Follow Us @agnes_bemoe

Saturday 14 September 2013

JUST SAYING [JS]: "VICKYSISASI" DALAM DIRI KITA!

Gaya bahasa H alias VP yang bertabur istilah bahasa Inggris marsamburetan bikin heboh Indonesia.

Saya sendiri terpingkal-pingkal sakit perut waktu mendengar pertama kali dan masih suka terpingkal-pingkal kalau mendengarnya lagi. Jujur, lucu banget!

Tadi pagi saya berkelana dari grup ke grup di sebuah media sosial. Saya tertarik pada komentar, postingan, ataupun status beberapa orang. Tertarik, karena merasa menemukan VP yang lain. Bedanya, VP dengan "lugunya" mengumbar segala istilah yang ia ketahui dalam satu percakapan. Sementara, sebagian dari kita lebih hati-hati dan menahan diri dan memakainya. Tapi, bolehkah saya menyimpulkan: dorongannya sama. 

Sama-sama ingin terkesan lebih dengan menggunakan kata-kata yang dianggap lebih keren. Hasilnya sama: inflasi makna kata. Eh, kalau pada saudara VP mungkin sudah bisa dibilang penyimpangan makna kata kali ya, karena jauh banget dari arti sebenarnya :p

Berikut ini beberapa kata yang menurut saya penggunaannya kurang tepat. 
  1. "Pencerahan" yang digunakan untuk maksud "informasi". Sering saya mendengar komentar: "Terima kasih atas pencerahannya". Padahal yang dimaksud hanya sebuah informasi tentang alamat, misalnya. Atau, "Mohon pencerahan tentang jumlah halaman untuk sebuah novel". Terus terang, saya suka gregeten kalau ada yang memakai kata "pencerahan" untuk makna "informasi". Menurut saya sih, pencerahan itu jauh lebih dalam, lebih spiritual dari pada sekedar tahu tentang sesuatu.
  2. "Alibi" yang digunakan untuk makna "alasan". Entah sejak kapan alibi bermakna alasan. Alibi adalah "tidak berada di suatu tempat pada suatu kejadian". Ini tidak serta merta sama artinya dengan alasan. Banyak penulis menggunakan kata "alibi" untuk makna "alasan". Banyak juga penerbit (editor, dalam hal ini) yang meloloskan kata "alibi" untuk makna "alasan".
  3. "Diksi" yang digunakan untuk makna "kata". Menurut saya diksi jauh lebih kompleks daripada kata. Lagi-lagi, banyak penulis yang menggunakan "diksi" untuk pengertian yang maksudnya "kata".
  4. "Jibaku" untuk arti "berjuang". Untuk hal ini, saya mendapat penegasan dari artikel yang ditulis oleh alm. Veven Sp. Wardana di majalah Tempo. "Jibaku" artinya "mengorbankan diri" dan tidak serta merta berarti "berjuang".
  5. "Diva" untuk arti "penyanyi terkenal". Kalau saya tidak salah "diva" maknanya adalah penyanyi sopran utama. Kalau digunakan sebagai nama grup atau merk, saya rasa masih bisa diterima. Tapi lalu, beberapa penyanyi yang "sedikit" terkenal langsung dijuluki "diva"? Wah!
  6. Kasus: saya menemukan seseorang memberikan komen sebagai berikut: "Ini merupakan pemaparan eksperimentasi yang hebat." Saya sempat terhenti di kata "eksperimentasi". Benarkah kata eksperimen di sini masih butuh akhiran -asi lagi?
  7. Kasus lain: ada yang menggunakan kata "idealisme" ternyata maksudnya hanyalah untuk makna "cita-cita". Lagi-lagi, menurut saya idealisme itu lebih dalam daripada sekedar cita-cita. Kalau ditanya apa idealisme saya sebagai penulis, saya mungkin harus berpikir panjang untuk merumuskannya. Yang jelas, saya tidak akan menjawab: saya akan menjadi penulis buku anak. "Penulis Buku Anak" masih dalam daerah cita-cita saya.
Apa lagi ya? Itu mungkin yang sempat terekam oleh saya. 

Intinya, kita masih merasa kurang nyaman kalau belum memakai istilah asing (entah bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Jepang, dll), padahal padanannya ada dalam Bahasa Indonesia. Tidak sekedar kurang nyaman, kita lalu memakainya dengan membabi buta. Hasilnya adalah "prostitusi verbal" ---> Hoaaa... kalau istilah terakhir ini saya comot dari komentar salah seorang di media sosial atas video VP!

***

Pekanbaru, 14 September 2013
@agnesbemoe

No comments:

Post a Comment