Follow Us @agnes_bemoe

Monday 10 November 2014

Manut dan Jadi Penyintas

Setelah beberapa kali bolak-balik ke tempat akupunktur, baru kemarin saya ngeh bahwa teman-teman saya sesama pasien semuanya lansia. Mereka umumnya pasien jantung karena dokter ahli akupunktur yang merawat saya adalah dokter spesialis jantung.

Sambil diuyel-uyel oleh mas petugas refleksi (saya menjalani akupunktur dan refleksi) saya nguping pembicaraan mereka dengan dokter. Rata-rata mengeluh sesak napas dan tidak bisa tidur. Ada juga yang mengalami semacam stroke ringan di wajah. Ada lagi yang kesakitan karena asam urat.

Dokter dengan sabar mendengar keluhan mereka satu persatu. Lalu dengan lemah lembut namun ceria dokter menyuruh mereka untuk ini dan itu. Para pasien itu pun jarang ada yang ngeyel. Semuanya nurut sama petunjuk dokter. Faktor usia membuat mereka lebih pasrah, atau bagaimana ya? Padahal, saya bisa membayangkan ketidakenakan yang mereka alami. Kesakitan, tidak bisa tidur, aaarrghh... hell!

Mungkin karena pikiran saya lagi mellow apa gimana, adegan ini kok nancep di benak saya. Saya membayangkan, begitu juga, kali ya, saya dengan The Big Boss over there. Harusnya saya manut pada petunjukNya. Mendengarkan dengan seksama arahanNya lalu melaksanakan sebaik mungkin. Bayangkan, kalau sebagai pasien saya marah-marah sama dokter: "Sembuhkan sekarang! SEKARANG JUGA!!!" Bukannya sembuh, bisa-bisa saya malah di-euthanasia sama dokternya! Hihihi....

Btw, urusan ngamuk-ngamuk sama The Big Boss, sayalah ahlinya :p

Saya merasa bosan, sebel, diperlakukan dengan nggak adil olehNya. Lalu, saya ngamuk. "You said You are good! Why can't I find any of Your Goodness?! What the hell all these are for?!" blah... blah... blah... *cencored*

Adegan yang barusan saya saksikan di ruang praktek itu melengkapi serangkaian sentilan Tuhan pada saya. Dia bilang: Aku ini Dokter yang Maha Penyembuh. Take you medicine, shut your mouth up, and start believing in My Work. How hard it could be?

Sambil nyengir-nyengir karena sakit (akibat pijatan refleksi) saya mengunyah kembali adegan itu. Lalu, saya teringat sepenggal kalimat indah yang ditulis teman saya, seorang penyair muda, bernama Fidelis R. Situmorang.

"Jiwa ini bukan milik diri semata. Ada pemilik sesungguhnya yang benar-benar mengasihinya."

Kalimat yang saya temukan dalam buku "Butir-Butir Hujan", buku paling baru Fidelis R. Situmorang itu, benar-benar menancap di benak saya.

Kenapa saya tak henti-hentinya mencemaskan diri saya? Padahal ada Dia yang menggenggam erat jiwa saya? Dia yang sabar banget dengan semua kemarahan dan sikap kekanak-kanakan saya. In short, Dia yang menyayangi saya sebagai saya. Harusnya saya mempercayainya, seperti pasien percaya pada dokter ahli yang menanganinya.

Haduuh, menuliskan kata "percaya" tuh begitu gampangnya, menghayati dan menghidupinya butuh perjuangan tersendiri. *narik napas panjaaaaaaang banget*

Tapi eh, toh saya nggak sendirian. Dia pasti bantu saya dan saya pasti survived! Kalaupun saya "tidak survived" saya tetap "survived". Yeay!

***

Pembatuan, 11 November 2014
@agnes_bemoe



No comments:

Post a Comment