Follow Us @agnes_bemoe

Friday 9 March 2018

BELAJAR MEMBANGUN KARAKTER TOKOH LEWAT NOVEL MISTERI KARYA YOVITA SISWATI


Bila teman-teman adalah pembaca serial Novel Misteri karya Yovita Siswati yang diterbitkan oleh Penerbit Kiddo, teman-teman pasti setuju: karakterisasi tokoh dalam novel-novel itu nendang banget. Tokoh-tokoh yang dibangun Yovita Siswati (selanjutnya disingkat YS) unik dan meninggalkan jejak fotografi di kepala pembaca. Dalam “Misteri Gua Purba” pembaca pasti langsung tersedot oleh tokoh Galuh yang kriwil dan pecicilan. Sementara itu, Sari yang suaranya cemengkring dan suka sekali memakai pita kupu-kupu dalam “Misteri Kota Tua” pasti sulit dilupakan oleh pembaca.
Tertarik dengan keterampilan YS mengukir tokoh-tokohnya, saya mencoba mempelajarinya lewat cerita-cerita yang ditulisnya. Super disclaimer: tulisan ini adalah interpretasi saya atas cerita YS dan BUKAN keterampilan atau ilmu asli YS. Karenanya, pasti akan ada banyak lubang, kelemahan, dan kecetekan di dalam tulisan ini. Kelemahan itu saya anggap bagian dari proses belajar saya dan saya akan sangat senang sekali seandainya ada yang bersedia menambahkan dan memperbaiki.

FISIK, NON-FISIK, DAN KEBIASAAN
Hal pertama dari karakterisasi YS yang saya perhatikan adalah penamaan. Nama-nama yang digunakan YS adalah nama-nama yang tidak terlalu umum di pasaran buku/cerita anak Indonesia dan itu menjadikannya unik. Bagas, Galuh, Damar adalah nama-nama kejawa-jawaan di cerita “Misteri Gua Purba”. Bisa dimengerti karena settingnya adalah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Lalu, ada nama-nama semacam Danu, Dodo, Beno, Seruni, Ira, atau Bagja yang sepintas terdengar ‘biasa’ namun dalam ‘kebiasaan’-nya itu ada semacam keluarbiasaan karena tidak terlalu terikut arus dengan nama-nama zaman sekarang. Setiap pembaca pasti nyaman mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh tersebut.
Yang berikutnya adalah tanda-tanda fisik pada setiap tokoh. Tanda-tanda fisik adalah sesuatu yang dipunyai sejak lahir. Bagja berambut gimbal, Galuh berambut keriting, Ira badannya jangkung, Danu berkaca mata dan berbadan kecil, atau Mira yang rambutnya sangat panjang. Atau, tinggalkan sejenak tokoh-tokoh utama, kita lihat tokoh berikutnya yang penggambaran fisiknya begitu lekat. Sebut misalnya Aki Uban di “Misteri Kota Tua” yang kurus kering dan tentu saja rambutnya sudah putih semua. Atau, orang tua misterius yang bermata menonjol keluar di “Misteri Kerajaan Kuno”.
Terkait dengan ciri-ciri fisik adalah kebiasaan-kebiasaan si tokoh. Ingat Galuh yang suka jalan melompat-lompat seperti kelinci (Misteri Gua Purba)? Atau Ira yang suka bicara sambil mengebas-ngebaskan tangannya (Misteri Kota Topeng Angker)? Atau Seruni yang punya gaya bicara yang kasar (Misteri Gurindam Makam Kuno)?
Selanjutnya, selain penggambaran fisik, karakter juga bisa dibangun dengan tanda-tanda di luar bawaan lahir. Kita ingat akan “Si Sepatu Ular” di “Misteri Gua Purba”. Atau “Si Pipi Tarantula” di “Misteri Kerajaan Kuno”, selain “Bang Raung” yang suara raungannya membuat bulu kuduk berdiri di “Misteri Gurindam Makam Kuno” atau “Embok Tua Cerewet” yang suka menyanyi dan menandak-nandak serta super pemarah di “Misteri Kota Topeng Angker”. Menggambarkan seseorang yang tidak diketahui namanya oleh pembaca melalui ciri-ciri semacam ini membuat cerita menjadi sangat menarik selain membantu pembaca mengingat si tokoh ini.
Yang terakhir adalah hobi dan kebiasaan lain yang tidak melulu berupa hobi. Galuh yang pecicilan adalah pembaca buku garis keras. Hobinya itu jelas membantu Bagas memecahkan misteri. Seruni suka mencopet, biarpun ia mencopet agar bisa makan. Pak Bon dalam “Misteri Kerajaan Kuno” punya kebiasaan unik: mengakhiri kalimatnya dengan peribahasa yang malangnya peribahasa itu sama sekali lain artinya dengan yang ia maksud.
“… diejek sekarang tak apa, yang penting nanti jadi orang besar. Seperti kata pepatah: sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga.” (Misteri Kerajaan Kuno, hal. 3).

Satu orang tokoh tidak hanya memiliki satu ciri unik. Tidak jarang kita temukan seorang tokoh dengan beberapa ciri. Sebut saja Seruni (Misteri Gurindam Makam Kuno) yang hitam legam dan keriting (fisik), suka bicara kasar (non fisik) dan suka memerintah  selain pencopet ulung (kebiasaan lain). Eksplorasi terhadap tokoh membuat tokoh tidak sekedar lewat di kepala kita namun melekat erat seolah kita menonton filmnya di bayangan kita.
Walaupun demikian, bila benar-benar kuat, tokoh dengan satu ciri khas saja sudah langsung memikat pembaca. Saya masih selalu teringat akan Pak Bon dengan ‘keterampilannya’ berperibahasa.

TIDAK ADA TOKOH YANG TERLALU SEPELE UNTUK DIBERI POLESAN KARAKTER
Yang juga saya pelajari dari karakterisasi YS di cerita-ceritanya adalah tidak ada tokoh yang terlalu sepele untuk diberi polesan karakter. Biarpun contoh-contoh saya di atas kebanyakan terkait tokoh utama namun kalau teman-teman membaca sendiri novel YS, teman-teman akan temukan bahwa tokoh-tokoh pendamping pun selalu hadir dengan ukiran karakter yang kuat. Membaca nama-nama “Bang Oding” dan “Bang Gopal” di “Misteri Gurindam Makam Kuno”, kita tidak bisa melewatkan mereka tanpa membayangkan seperti apa orangnya. Mereka bukan sekedar tokoh yang lewat di kepala kita namun menjadi “seseorang” yang hidup.
Apakah tokoh baik otomatis memiliki karakter/ciri baik yang sempurna? Dan sebaliknya? Syukurlah novel-novel YS tidak menganut mahzab membosankan itu. Sebaliknya, pembaca sering dibuat terkecoh dengan karakterisasi yang dibangun oleh YS atas tokoh-tokohnya bila dihubungkan dengan moralitas si tokoh. Sebut saja tokoh “Pak Bon” atau “Topi Tengkorak”, atau yang lebih abu-abu lagi adalah “Seruni”. Saya pribadi berpendapat penokohan semacam ini membantu pembaca (anak) untuk belajar tentang dirinya dan manusia di sekelilingnya.  

SARANA BELAJAR
Karakterisasi tokoh jelas membuat cerita menjadi jauh lebih menarik. Tokoh-tokoh menjadi lebih hidup di kepala kita. Selagi membaca, kita seperti bertemu langsung dengan para tokoh tersebut. Saya sangat bersyukur disuguhi cerita-cerita yang menarik dengan penokohan yang luar biasa. Bagi saya, ini adalah sarana belajar cara membangun tokoh, seperti yang saya tuliskan di sini.
Setelah belajar, hasilnya mana dong?
Ehem, saya tidak bisa menyebutkan ini hasil belajar dari buku-buku YS karena kawatir malah menjatuhkan reputasi YS. Namun jujur, saya banyak ‘mencontek’ cara YS menghidupkan tokoh-tokohnya. Saya cuplikkan sedikit hasil belajar saya ya:

“Surya?”
Seorang anak berbadan jangkung, berambut jagung, tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Ia menjilati bibirnya sendiri seperti orang yang sedang gelisah. Wajahnya sih seperti wajah orang Indonesia pada umumnya. Hidungnya malah terhitung pesek untuk ukuran orang Kaukasia tapi rambutnya sangat pirang. Selain rambutnya yang sangat pirang, kedua bola matanya juga sangat biru. Biru seperti birunya langit yang cerah. Di salah satu telinganya ia mengenakan anting kecil bermata biru.
“Iya, kenapa?”

Bagaimana menurut teman-teman? Thumb up atau upside down? Hihihi…
Btw, Si Bule ini akan hadir di novel anak terbaru saya, yang merupakan ‘the series-‘nya KOPRAL JONO (Yeay!) Tahu novel saya yang KOPRAL JONO ini kan? Tentang seorang anak cacat bernama Surya dan pitbull liarnya? Kalau belum baca, baca ya….
Aih, penutupnya kepanjangan. Ya sudah, saya mohon pamit. Semoga tulisan ini bermanfaat!



Pebatuan, 10 Maret 2018
@agnes_bemoe

4 comments:

  1. Wah... Terima kasih ulasannya.... Tadi sempat bertanya2... Gimana cara menghidupkan karakternya... Eh... Ada contohnya
    ��

    ReplyDelete
  2. Saya suka tulisannya. Saya jadi banyak belajar, dan belajar, dan belajar. Terimakasih Mbak Agnes.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kita sama-sama belajar ya. Terima kasih sudah mampir dan maaf, baru terbaca sekarang komennya :)

      Agnes Bemoe

      Delete