Follow Us @agnes_bemoe

Wednesday 7 August 2013

Buku Cerita yang Bikin Saya Emosi

Kemarin saya baca satu buku anak yang bikin emosi berat! Sumpah, saya tidak akan pernah mau memberikan buku itu pada anak perempuan mana pun yang saya temui.

Hampir seluruh isinya bertentangan dengan apa yang saya yakini benar. 

Buku ini menceritakan tentang anak korban perceraian kedua orang tuanya. Penulis tidak memilih pendekatan ilmu pengetahuan dalam bacaan ini. Tidak ada penggambaran anak sebagai korban perceraian secara spesifik (penggambaran psikologis, maksud saya). Hanya digambarkan tokoh merasa sedih (yang mana bisa dialami oleh semua anak, entah dia kehilangan pensil kesayangannya, atau kehilangan teman).

Yang membuat saya mutung berat adalah pesan yang amat jelas dari cerita itu yang mengajak pembaca kecilnya untuk menerima begitu saja perceraian. Tokoh dalam cerita itu digambarkan begitu mulia karena bisa memahami hati ibunya dan menerima (dengan mudahnya, tanpa sedikit pun efek psikologis) ketiadaan ayahnya.

Mengapa anak yang dipaksa untuk dewasa dan menerima situasi tidak enak itu? Mengapa bukan kedua orang tuanya yang nota bene umurnya tiga-empat kali lipat dari si anak yang belajar untuk mengatur hidupnya menjadi lebih dewasa (termasuk diantaranya ialah fighting for their marriage)?

Kita hidup di zaman yang mendevaluasi nilai-nilai perkawinan. Menikah gampang. Bercerai pun gampang. Pernikahan bukan sesuatu yang worth a struggle. Yang membuat saya sangat sedih adalah sejak dini anak sudah "dipersiapkan" untuk menjadi the quiters. Terimalah, Nak, upahnya adalah gelar "anak baik" :p 

Orang tua mereka boleh egois mencari kesenangan dirinya sendiri. Supaya anak tidak protes, maka sedini mungkin mereka sudah dicekoki untuk menerima perceraian itu perilaku mulia. God! Manipulasi sejak dini!


Sumber Gambar: http://static6.depositphotos.com/1150740/673/v/950/depositphotos_6737332-Cartoon-happy-family-on-walk.jpg

Tidak menafikan bahwa menghidupi pernikahan tidak gampang. Namun, saya sangat mempertanyakan mengapa tidak dibangun sisi lain dari kesulitan hidup karena perselisihan keluarga itu? Misalnya, anak melihat ayah dan ibunya bertengkar (seperti dalam cerita yang saya baca), suasana tidak enak, ayah-ibu-anak jadi seperti orang asing. Tapi lalu ada usaha melalui komunikasi intens yang cerdas dan dewasa sehingga anak belajar: orang tua pun bisa bermasalah namun mereka bisa menyelesaikannya dengan cantik dan elegan. Mengapa bukan sisi ini ya yang ditonjolkan?

Saya sangat menyesalkan ada penulis yang tega menuliskan hal ini. Saya juga menyesalkan ada penerbit yang tega menerbitkan buku ini. Maaf seribu maaf, menurut saya buku ini adalah manipulasi dan pembodohan. 

Sampai dengan pagi ini saya masih merasa dongkol dengan buku dan pemikiran di dalamnya. 

Lalu saya teringat akan pembicaraan dengan seorang teman: kita hidup dalam heterogenitas. Tidak hanya suku, agama, ras, atau kelompok, tetapi juga ide. 

Sangat besar kemungkinan kita berbeda pendapat, ide, dan keyakinan. Menjadi gondok adalah hak saya, tetapi kemudian berlarut-larut dengan membenci penulisnya ataupun penerbitnya, rasanya juga bukan tindakan yang pantas. 

Yang perlu saya lakukan adalah menerima kenyataan bahwa saya dan penulis punya pemikiran berbeda. Itu fakta. Menerima, itu tantangan yang tidak ringan buat saya. 

Mudah-mudahan dengan ini saya bisa belajar untuk semakin menerima kenyataan bahwa perbedaan pendapat tidak bisa dielakkan: saya tetap tidak setuju pendapatnya, tetapi tidak berarti saya tidak bisa terus membaca karya-karyanya ataupun bersilaturahmi dengan penulisnya (sambil inhale dan exhale....)

***

Pekanbaru, 8 Agustus 2013
Agnes Bemoe
@agnesbemoe

No comments:

Post a Comment