Follow Us @agnes_bemoe

Monday 29 November 2010

Sertifikasi Membawa Rejeki (Tapi, tetap Harus Hati-Hati) - Pengelolaan Keuangan bagi Guru



Minggu-minggu terakhir bulan November ini tunjangan Sertifikasi Guru sudah dapat dicairkan. Saya mengetahui ini dari salah seorang teman yang menjadi guru. Tentu saja saya ikut senang mendengarnya. Namun, belum lama ini saya membaca salah satu tulisan kawan saya, seorang guru, yang mensinyalir bahwa meningkatnya tunjangan guru diikuti dengan meningkatnya daya konsumtif guru. Ini tentu sah-sah saja, mengingat itu adalah uang pribadi mereka. Namun, bila tidak berkeberatan saya bermaksud membagikan sedikit pengalaman saya ketika masih menjadi guru, berkaitan dengan penghasilan yang saya dapatkan.

Sebagai guru, saya pernah merasakan gaji yang lebih dari kebutuhan (terutama pada tahun-tahun pertama mengajar), dan juga merasakan beratnya perjuangan membagi penghasilan untuk sekian banyak kebutuhan (terutama setelah krisis moneter tahun 1998).

Perjuangan saya berjibaku dengan penghasilan itu membuat saya kemudian mencari cara untuk tetap survive di sepanjang bulan; awal, tengah, dan akhir. Saya (akhirnya) sampai pada pemahaman bahwa yang saya perlukan tidak hanya gaji yang layak, tetapi pengelolaan keuangan yang benar!

KONDISI KEUANGAN GURU
Untuk kepentingan pembinaan guru baru, pada tahun 2007 saya melakukan pengamatan yang sederhana dan jauh dari ilmiah tentang kondisi keuangan guru. Berikut hasilnya:
 Keluarga Amir di Pekanbaru, suami gol. 3 C, istri 3 B, anak 2: pemasukan Rp. 2.300,000,- sedangkan pengeluaran Rp. 2.600.000,-
 Keluarga Budi di Pekanbaru, suami gol. 3 a, istri bekerja di sebuah PT, anak 1. Suami memberikan les privat. Penghasilan Rp. 2.500.000,- pengeluaran Rp. 3.300.000,-
(Terus terang, topik tentang penghasilan ternyata masih menjadi topik yang sensitif, sehingga agak sulit dibicarakan di sebuah forum, bahkan forum sesama guru. Saya memahami keengganan para guru untuk membicarakannya, namun demikian, saya juga jadi kesulitan mengumpulkan data. )

Tahun 2009, kembali saya melakukan pengamatan tentang hal yang sama (sekali lagi sangat sederhana dan jauh dari ilmiah!), hasilnya adalah:
 Keluarga Amir di Pekanbaru, suami gol. 3 D, istri 3 C, keduanya memberikan les sore, anak 2, usia SD: pemasukan Rp. 5.500.000,- sedangkan pengeluaran Rp. 6.100.000,-
 Keluarga Budi di Pekanbaru, suami gol. 3 a, istri bekerja di sebuah PT, anak 1, usia TK. Suami memberikan les privat. Penghasilan Rp. 6.000.000,- pengeluaran Rp. 6.900.000,-

Jika pembaca memperhatikan data mentah ini, kita dapat menduga bahwa baik pada tahun 2007 maupun pada tahun 2009 kedua keluarga ini memiliki pengeluaran yang jauh lebih besar daripada pendapatannya. Pepatah mengatakan: besar pasak daripada tiang. Pada tahun 2009 take home pay kedua keluarga ini meningkat, namun, meningkat pula pengeluaran mereka.

Dan, ternyata keluarga-keluarga yang saya amati ini sama sekali tidak menyadari bahwa selama ini neraca keuangan mereka tidak seimbang. Mereka merasa berhemat, merasa tidak belanja apa-apa, tapi akhir bulan selalu kebingungan karena tidak ada uang di tangan… Akibatnya berbagai perasaan negatif selalu menghantui mereka setiap menjelang akhir bulan; putus asa, frustrasi, bingung, bahkan ada juga yang sampai-sampai berpikir untuk berdemo, minta penghasilan tambahan. Walaupun demikian, ada juga yang melarikan diri pada sikap cuek…

Dalam kesempatan itu, setelah sama-sama menghitung ke mana larinya penghasilan mereka, ditemukan bahwa beban keuangan berlebih pada hutang (angsuran rumah, kendaraan, dll). Tidak hanya pada barang kebutuhan pokok saja, ternyata hutang juga meliputi barang-barang sekunder, namun dijadikan primer karena faktor prestise sosial , contohnya peralatan rumah tangga merek tertentu atau perhiasan.

Penghasilan juga bisa tergerus oleh hal-hal kecil yang kadang diremehkan karena jumlahnya yang kecil, namun kemudian menjadi berpengaruh karena berulang-ulang, misalnya ongkos kendaraan umum, rokok, atau pulsa.

Dan, yang paling mengerikan, teman-teman guru yang saya amati ternyata hidup tanpa tabungan! Biasanya mereka memiliki emas, tetapi sebatas sebagai perhiasan, bukan investasi. Mereka memiliki akun rekening di bank, tetapi untuk fasilitas kredit. Seperti juga mereka bergabung dalam Credit Union (CU) untuk fasilitas kredit dan bukannya untuk menabung.

Yang juga mengerikan menurut saya adalah adanya pemahaman yang keliru tentang gaya hidup. Gaya hidup hemat dianggap kuno, kampungan, dan merepresentasikan kelemahan dan ketidakberdayaan. Sementara gaya hidup berhura-hura a la sosialita dianggap jauh lebih menyenangkan, menimbulkan semangat, dan menaikkan gengsi. Saya melihatnya dengan cara lain; mengelola keuangan membuat keuangan saya lebih sehat dan selanjutnya membuat saya merasa lebih tenang dan stabil. Penghasilan saya boleh jadi sangat kecil (yang mana sudah menjadi rahasia umum), tetapi saya tidak mau memperparahnya dengan menipu diri, berusaha berteriak-teriak pada dunia luar bahwa saya mampu, saya kaya, dengan baju, sepatu, tas, berlian yang saya beli di luar kemampuan saya.

MENGELOLA KEUANGAN
Pertama-tama harus dipahami bahwa yang penting bukannya berapa besar take home pay kita, tetapi berapa tepat kita mengelolanya. Cara-cara berikut ini mudah-mudahan bisa membantu:
1. Catat pemasukan dan pengeluaran setiap bulan. Hal ini membantu kita mengontrol pengeluaran.
2. Dahulukan membayar diri sendiri dengan tabungan. Kita sudah bekerja keras, maka orang pertama yang harus kita bayar adalah diri kita sendiri. Kita “membayarnya” dengan menyisihkan tabungan. Bila kita berpikir bahwa menabung adalah sisa dari pengeluaran kita, maka sudah saatnya menghilangkan pemikiran seperti itu. Gunakan rumus ini:

GAJI - TABUNGAN = BELANJA

Dan bukannya:

GAJI – BELANJA = TABUNGAN

3. Bagi penghasilan dengan prosentase sebagai berikut:
10 % = tabungan
35 % = kebutuhan rumah tangga
15 % = pendidikan (atau hal-hal yang sedang anda prioritaskan)
25 % = kebutuhan lain-lain
15 % = hutang
Pembagian ini merupakan rambu-rambu umum, yang butuh kedisiplinan untuk menjalankannya. Perhatikan bahwa pembagian ini cukup akomodatif untuk kebutuhan kita. Hanya saja, kita dibantu untuk mengenal batas bagi pemenuhan kebutuhan itu.

Contoh:
Bagi Keluarga Amir, dengan penghasilan (di tahun 2007) Rp. 2.300.000,- maka sebaiknya pembagian pengeluarannya adalah sebagai berikut (dalam rupiah):
10 % = tabungan : 230.000
35 % = kebutuhan rumah tangga : 805.000
15 % = pendidikan (atau hal-hal yang sedang anda prioritaskan) : 345.000
25 % = kebutuhan lain-lain : 575.000
15 % = hutang : 345.000

Coba bandingkan dengan pengeluaran riil keluarga ini (tahun 2007 dalam rupiah):
0 % = tabungan : 0
46 % = kebutuhan rumah tangga : 1.035.000
11 % = pendidikan (atau hal-hal yang sedang anda prioritaskan) : 217.000
5 % = kebutuhan lain-lain : 94.000
42 % = hutang : 917.000

Dari pemaparan contoh ini kita bisa melihat betapa tidak sehatnya pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh Keluarga Amir; pengeluaran lebih besar daripada penghasilan, dan tanpa tabungan sama sekali.

4. Perlu konsensus bersama dengan keluarga, dengan kata lain keluarga perlu tahu tentang penghasilan mereka. Bahkan saya sangat yakin, anak-anak pun perlu diajak serta mengetahui dan membahas penghasilan ini.
Konsensus ini termasuk bila ayah atau ibu ingin mencari penghasilan tambahan, misalnya.

5. Seperti yang disarankan sejak mula: catat pemasukan dan pengeluaran, dan berdisiplinlah dengan itu.

6. “Rayakan” bila keluarga berhasil mengelola pendapatan dengan baik. Tentu saja tidak dengan cara yang berlebihan, karena itu sama saja mengkhianati semangat pengelolaan keuangan ini.

7. Pertimbangkan untuk menginvestasikan uang kita, entah dalam bentuk emas, atau tanah, atau apa saja. Dalam hal ini tentu saja butuh saran orang yang lebih ahli.

SHARING PENGALAMAN
Beberapa teman guru ternyata mencoba mempraktekkan metode ini. Berikut ini adalah beberapa pengakuan dari mereka:
 Mereka mengaku BERAT menjalaninya! Berat, karena tidak saja menahan diri untuk ini dan itu, tetapi juga REPOT, karena sebentar-sebentar harus mencatat. Tentu saja, kita mudah untuk bersikap keras pada orang lain, tetapi sangat sulit melakukannya pada diri sendiri. Tetapi, mereka juga mengaku sangat LEGA. Seolah-olah menemukan obat bagi penyakit yang sudah meraja lela.
 Selain lebih lega, ternyata ada perasaan positif lain yang juga mendominasi, yaitu lebih TENANG. Tenang karena semuanya terkontrol dengan relatif baik. Tenang, karena sedikit demi sedikit punya tabungan.
 Tentu saja godaan selalu ada, terutama godaan untuk belanja memuaskan lapar mata. Namun, harus diingat bahwa tujuan awalnya adalah untuk menyelamatkan keuangan keluarga. Boleh saja berbelanja, asal masih dalam pagu yang sudah ditentukan.
 Selanjutnya, pengakuan yang membuat saya sendiri tercenung waktu mendengarnya: mudah bersyukur ternyata meringankan segalanya. Wah, saya sampai tidak bisa berkomentar, karena sharing yang satu ini sudah lebih dari tepat.

PENUTUP
Mudah-mudahan secara finansial penghargaan terhadap guru semakin tahun bisa semakin membaik. Mudah-mudahan pemerintah tidak hanya bergantung pada tawar-menawar politik dalam perencanaan pemberian tunjangan kepada guru. Dan masih banyak harapan lain. Namun, besar juga harapan semoga kita semua semakin bijaksana dalam pengelolaan keuangan. Bagi teman-teman yang sudah jauh-jauh hari memiliki kiat-kiat khusus dalam pengelolaan keuangan, semoga bisa ikut berbagi dengan yang lainnya.

Terakhir, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menggurui siapa pun. Bila pengelolaan keuangan menjadi masalah bapak-ibu, maka mudah-mudahan sharing sederhana ini bisa membantu.
***
Pekanbaru, 30 November 2010
Agnes Bemoe


Sumber Gambar:
http://www.google.co.id/imglanding?q=teacher+in+stress&um=1&hl=id&client=firefox-a&sa=G&rls=org.mozilla:id:official&channel=np&biw=1280&bih=663&tbs=isch:1&tbnid=PJUEDKbB01xMBM:&imgrefurl=http://productivedowntime.blogspot.com/2010/04/remember-teacher-appreciation-week-is.html&imgurl=https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6tTse6Sek-9iIVmQxzbhuYleb-y48HYVDzso6KeAIOikgcCMSbnxub2Ei0nS2KZgsDnGwXg0NTqrdeUAl63mMSdBlhdmPeNK6Mh-ePx9L-yJAvpzkSlDWkMqcD5m7OBtJJ0gutyahCmFL/s1600/teacher.jpg&zoom=1&w=1125&h=750&iact=hc&ei=PYD0TOGsI4WssAOMzsmmCw&oei=63z0TMJdhrqxA4WP2LYJ&esq=24&page=1&tbnh=132&tbnw=176&start=0&ved=1t:429,r:9,s:0

http://www.google.co.id/images?q=money&oe=utf-8&rls=org.mozilla:id:official&client=firefox-a&channel=np&um=1&ie=UTF-8&source=og&sa=N&hl=id&tab=wi&biw=1280&bih=663

Catatan:
• Materi dalam tulisan ini pernah disampaikan dalam kegiatan Pelatihan Guru Baru di SMP Santa Maria Pekanbaru, tahun 2007 – 2009 oleh Agnes Bemoe.

1 comment:

  1. begitulah, penghasilan itu pasti bakal sesuai dengan pengeluarannya
    jadi sikap sabar dan syukur mesti terus terusan kita jaga

    tambahannya nih ya..... cari jalur penghasilan lain juga selain dari mengajar,

    ReplyDelete