Follow Us @agnes_bemoe

Friday 3 April 2015

Naik Pesawat

Naik pesawat bukan hal baru buat saya. Selama ini saya naik pesawat tanpa ada masalah. Makanya, saya heran dengan kejadian terakhir yang saya alami ketika mau ke Jakarta, 25 Maret 2015 lalu.

FYI saya berangkat dengan kondisi super excited. Memang saya ke Jakarta untuk berobat tapi jujur saya malah tidak mengingat sama sekali tentang pengobatan (Sila baca Berobat ke Jakarta). Karenanya, tidak ada sedikitpun rasa takut hinggap di pikiran saya. Saya malah senang akan bertemu dengan adik.

Ketika sudah di pesawat saya duduk baik-baik seperti biasa, mengucapkan doa, lalu membuka-buka majalah pariwisata yang disediakan (semua yang saya lakukan normal-normal saja). Begitu pesawat mau take off, saya tutup majalah pariwisata yang tadi saya baca lalu melihat ke luar.

Detik itu jugalah terror itu datang.

At a sudden. Dalam satu kedipan mata. Tanpa aba-aba. Saya menoleh ke langit-langit pesawat. Langit-langit seakan menyempit. Napas saya sesak. Aduh, saya sulit menggambarkannya kembali. Saya ingin lari keluar dari pesawat.

Tenang, tenang, tenang, kata saya dalam hati. Kalau ada apa-apa, peluk saja bapak yang ada di sebelahmu (di sebelah saya duduk seorang bapak-bapak). Saat itu saya butuh pikiran gila ini untuk mengembalikan kewarasan saya.

Segera saya meraih majalah pariwisata yang tadi saya letakkan. Saya baca tiap kalimatnya, huruf demi huruf, dengan seksama. Majalah itu adalah majalah dwi-bahasa. Saya baca bahasa Inggrisnya berikut bahasa Indonesianya. Saya seperti berlomba lari dengan pikiran saya sendiri. Saya harus mengalahkan pikiran menakutkan yang sedang menguasai akal sehat saya. Oh, Tuhan, andaikan saya tidak harus menulis tulisan ini.

Kuping saya terasa sesak dan sakit. Perut saya mual. Berulang kali saya minta permen dari pramugari. Memang diberi sih. Tapi lama-lama saya malu sendiri. Saya isap-isap lidah saya untuk mengurangi sakit di telinga.

Yang membantu mengurangi horror di telinga saya adalah sekumpulan ibu-ibu di depan saya. Mereka bercerita dengan riuhnya sepanjang penerbangan. Suara mereka membantu saya menyadari bahwa saya tidak tuli (saya takut tuli). Dalam keadaan normal saya pasti terganggu dengan kebisingan itu. Namun pagi itu, saya bersyukur sekali ada sekumpulan ibu-ibu dengan suara riuh mereka.

Penerbangan saya isi dengan membaca. Seperti yang saya katakan tadi, saya baca semua huruf di majalah tersebut. Tidak bermasud lebay, tapi ini amat sangat tidak nyaman buat saya.

Sampai di Jakarta, tujuan pertama saya adalah kamar kecil. Saya langsung muntah (aduh, nggak enak banget dibaca ya…)

Ini adalah ketiga kalinya saya merasa ketakutan yang tak beralasan (saya tahu ini tidak beralasan, tapi rasa takut saya itu begitu mencengkeram sampai-sampai logika saya tidak mampu menepisnya). Kalau tulisan ini berhasil di-posting maka ini adalah tulisan kedua yang berhasil saya buat mengenai ketakutan saya ini (yang pertama ketika saya masuk mesin MRI, sila baca di sini).

Pengalaman tak enak saya ketika di RS tidak pernah berhasil saya tuliskan :’(

Ya, pasti banyak yang tidak percaya. Banyak yang menyangka saya mengada-ada. Lebay, manja, dst. Whatever. Saya tuliskan terutama buat diri saya sendiri. Saya perlu mengeluarkannya.

Saya tuliskan juga buat siapa saja di luar sana yang mungkin mengalami hal yang sama. Saya tahu, pengalaman seperti ini SULIT diceritakan dan dituliskan.

Secara lisan pengalaman ini hanya saya ceritakan pada adik saya. Puji Tuhan, dia adalah pendengar yang baik. Dia tidak menunjukkan ekspresi tidak percaya. Dia tidak menuduh saya mengada-ada (secara verbal maupun diam-diam, melalui air muka). Dia hanya bertanya, apakah saya takut pesawat jatuh. Saya katakan tidak. Saya takut saja. Takut pesawat menyempit dan menghimpit saya. Pikiran itu membuat dada saya sesak dan perut saya mual. Dia tidak memperdebatkan jawaban saya. Dia hanya mendengarkan, dan itu sudah lebih dari cukup buat saya.

Lalu, bagaimana ketika pulang?
Itu juga yang langsung jadi kecemasan saya. Sengaja saya tidak mau memikirkan dan membahasnya. Kalau saya bahas malah semakin besar kecemasan saya. Namun, mau tak mau terpikir juga, terutama ketika saya sedang menunggu boarding. Ada waktu sekitar dua jam sebelum boarding dan saya tidak punya kegiatan untuk mengalihkan perhatian saya.

Lagi-lagi, adik saya yang saya mintai tolong. Dia tidak bisa mengantarkan saya sampai bandara makanya saya sendirian di bandara. Namun, saya membombardirnya dengan obrolan di Blackberry. Saya ketikkan semua yang ada di kepala. Karena kesibukannya terkadang adik tidak langsung membalas. Saya tidak peduli. Tetap saya kirimkan “cerita” melalui Blackberry. Puji Tuhan, tanpa terasa waktu berlalu sampai tiba-tiba terdengar panggilan untuk boarding.

Biarpun saya merasa sudah mengantisipasinya, terror itu tetap juga datang.
Saya ambil majalah pariwisata dan saya baca semua isinya. Sayangnya, majalah pariwisata ini tipis sekali. Artikelnya juga pendek-pendek. Lebih banyak iklan pendek daripada artikel. Dalam waktu sekejab sudah selesai saya membacanya.

Syukurlah, sebelum tidak bisa berpikir karena terlalu panik, saya teringat di tab saya ada game. FYI, saya bukan penggemar game. Saya benci, malah. Sangat tidak berguna, pikir saya. Nah, kemarin malam, anak adik saya ingin main game di tab saya. Karenanya, saya menginstalkan dua buah game kesukaannya: Angry Bird dan Boboiboy.

Saya lalu melakukan hal yang tidak akan pernah saya lakukan dalam keadaan waras: main Angry Bird!

Dan, Puji Tuhan, Angry Bird menyelamatkan saya. Saya asyik main sampai tiba-tiba saya mendengar suara pilot memberi perintah pada pada flight attendant untuk mempersiapkan pendaratan. Pendaratan? Benar, saya melihat Sungai Siak yang berkelok-kelok di bawah. PUJI TUHAN! Lebih bersyukur lagi karena penerbangan kali ini saya tidak muntah. Saya memang merasakan telinga sakit tapi saya sudah membeli permen banyak-banyak di Cengkareng untuk menguranginya.

Terpikir oleh saya, bagaimana nanti kalau saya mau naik pesawat lagi. Saya juga kurang tahu. Mudah-mudahan terror dan horror ini bisa tertangani. Saya mohon doa dari teman-teman semua.

***
Pembatuan, 3 April 2015

@agnes_bemoe





No comments:

Post a Comment