Follow Us @agnes_bemoe

Friday 5 February 2016

Monster Mimpi


Monster Mimpi menyerang kota Orey-Stroberey! Ia mencuri mimpi anak-anak kecil.

Anak-anak kecil sekarang tidak lagi bermimpi. Akibatnya, pagi hari di kota Orey-Stroberey jadi sunyi. Anak-anak tidak lagi saling menceritakan mimpi mereka. Biasanya, begitu bangun pagi terdengar riuh suara anak-anak kecil yang berebutan menceritakan tentang mimpi mereka semalam.

“Mama, aku mimpi bertemu dengan Robot Kluxendox dari Planet Zoar.”

“Aku bermimpi pergi ke Afrika, bertemu dengan gajah dan cheetah…”

“Hii…! Aku mimpi dikejar-kejar sepasukan kucing raksasa!”

Setelah bangun dari tidur mereka langsung mandi, sarapan, pergi ke sekolah.

Siang hari di kota Orey-Stroberey juga menjadi sunyi. Anak-anak tidak lagi saling menceritakan mimpi mereka pada teman-temannya. Pekerjaan mereka hanyalah menulis, berhitung, membaca. Pada jam istirahat mereka hanya saling menatap satu sama lain. Mereka duduk dengan tertib, tidak ada pembicaraan satu sama lain. Sekolah menjadi begitu sunyi.

Sepulang sekolah mereka juga hanya duduk menghadap ke layar televisi. Mereka duduk diam di situ tanpa berkata apa-apa.

Semua orang senang akan keadaan ini. Tidak ada lagi anak-anak yang ribut. Semua orang? Tidak! Ada satu orang yang tidak senang. Dia adalah Kakek Dominggo.

Kakek Dominggo pergi menemui Monster Mimpi. Beliau meminta supaya mengembalikan mimpi anak-anak di kota Orey-Stroberey.

“Tidak bisa! Kecuali…”

“Kecuali apa, hai Monster Mimpi?”

“Kecuali aku dibuatkan brownies yang enak setiap pagi! Aku suka brownies!” Monster Mimpi tertawa-tawa.

“Monster, aku, aku tidak bisa membuat kue…”

“Ya, kalau begitu, aku tetap akan menyimpan mimpi anak-anak!”

Dengan lemas Kakek Dominggo pulang. Namun demikian, ia bertekad membuat kue brownies untuk diberikan pada Monster Mimpi. Kakek Dominggo mengambil buku resep Nenek Dominggo, lalu berusaha membuat kue. Sekuat tenaga Kakek Dominggo berusaha membuat kue brownies yang lezat. Apa daya, jangankan lezat, jadi pun tidak. Kasihan Kakek Dominggo. Ia kelihatan kuyu dan sangat sedih.

Hal ini dilihat oleh Nenek Dominggo. Setelah mengetahui bahwa Kakek Dominggo membuatkan brownies untuk Monster Mimpi, Nenek Dominggo pun turun tangan. Nenek membuat kue brownies yang lezat! Hore!

Langsung saja Kakek Dominggo membawa kue brownies itu pada Monster Mimpi.

“Lho! Kok cuma sepuluh? Aku mau SERATUS!” Monster Mimpi cemberut.

Terpaksalah Kakek Dominggo kembali ke rumah dengan tangan hampa. Sampai di rumah mereka berdua terburu-buru membuat seratus kue brownies. Saking sibuknya, mereka sampai tidak menyadari ada tamu di rumah mereka.

“Kakek, Nenek, ini kan waktunya Kakek dan Nenek membacakan cerita!” Anak-anak kecil itu berseru.

“Kali ini aku tidak bisa, anak-anak.” Kakek Dominggo melap peluh di keningnya. Beliau lalu menceritakan perjanjiannya dengan Monster Mimpi.

“Kakek, kami ingin sekali membantu, tapi bagaimana?” seru Suli.

“Kakek, mari kita perangi Monster Mimpi!” teriak Obbie.

“Kakek, biar aku yang mengaduk adonannya!” jerit Lucy.

Semua berebut ingin membantu. Mereka memang sangat menyayangi Kakek Dominggo. Kakek Dominggo suka menceritakan dongeng yang seru buat mereka.

“Aku tahu, teman-teman!” Lipo berseru. “Kita tidak bisa berperang, kita juga masih terlalu kecil untuk mengaduk adonan ini. Tapi…”

Teman-temannya mencondongkan kepala mereka, menunggu perkataan Lipo.

“Kita bisa bernyanyi bersama-sama untuk menghibur Kakek Dominggo!”

Maka, mereka pun mulai menyanyi dengan penuh semangat. Mereka menyanyikan lagu “Kelinciku”, “Balonku”, dll.

 

Jauh di atas gunung Monster Mimpi terbangun dari tidur nyenyaknya.

“Hoaah!! Suara apa itu!” Monster Mimpi mengaum. Dengan mata besarnya ia melihat sekumpulan anak-anak kecil bernyanyi di sekeliling Kakek Dominggo.

“GRMHLKZSHG!! Anak-anak! Lagi-lagi anak-anak! Huh! Mendengar mereka menceritakan mimpi mereka saja sudah membuat aku sakit kepala! Sekarang, aku malah mendengar mereka bernyanyi! Rrhoooaarrrhhh!!” Kembali Monster Mimpi mengaum dengan marahnya.

Ia lalu melesat menemui Kakek Dominggo.

“Hai Pak Monster, kue browniesmu hampir selesai….” Kakek Dominggo terengah-engah. Membuat seratus biji kue brownies merupakan pekerjaan yang berat untuk beliau.

“Aah! Diamlah! Lupakan kue brownies! Tapi, suruh anak-anak ini DIAM!” Monster Mimpi menutup kupingnya yang kesakitan mendengar suara nyanyian anak-anak.

“Kami tidak akan diam selama engkau masih saja mengganggu kakek kami!” teriak Lipo dengan berani.

Monster Mimpi terkejut melihat anak kecil yang pemberani itu. Wajahnya berubah menjadi merah kehijauan, ungu, oranye, biru, merah lagi, lalu kuning.

“Kau! Kau bera…” Monster Mimpi hendak mencengkeram Lipo.

Melompat-lompat jalan kelinciku!!!” Serentak anak-anak kembali bernyanyi.

“Aduh! Aduuhh! Sakit telingaku. Tolooong!”

“Nah, Pak Monster,bertindaklah bijaksana. Jangan pernah melawan anak-anak kecil ini. Ayo, kembalikan mimpi mereka sekarang juga! Kalau tidak…” Kakek Dominggo berseru.

“Ba… Baikah! Akan aku kembalikan mimpi anak-anak… separuhnya….”

“Telinganya bergerak selalu!!!”

“Aw! Aw! Aw! Akan kukembalikan mimpi anak-anak seluruhnya! Dan aku tidak akan pernah lagi mengganggu mereka! Tolooong!”

Anak-anak bersorak gembira. Mereka saling berangkulan. Tidak lupa, mereka melompat ke pelukan Kakek Dominggo.

 
***

Pekanbaru, 6 Februari 2016
@agnes_bemoe

---

Apa yang salah dengan bermimpi dan berimajinasi? Setiap anak normal memiliki imajinasi yang luar biasa "liar". Lalu, mengapa imajinasi itu pelan-pelan digerus? Diganti dengan informasi dan kuliah moral atau religi? Kenapa tidak dibiarkan tumbuh bersama-sama? Tidak bisakah keduanya tumbuh bersamaan?

"Imajinasi penting bagi anak-anak," kata aktris Julie Andrews dalam "Tooth Fairy", film yang mengkritik sikap meremehkan orang dewasa terhadap imajinasi anak-anak.

Cerita ini saya buat beberapa tahun yang lalu, waktu saya mulai tercenung melihat beberapa buku anak-anak Indonesia. Ditulis dengan judul-judul yang denotatif, dengan isi yang super realis sarat dengan ajaran agama, pesan moral, atau informasi ilmu pengetahuan. Seakan belum puas, pesan-pesan itu bahkan ditulis ulang di bagian akhir cerita.

Apakah anak-anak Indonesia memang "selemah" itu? Tidak mampu menangkap moral cerita bila judul dan isi ceritanya konotatif? Tidak mampu mengenali makna cerita kecuali disuapi?


 

 

1 comment: