Follow Us @agnes_bemoe

Wednesday 29 June 2016

BELAJAR MENULIS CERPEN DARI SELEKSI #PENTIGRAF

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat tugas menyeleksi sejumlah cerpen tiga paragraf ( #Pentigraf) di sebuah grup menulis. Di samping beberapa yang lemah, saya membaca banyak cerpen yang bagus-bagus. Lalu, lama-lama, saya merasa menemukan semacam pola pada cerpen-cerpen yang bagus itu. Ujung-ujungnya, saya bersyukur banget mendapat tugas menyeleksi ini. Ini merupakan pengalaman pembelajaran buat saya. Nah, pengalaman itulah yang saya tuangkan di sini.

Gambar diamil dari Google

BEDA ANTARA CERPEN, INFO/BERITA, KOTBAH, DAN CURHAT
Katakanlah, empat orang mendapat ide tentang “kematian”. A membuatnya menjadi semacam info/berita: tokoh bercerita tentang teman masa kecilnya, dari awal pertemanan sampai temannya kemudian meninggal. B membuatnya menjadi semacam renungan tentang kematian diakhiri dengan pesan tentang kehidupan. C membuatnya menjadi semacam luahan perasaannya tentang kematian orang terdekatnya. Dalam konteks menulis cerpen, ketiga jenis tulisan di atas tidak terlalu menarik dibaca. Yang bergaya info/berita terasa kering, tidak ada lompatan emosional yang ditunggu pembaca. Yang bergaya kotbah terasa (maaf) memuakkan. Toh ada banyak penulis renungan yang lebih bagus dan enak dibaca kalau kita memang ingin membaca renungan. Yang bergaya curhat membuat pembaca kelelahan karena merasa “ditumpahi” cerita. Tidak ada alur, tidak ada plot, terkadang (seringnya) dengan bahasa yang tidak efektif a la curhat, belum lagi biasanya ‘lebay’ secara emosional.  
D mengambil ide “kematian” kemudian memikirkan “bagaimana saya membuatnya menjadi menarik”. Ia menyusun alur, menyusun plot, membentuk karakter, menentukan konfliknya, memikirkan endingnya, memikirkan kata-kata yang akan ditulis apakah cukup tepat atau tidak, dan seterusnya seperti yang disarankan teori-teori penyusunan cerita.

EKSEKUSI IDE
Saya rasa, tujuan untuk membuat menjadi menarik inilah yang membedakan. Ada banyak penulis berhenti pada menulis, titik. Pokoknya menulis, tanpa peduli apakah tulisannya menarik untuk dibaca atau tidak. Penulis cerpen memikirkan dengan cermat eksekusi atas ide yang didapatnya. Ia mengolah ide sedemikian rupa sehingga tulisannya jadi semacam hidangan yang lezat dan bukan sekedar kumpulan beras, lauk mentah, dan bumbu-bumbu (lalu mengharap pembaca mengunyah sendiri).  Ia memulai dengan efisien (tidak bertele-tele). Ia bercerita dengan lancar dan memikat. Ia menggiring pembaca pada ending yang sedap. 
Bicara tentang eksekusi, mengandaikan ada proses wajib yang dilalui penulis. Proses itu bernama rewriting (membaca dan menulis ulang): setelah mendapat ide dan menuliskannya, penulis membaca kembali sambil memperbaiki tulisannya. Seringnya ini perlu dilakukan berulang-ulang sampai penulis benar-benar puas akan hasilnya.

TATA TULIS YANG DISIPLIN
Selain eksekusi yang memikat, saya mendapati bahwa cerpen-cerpen yang asyik dibaca ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya salut pada penulis yang menulis dengan tertib seperti ini. Kata Sutardji Calzoum Bachri: “seindah-indahnya bahasa, akan rusak juga bila dipakai oleh orang yang tak peduli dan lalai.” Bahasa Indonesia itu bahasa yang indah dan unik. Yang mengaku penulis seharusnya lebih getol mempertahankannya ketimbang merusaknya.
Apakah Bahasa Indonesia yang baik dan benar lantas membuat tulisan kaku? Tidak tuh. Dalam konteks seleksi #Pentigraf ini baca saja tulisan Tengsoe Tjahjono, Krismariana Widyaningsih, atau Wrini Harlindi. Ini hanyalah tiga orang di antara banyak penulis yang menulis dengan tertib dan tulisannya enak dibaca. Ada penulis yang memilih gaya jenaka dalam menulis dan mampu menulis dengan tertib tanpa bersembunyi di balik alasan kejenakaan (gokil). Coba baca tulisan Theresia Anik Soetaryo atau Fidelis R. Situmorang.

PENUTUP
Sekali lagi saya bersyukur mendapat tugas menyeleksi cerpen-cerpen ini. Terpapar dengan bacaan yang bagus dan menarik membuat saya seperti bersekolah dengan gratis. Namun demikian, “kunyahan” saya tentang cerpen yang bagus ini adalah yang paling tepat untuk “pencernakan” saya. Saya yakin, teman-teman pembaca punya “kunyahan” tersendiri yang lebih baik untuk diri teman-teman sendiri. Yang penting, tetap semangat menulis. (db)

Pembatuan, 30 Juni 2016
@agnes_bemoe

Apa itu "Cerpen Tiga Paragraf" dapat dibaca di blog Tengsoe Tjahjono di sini.


No comments:

Post a Comment