelaparan juga membuat saya doyan ngemil.



Saya membuka hari dengan minum kopi decaf dan biskuit. Lalu sarapan nasi. Sekitar jam 10 saya makan buah. Lalu makan siang (nasi dkk) dan makan malam (nasi, kadang-kadang mi instant, bakso, atau sate). Di antaranya saya ngemil, mulai dari chocolate chip sampai marning (jagung goreng). Saya menutup hari dengan segelas yogurt home made (tanpa pengawet) campur buah (sirsak, tomat, buah naga, atau strawberry).

Bandingkan dengan sebelumnya: pagi segelas teh, siang nasi dkk, malam mie instant atau seringnya tidak makan. Itu tanpa ngemil.

Tidak heran kalau BB saya merangkak naik. Mula-mula 2 kg lalu 5 kg! Itu berarti saya sudah kembali ke BB awal saya yakni 40 kg. Ternyata, terakhir saya timbang BB saya 45 kg! Owaauww!

Saya belum bisa dipanggil "Ndut" pastinya. Tapi yang jelas saya tidak lagi sekurus media tengkorak di laboratorium Biologi.

***

Pembatuan, 8 April 2015
@agnes_bemoe

Friday 3 April 2015

3 April 2015

April 03, 2015 0 Comments
Ini hari Jumat Agung. Hari paling agung sepanjang tahun. Harusnya saya nulis sesuatu yang religius. Sayangnya, belum bisa. Yang mau saya tulis ini luahan hati yang jauh dari religius. Itu juga kalau saya berhasil menuliskannya. Biasanya, butuh waktu lama atau bahkan tak bisa tertuliskan sama sekali.

Seminggu ini saya mengikuti berita berpulangnya Olga Syahputra. Saya memang penggemar komedian ini sejak mendiang di acara Ceriwis. Saya tak menduga, menonton tayangan ini punya pengaruh buat saya.

Tadi pagi, lagi-lagi saya mengikuti berita tentang mendiang. Kebetulan, dilanjutkan dengan berita berpulangnya ayahanda seorang presenter gossip. Saat itulah saya merasakan sesuatu yang amat sangat tidak nyaman. Saya minta adik saya memindahkan channel. Tapi, karena adik tidak mengerti, dia berkeras.

Saya benar-benar tak tahan. Saya berteriak sekeras-kerasnya. Napas saya sesak. Badan saya gemetar. Saya tidak ingin ada di dalam rumah :’(

Dan, mulai lagi! Segala pikiran yang menakutkan hinggap di kepala saya. Berulang kali saya berbisik: Tuhan sayang kamu, Tuhan sayang kamu, sambil menahan diri untuk tidak lari membebaskan diri dari sesuatu yang menghimpit saya.

Saya lalu mengambil tab. Saya buka Gallery dan mencari folder “Calming Picture”. Isinya gambar-gambar doggy yang lucu-lucu.  Saya pandangi ratusan gambar doggie itu (saya buat slide show). Pada saat yang sama tetangga sedang menyetel lagu. Suara dentuman loud-speaker tetangga membuat saya tambah ketakutan (entah kenapa, kalau sedang ketakutan, telinga saya peka sekali). Saya tidak nyaman memakai head-set, tapi tidak ada pilihan lain. Saya pasang head-set untuk menangkal bunyi loud-speaker tetangga. Saya putarkan instrumentalia Yiruma, Kenny G, dan beberapa lagu balada kesukaan saya.

Saya tidak tahu berapa lama saya berjuang melawan rasa takut aneh ini. Lalu, ada suatu saat ketika saya teringat Yesus. Biasanya, saya membayangkan Yesus memeluk saya atau saya rebah di pangkuanNya. Kali itu, entah kenapa, yang terbayang malah Yesus yang sedang berdarah-darah di kayu salib. Aduh! Jujur, saya paling tidak suka melihat gambar Yesus seperti itu. Bila ada gambar seperti itu di facebook, pasti saya skip cepat-cepat.

Anehnya (untungnya), kali ini saya tidak merasakan ketidaknyamanan. Saya malah membayangkan bersimpuh di dekat kaki Yesus yang penuh luka dan berdarah. Saya bilang, Tuhan Yesus, kasihanilah saya. Saya ketakutan.

Lalu, saya mengarang sebuah percakapan di kepala saya. Seolah-olah Tuhan Yesus menjawab: “Tenang aja, Nes, Aku di sini. Masak kamu takut sih. Aku di sini kok…”
Berulang kali saya mengulang kata-kata itu: “Tenang aja, Nes…”
Pelan, air mata saya turun. Tuhan, kata saya, saya nggak butuh terkenal, nggak butuh apa-apa. Saya butuh sembuh. Nggak mau ketakutan seperti ini lagi. Tuhan jangan jahat-jahat dong sama saya.

Kurang tahu juga berapa lama saya seperti itu. Yang jelas, slide show doggies masih berlangsung, Yiruma pun masih mengalun. Puji Tuhan, pelan-pelan saya merasa santai. Saya ingat sempat sekejap tertidur kelelahan.

Ini bukan kejadian pertama.

Bulan Desember tahun lalu saya juga intens mengikuti perkembangan berita Air Asia. Sama seperti semua orang, saya sangat terkejut dan berduka dengan musibah yang menimpa Air Asia. Lalu, di suatu siang, saya sedang menonton tayangan tentang Air Asia ketika saya merasaka sesuatu yang lain. Saya melihat ke pintu keluar. Saya ingin lari! Tuhan, ini adalah perasaan paling tidak enak yang harus saya alami….

Segera saya matikan TV. Saya sedang sendirian karena adik di sekolah. Saya hanya terdiam di tempat tidur sambil mencoba mengatur napas. Untungnya, terror itu cepat hilang.  Saya membiarkan hal itu berlalu dan tidak ingin mengingatnya lagi. (saya bahkan tidak ceritakan hal ini ke adik). Kejadian di pesawat dan kejadian kemarin siang membuat saya teringat lagi.

Saya menuliskannya, berharap setelah ini saya lupa. Benar-benar lupa, kalau perlu terhapus dari ingatan saya.

***
Pembatuan, 4 April 2015
@agnes_bemoe

Mungkin Anda mau baca ini juga: Naik Pesawat

Naik Pesawat

April 03, 2015 0 Comments
Naik pesawat bukan hal baru buat saya. Selama ini saya naik pesawat tanpa ada masalah. Makanya, saya heran dengan kejadian terakhir yang saya alami ketika mau ke Jakarta, 25 Maret 2015 lalu.

FYI saya berangkat dengan kondisi super excited. Memang saya ke Jakarta untuk berobat tapi jujur saya malah tidak mengingat sama sekali tentang pengobatan (Sila baca Berobat ke Jakarta). Karenanya, tidak ada sedikitpun rasa takut hinggap di pikiran saya. Saya malah senang akan bertemu dengan adik.

Ketika sudah di pesawat saya duduk baik-baik seperti biasa, mengucapkan doa, lalu membuka-buka majalah pariwisata yang disediakan (semua yang saya lakukan normal-normal saja). Begitu pesawat mau take off, saya tutup majalah pariwisata yang tadi saya baca lalu melihat ke luar.

Detik itu jugalah terror itu datang.

At a sudden. Dalam satu kedipan mata. Tanpa aba-aba. Saya menoleh ke langit-langit pesawat. Langit-langit seakan menyempit. Napas saya sesak. Aduh, saya sulit menggambarkannya kembali. Saya ingin lari keluar dari pesawat.

Tenang, tenang, tenang, kata saya dalam hati. Kalau ada apa-apa, peluk saja bapak yang ada di sebelahmu (di sebelah saya duduk seorang bapak-bapak). Saat itu saya butuh pikiran gila ini untuk mengembalikan kewarasan saya.

Segera saya meraih majalah pariwisata yang tadi saya letakkan. Saya baca tiap kalimatnya, huruf demi huruf, dengan seksama. Majalah itu adalah majalah dwi-bahasa. Saya baca bahasa Inggrisnya berikut bahasa Indonesianya. Saya seperti berlomba lari dengan pikiran saya sendiri. Saya harus mengalahkan pikiran menakutkan yang sedang menguasai akal sehat saya. Oh, Tuhan, andaikan saya tidak harus menulis tulisan ini.

Kuping saya terasa sesak dan sakit. Perut saya mual. Berulang kali saya minta permen dari pramugari. Memang diberi sih. Tapi lama-lama saya malu sendiri. Saya isap-isap lidah saya untuk mengurangi sakit di telinga.

Yang membantu mengurangi horror di telinga saya adalah sekumpulan ibu-ibu di depan saya. Mereka bercerita dengan riuhnya sepanjang penerbangan. Suara mereka membantu saya menyadari bahwa saya tidak tuli (saya takut tuli). Dalam keadaan normal saya pasti terganggu dengan kebisingan itu. Namun pagi itu, saya bersyukur sekali ada sekumpulan ibu-ibu dengan suara riuh mereka.

Penerbangan saya isi dengan membaca. Seperti yang saya katakan tadi, saya baca semua huruf di majalah tersebut. Tidak bermasud lebay, tapi ini amat sangat tidak nyaman buat saya.

Sampai di Jakarta, tujuan pertama saya adalah kamar kecil. Saya langsung muntah (aduh, nggak enak banget dibaca ya…)

Ini adalah ketiga kalinya saya merasa ketakutan yang tak beralasan (saya tahu ini tidak beralasan, tapi rasa takut saya itu begitu mencengkeram sampai-sampai logika saya tidak mampu menepisnya). Kalau tulisan ini berhasil di-posting maka ini adalah tulisan kedua yang berhasil saya buat mengenai ketakutan saya ini (yang pertama ketika saya masuk mesin MRI, sila baca di sini).

Pengalaman tak enak saya ketika di RS tidak pernah berhasil saya tuliskan :’(

Ya, pasti banyak yang tidak percaya. Banyak yang menyangka saya mengada-ada. Lebay, manja, dst. Whatever. Saya tuliskan terutama buat diri saya sendiri. Saya perlu mengeluarkannya.

Saya tuliskan juga buat siapa saja di luar sana yang mungkin mengalami hal yang sama. Saya tahu, pengalaman seperti ini SULIT diceritakan dan dituliskan.

Secara lisan pengalaman ini hanya saya ceritakan pada adik saya. Puji Tuhan, dia adalah pendengar yang baik. Dia tidak menunjukkan ekspresi tidak percaya. Dia tidak menuduh saya mengada-ada (secara verbal maupun diam-diam, melalui air muka). Dia hanya bertanya, apakah saya takut pesawat jatuh. Saya katakan tidak. Saya takut saja. Takut pesawat menyempit dan menghimpit saya. Pikiran itu membuat dada saya sesak dan perut saya mual. Dia tidak memperdebatkan jawaban saya. Dia hanya mendengarkan, dan itu sudah lebih dari cukup buat saya.

Lalu, bagaimana ketika pulang?
Itu juga yang langsung jadi kecemasan saya. Sengaja saya tidak mau memikirkan dan membahasnya. Kalau saya bahas malah semakin besar kecemasan saya. Namun, mau tak mau terpikir juga, terutama ketika saya sedang menunggu boarding. Ada waktu sekitar dua jam sebelum boarding dan saya tidak punya kegiatan untuk mengalihkan perhatian saya.

Lagi-lagi, adik saya yang saya mintai tolong. Dia tidak bisa mengantarkan saya sampai bandara makanya saya sendirian di bandara. Namun, saya membombardirnya dengan obrolan di Blackberry. Saya ketikkan semua yang ada di kepala. Karena kesibukannya terkadang adik tidak langsung membalas. Saya tidak peduli. Tetap saya kirimkan “cerita” melalui Blackberry. Puji Tuhan, tanpa terasa waktu berlalu sampai tiba-tiba terdengar panggilan untuk boarding.

Biarpun saya merasa sudah mengantisipasinya, terror itu tetap juga datang.
Saya ambil majalah pariwisata dan saya baca semua isinya. Sayangnya, majalah pariwisata ini tipis sekali. Artikelnya juga pendek-pendek. Lebih banyak iklan pendek daripada artikel. Dalam waktu sekejab sudah selesai saya membacanya.

Syukurlah, sebelum tidak bisa berpikir karena terlalu panik, saya teringat di tab saya ada game. FYI, saya bukan penggemar game. Saya benci, malah. Sangat tidak berguna, pikir saya. Nah, kemarin malam, anak adik saya ingin main game di tab saya. Karenanya, saya menginstalkan dua buah game kesukaannya: Angry Bird dan Boboiboy.

Saya lalu melakukan hal yang tidak akan pernah saya lakukan dalam keadaan waras: main Angry Bird!

Dan, Puji Tuhan, Angry Bird menyelamatkan saya. Saya asyik main sampai tiba-tiba saya mendengar suara pilot memberi perintah pada pada flight attendant untuk mempersiapkan pendaratan. Pendaratan? Benar, saya melihat Sungai Siak yang berkelok-kelok di bawah. PUJI TUHAN! Lebih bersyukur lagi karena penerbangan kali ini saya tidak muntah. Saya memang merasakan telinga sakit tapi saya sudah membeli permen banyak-banyak di Cengkareng untuk menguranginya.

Terpikir oleh saya, bagaimana nanti kalau saya mau naik pesawat lagi. Saya juga kurang tahu. Mudah-mudahan terror dan horror ini bisa tertangani. Saya mohon doa dari teman-teman semua.

***
Pembatuan, 3 April 2015

@agnes_bemoe